API kayu pendiangan Ruang Oval Gedung Putih menghangati pagi
musim gugur -- dan juga hubungan Reagan-Soeharto. Di ruangan
penuh perabot tua itu, di bawah lukisan George Washington yang
cantik tersenyum seperti Budha, Presiden Reagan rupanya hendak
memberi satu surprise bagi tamunya pagi itu. Ia menyebut
sebuah nama. Holdridge.
Nama itu, lengkapnya John H. Holdridge, dimaksudkan untuk
menjadi pengisi sebuah lowongan yang selama ini diramaikan orang
setelah hampir setahun tak kunjung terisi: jabatan duta besar AS
di Indonesia. Memang, kosongnya kursi di gedung besar di Jalan
Merdeka Selatan, Jakarta, itu selama ini tak mengganggu
kelancaran kerja diplomatik antara kedua negara. Malah menurut
suatu lelucon di kalangan perwakilan asing di ibukota RI, lebih
enak tak ada dubes AS di Jakarta: dengan begitu berkurang satu
tempat buat pesta koktil yang membosankan.
Betapapun seorang dubes bukan cuma seorang penjamu resepsi.
Bahkan bukan cuma seorang kepala kantor. Ia juga simbol,
mengisyaratkan sejauh mana sebuah negara mementingkan relasinya
dengan sebuah negara lain. Dan tak pelak lagi, dengan mengisi
kursi dubes yang kosong, dan menyebut John Holdridge untuk
jabatan itu, Reagan kasih isyarat-yang oleh Indonesia dianggap
seharusnya: perhatian pemerintah AS kepada Indonesia tak sekedar
basa-basi.
Holdridge, 58 tahun, jangkung dan besar, dengan muka yang montok
ramah, bukan tokoh sembarangan. Dalam usia 24 tahun, sinolog
lulusan Universitas Cornell dan Harvard ini memasuki dinas luar
negeri AS. Ia juga lulusan Akademi Militer West Point dan
bertugas di AD AS selama 2 tahun. Karirnya, yang sebagian besar
dilewatkannya di Asia Tenggara dan Timur, menanjak terus.
Praktis seluruh kawasan itu telah dijelajahinya: Bangkok,
Hongkong, Singapura dan Beijing. Sejak Mei 1981 ia menjabat
Asisten Menlu Urusan Asia Timur dan Pasifik. Sebelum itu seusai
menjabat dubes di Sgapura, Holdridge diangkat sebagai pejabat
intelijen untuk Asia Timur.
Maka ketika Reagan menanyakan persetujuan Pak Harto di depan api
pendiangan Gedung Putih Selasa pagi pekan lalu itu - dalam
percakapan 15 menit dengan hanya satu penerjemah ( dari pihak
Indonesia)--Kepala Negara Indonesia menyatakan tidak
berkeberatan.
Tentu saja ini suatu cara yang agak luar biasa buat minta
persetujuan pencalonan seorang dubes kepada pemerintah negara
tempat ia akan dikirim. Lazimnya proses itu digerakkan lewat
prosedur di Deplu masing-masing. Tapi Reagan rupanya memerlukan
sedikit teater untuk itu--satu pertunjukan yang istimewa.
Sebab kosongnya kursi dubes di Jakarta jelas cukup merikuhkan
jika belum juga diproses sementara Pak Harto datang bertamu.
Bagi citra Reagan di dalam negeri, lowongnya kursi itu juga
mencerminkan kekisruhan administrasi pemerintahannya dalam
mengambil keputusan, khususnya dalam soal hubungan luar negeri.
Persaingan yang keras, hingga bersifat sabot-menyabot, antara
pelbagai kalangan di Deplu AS dan orang-orang di sekitar
Presiden (ditambah suara-suara dari Senat), bisa menyolok
sekali. Misalnya dalam kasus Morton Abramowitz dan Kent Crane.
Akhir tahun lalu, tatkala Dubes E. Masters menyelesaikan masa
tugasnya di Jakarta, sebuah nama disebut sebagai penggantinya:
Michael Armacost, seorang diplomat karir yang dianggap ahli
masalah Asia. Keruwetan mulai terjadi tatkala Menlu Alexander
Haig memutuskan untuk mengangkat Morton Abramowitz bekas dubes
di Thailand, sebagai Asisten Menlu urusan Asia Timur dan
Pasifik.
Ternyata lawan-lawan Abramowitz tidak tinggal diam. Tahu-tahu
muncul sebuah makalah rahasia yang melukiskan Abramowitz sebagai
seorang liberal, dekat dengan kaum Demokrat, dan turut mendorong
rencana penarikan mundur pasukan AS dari Korea Selatan.
Serangan itu ternyata berhasil. Haig dikabarkan membatalkan
promosi Abramowitz dan akan mengirimnya sebagai dubes di
Filipina. Namun ternyata kalangan militer yang konservatif
menentangnya, gagal lagi.
Akhirnya Gedung Putih memu tuskan untuk menunjuknya sebagai
dubes di Jakarta sedang Armacost dialihkan untuk Filipina. Namun
rupanya makalah rahasia tentang Abramowitz -- penuh dengan cara
bagaimana--sampai juga di Jakarta. Pemerintah RI rupanya
menganggap seorang dubes yang mendapat tentangan dari kalangan
dalam AS sendiri tidak akan bisa bekerja secara efektif dan
meminta calon yang lain.
Beberapa nama calon baru muncul, yang terakhir Kent B. Crane.
Bekas diplomat yang beralih menjadi pengusaha besar ini konon
ditawari kursi itu oleh Presiden Reagan sendiri dalam suatu
pertemuan di Gedung Putih. Pertcmuan dan pencalonan itu rupanya
bocor dan menjadi sensasi besar di koran-koran AS. Selain karena
konon ia bekas agen CIA Dinas Rahasia AS), yang disorot pada
diri Crane adalah hubungan dagangnya dengan pihak-pihak tertentu
di Indonesia (TEMPO, 25 September).
Antara lain disehut nama Yani Haryanto (Yantje Liem), seorang
pengusaha h.sar Indonesia yang kabarnya menanam modal di AS
lewat Crane. Salah satu perusahaan yng mereka bentuk adalah
Techdirective, yang memproduksikan senjata dan peralatan
keamanan, misalnya pistol yang disamarkan sebagai pulpen.
Perusahaan ini diresmikan pertengahan tahun lalu, dengan
Crane--yang mengaku bisa berbahasa Indonesia--sebagai presiden
direktur. Ini menimbulkan kekhawatiran dan tentangan. "Saya ragu
apakah Crane nantinya bisa memisahkan tugas diplomatik dengan
kepentingan pribadinya," kata seorang senator di Washington.
Crane rupanya juga dianggap kurang berbobot oleh pihak
Indonesia. Maka Crane pun tersisih, Holdridge ditunjuk, dan
teater Ronald Reagan disiapkan.
Presiden AS itu mulai menyiapkan Holdridge, menurut suatu
sumber, hari Sabtu--sehari sebelum Pak Harto mendarat di
Greenboro, untuk kemudian mengaso di Greenbrier, satu
jam--terbang dari Washington DC, di Pegunungan Alleghany yang
berkabut. Keputusan rupanya dilakukan secara kilat, sebab orang
di Washington harus menghadapi hari Minggu dan hari Senin yang
kebetulan juga libur (Columbus Day). Padahal, pada hari Selasa,
Reagan harus menyambut Pak Harto di Gedung Putih, dengan upacara
bendera dan parade yang sederhana tapi semarak.
NAMUN cepatnya pengambilan keputusan menunjuk Holdridge itu juga
tak mengurangi ketepatan waktu guna memperoleh persetujuan
Soeharto. Dan Reagan pun bisa mempersiapkan langkah selanjutnya:
mengumumkan, secara tak tersangka-sangka, hasil keputusannya itu
pada jamuan resmi malam harinya yang disajikan buat Kepala
Negara RI.
"Saya sepenuhnya sependapat dengan anda mengenai pentingnya
memperkuat dan memperluas lebih jauh hu bungan antara kedua
negeri kita. Demi tujuan itu, dengan amat gembira saya umumkan
malam ini keputusan saya untuk mencalonkan sebagai wakil pribadi
saya pada pemerintah anda, seorang yang sudah anda kenal dengan
baik, yang saya percayai sepenuhnya, Pembantu Menteri John H.
Holdridge," kata Presiden Reagan malam itu.
Di situlah pentas Reagan. Dalam acara Gedung Putih yang sudah
jadi rutin itu, saking banyaknya kepala pemerintahan yang
menjadi tamu, ia mau melakukan sesuatu yang lain dari yang lain.
Suatu kejutan. Maka semua lubang ditutup rapat agar apa yang
akan diumumkannya itu tak keburu bocor.
Hasilnya memang efektif. Pengumuman Reagan menjadi bahan
percakapan ramai begitu jamuan makan selesai dan sekitar 120
tarmu menunggu acara berikutnya: malam kesenian yang diisi
dengan resital penyanyi mezzo soprano Fredcrica von Stade.
Reagan tak menyembunyikan kegembiraannya melihat kejutannya
ternyata berhasil. Ia meledek sejumlah wartawan Amerika yang
datang meliput perjamuan itu (juga dengan dasi kupu dan kemeja
berenda): "Bagaimana kalian bisa menduga, kalau saya
menghindar-hindar terus".
Dan di jamuan resmi yang dihadiri berbagai tokoh itu (ada Cindy
Adams dan suaminya, ada ratu mode Gloria Vanderbilt, ada pula
pegolf profesional Arnold Palmer), semua orang nampak gembira
atas penunjukan Holdridge.
Menlu George Shultz menilai Holdridge "A-Plus", di atas .lngka
tertinggi. Sebab, "Indonesia mengenal dia dan Presiden (Reagan)
mempercayainya." Wakil Presiden Bush yang pernah bekerja sama
dengan Holdridge di Cina memujinya dengan antusias Bahkan Kent
Crane, yan hadir dalam perjamuan di Ruang Biru itu, mengatakan
tentang pencalonan Hol dridge. "Mereka memperoleh orang yang
baik," katanya.
Presiden Soeharto sendiri, sebagai dikutip oleh Donnie Radeliffe
(The Washington Post dari percakapa kecil di jamuan resmi itu
mengatakan tentang penunjukan Holdridge. "Sangat baik, saya
mengenalnya. Satu kehormatan bagi Indonesia untuk mendapatkal
orang yang diangkat adalah seorang diplomat yang sangat
terpandang."
Holdridge sendiri menyatakan ia menerima pengangkatan atas
dirinya "begitu hal itu ditawarkan". Dia tampak bersalaman
dengan Pak Harto dan tersenyum lebar berdua. Tak heran. Dia
mendapat keistimewaan, mungkin sebagai satu-satunya dubes AS
yang diumumkan pencalonannya dalam sebuah jamuan kenegaraan--dan
langsung diterima negara yang bersangkutan. Dia juga mendapat
kehormatan untuk menjadi faktor utama yang menghangatkan kembali
hubungan Indonesia-AS, yang belakangan ini sedikit retak di
sana-sini.
Jadi soal dubes AS untuk Jakarta telah beres. "Kita tinggal
menanti pengajuan resmi dari Washington," kata Menlu Mochtar
Kusumaatmadja pada TEMPO. "Bisa dipastikan tidak ada soal lagi
lagi pihak Indonesia, sebab selain Presidcn Soeharto telah
memberikan persetujuan atas pengangkatan itu, Holdridge sendri
memang merupakan sebuah nama yang meyakinkan", sambungnya.
Namun soal dubes bukan satu-satunya kerikil tajam--meski belum
sampi melukai telapak--dalam hubungan Indonesia-AS. Hubungan
kedua negara saat ini, menurut seorang pejabat tinggi yang
menyertai rombongan Presiden," correct (tepat), normal, tapi
untuk disebut hangat, ya tidak," ganjalan yang paling dirasakan
agaknya di bidang perdagangan. Sekalipun dari tahun ke tahun
jumlahnya menaik. persentase impor AS ke Indonesia secara
keseluruhan menurun dibanding pada 1970-an. Menurut data dari
hak Indonesia, pada 1981 perdagangan antara kedua negara
meliputi jumlah sekitar US$ 5,9 milyar, yang merupakan 16,5%
dari seluruh perdagangan Indonesia.
Sekitar 13,5% impor dan 18,3% ekspor Indonesia adalah hasil
perdagangan dengan AS. Ini bisa dibandingkan dengan impor dari
Jepang yang mencapai 30% dari seluruh impor Indonesia pada 1981,
sedang impor dari negara-negara MEE 16%. Menurut data dari pihak
AS, ekspor Indonesia ke AS pada 1981 tercatat lebih US$ 6 milyar
(1980 US$ 5,1 milyar, sedang impor dalam periode yang sama
tercatat US$ 1,2 milyar (1981) dan US$ 1,5 milyar (1980).
Ekspor Indonesia ke AS dianggap terlalu pincang: pada 1981
sekitar 84% berupa minyak mentah dan hasil-hasil minyak lainnya.
Sisanya yang 16% atau sekitar US$ 943 juta ternyata sebagian
tersandung beberapa hambatan.
Timah misalnya. Harga timah di asaran dunia yang anjlok sangat
mengkhawatirkan Indonesia. Umumnya yang dituding sebagai
penyebabnya adalah ancaman pemerintah AS yang melalui General
Services Administration (GSA) senantiasa terasa mengancam
negara-negara produsen dengan melemparkan sekitar 30 ribu ton
dari cadangannya ke pasar. Akibatnya harga timah jatuh. Di bursa
timah London awal Januari lalu harganya Å“ 8.700 per ton sedang
akhir September lalu Å“ 7.220 per ton. AS juga menolak
menandatangani Perjanjian Timah Internasional VI di Jenewa,
karena tidak setuju besarnya cadangan penyangga yang ditentukan.
AS punya alasan. "Rendahnya harga timah disebabkan oleh lemahnya
keadaan ekonomi dunia," kata Joseph A.B. Winder, Councelor
bidang Ekonomi Kedubes AS di Jakarta kepada TEMPO. AS, menurut
dia, mempunyai lebih 100 ribu ton cadangan timah dan
merencanakan melepaskan 10 ribu ton per tahun. "Namun belakangan
ini yang dijual hanya sekitar 100 ton per bulan hingga efeknya
di pasaran kecil." katanya.
Yang juga mengecewakan adalah sikap AS dalam soal GSP (General
System Preferences). GSP diputuskan Badan Kerjasama PBB untuk
Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) untuk meringankan bea masuk
barang dari negara berkembang ke negara industri. Sistem ini
kemudian diambil oper negara-negara industri dalam GATT
(Perjanjian Bersama Tentang Tarif dan Perdagangan), juga lembaga
PBB yang bermarkas di Jenewa .
Prinsipnya: bea masuk barang-barang tertentu dari negara
berkembang ke negara maju dapat preferensi, artinya tarifnya
lebih rendah. Ekspor kayu lapis Indonesia misalnya, pada 1981
berjumlah US$ 28 juta, ternyata tak memperoleh GSP (bea masuk),
malah dikenakan bea masuk setinggi 14%.
Keluhan lain terjadi pada ekspor pakaian jadi (garmen). Pihak
Indonesia merasa AS seharusnya lebih berkepentingan dengan
tumbuhnya industri tekstil Indonesia karena Indonesi? banyak
membeli kapas dari AS, Pada 1981 umpamanya, impor itu mencapai
US$ 92 juta (dibanding US$ 112 juta pada 1980). Angka ini lebih
dari dua kali lipat ekspor garmen Indonesia ke AS yang hanya US$
38 juta pada 1981. Harus dicatat, Indonesia juga mengimpor mesin
tekstil dari AS.
Ada anggapan perlakuan terhadap tekstil Indonesia oleh AS juga
terasa pincang bila dibandingkan perlakuan terhadap RRC dan
Taiwan. Meski bukan anggota MFA (Multi Fbre Agreement), kcdua
negara itu nampaknya lebih diberi kelonggaran dalam hal ekspor
tekstil ke AS. Untuk kategori 347 dan 348 (celan panjang pria),
kuota buat RRC adalah 1.440.000 lusin, sedang Indonesia cuma
kebagian sekitar 570.000 lusin.
Namun beberapa pengusaha pakaian jadi di Jakarta berpendapat
kuota AS itu "cukup besar" dan "menguntungkan Indonesia". Sebab
menurut MFA seharusnya ketetapan kuota itu dimulai Februari
1982, tapi AS mengundurkannya menjadi Juli 1982. "Di samping itu
untuk kategori 340 (baju pria) kita seharusnya mendapat kuota
249.000 lusin tetapi ternyata mendapat 321.000 lusin," ujar
Abdul Halim, Dir-Ut PT Indo Hinson Garment Factory yang juga
menjabat Ketua Umum Persatuan Inustri Bonded Warehouses
Indonesia, Jakarta. Selain itu AS membolehkan kenaikan 7% per
tahun buat ekspor garmen Indonesia, dibanding Taiwan yang cuma
sekitar 2%.
Masalah Keppres 18/1982 yang mengharuskan pengangkutan muatan
barang ekspor dan impor milik pemerintah dilakukan kapal
Indonesia yang semula ditentang keras AS, ternyata tak begitu
mengganjal. Rupanya perundingan kedua pihak di Jakarta dan
Washington sangat membantu AS untuk mengerti tujuan
diberlakukannya peraturan itu. "Selama ini permasalahan dapat
ditangani satu per satu. Dan sampai sekarang semua kesulitan
dapat diatasi," kata Franklin J. Kine, Atase Perdagangan Kedubes
AS di Jakarta pada TEMPO.
Cuma masalah counter-trade (pengkaitan ekspor) yang agaknya
masih mencemaskan AS karena dianggap bertentangan dengan asas
perdagangan bebas. Toh sudah ada satu perusahaan AS, Woodward &
Deckers, yang setuju dan mengambil bagian dalam tender pupuk.
Beberapa perusahaan lain sedang menjajakinya, antara lain untuk
penyediaan peralatan tambang batubara Ombilin dan penyediaan
generator listrik buat PLN.
Joseph A.B. Winder dari Kedubes AS di Jakarta menganggap
Indonesia menjalankan counter-trade secara efektif dan "bujukan
Indonesia sangat meyakinkan." "Kami berharap kalau resesi
ekonomi dunia sudah berakhir countertrade tak perlu dilakukan
lagi,' ujarnya.
Namun pihak Indonesia rupanya juga memahami posisi sulit
pemerintahan Reagan akibat situasi ekonomi AS sendiri yang
kurang sehat. Beberapa hari sebelum Presiden Soeharto tiba,
pemerintah AS mengumumkan angka pengang-guran di negara itu
mencapai 10,2%, tertinggi sejak 1940. Lawan-lawan politik Reagan
menggunakan isu ekonomi untuk melemahkannya dalam pemilu awal
November nanti.
Dalam keadaan seperti ini, ketika sekitar dua setengah juta
orang Amerika sudah putus asa mencari pekerjaan, tidak ada jalan
lain bagi Reagan kecuali memperkuat bantuan ekonomi luar
negerinya. Hal ini tentu saja amat mengkhawatirkan negara-negara
Dunia Ketiga yang banyak tergantung pada dana-dana internasional
yang sebagian besar dibiayai uang AS. Menlu Mochtar dalamp
pembicaraannya dengan Menlu Shult mengemukakan keprihatinan
Indonesi mengenai hal ini, meski Indonesia tidak lagi terlalu
bergantung pada banyaknya bantuan unuk membiayai
pembangunannya.
Soal bantuan AS pada Indonesia ekonomi maupun militer--ternyata
memang tak disinggung dalam pembicaraan, sekalipun sementara
pers asing sebelumnya menyiarkan "Soeharto akan meminta bantuan
US$ 1 milyar dari AS untuk menjamin program pembangunan
Indonesia." "Itu tidak benar. Kunjungan Presiden sejak semula
tidak mengan dung maksud sedikit pun untuk mencar bantuan," kata
seorang pejabat tinggi anggota rombongan Presiden.
MALAH, menurut seorang pejabat yang lain, dari semula kunjungan
Pak Harto memang "tak membawa daftar belanjaan" dan
target-target yang spesifik. "Tujuan perjalanan pada dasarnya
hanyalah untuk memperkenalkan pada Reagan (yang perhatiannya
banyak diserap soal persaingan dua superpowers) suatu suara,
suatu kehadiran dari sebuah negara berkembang yang dinilai
berhasil dalam membangun, dan pemerintahnya baru saja
memenangkan pemilu lagi," kata pejabat itu.
Dalam sambutannya, setelah tiba Gedung Putih Selasa pagi maupun
dalam jamuan makan malam, Presiden Soeharto sendiri menegaskan
tujuan kunjungannya adalah "untuk menegaskan kembali
persahabatan antara kedua negara." Pak Harto juga menyatakan,
satu-satunya jawaban untuk mencapai penyelesaian yang mendasar
dan perbaikan yang menyeluruh dari ketimpangan di dunia ini
adalah mencapai tata dunia baru.
Dalam banyak topik Indonesia memang lebih menampilkan diri
sebagai membawa suara Dunia Ketiga. Meskipun dalam katakata
Mensesneg Sudharmono di pesawat kepresidenan DC-10 'Kalimantan'
sewaktu meninggalkan daratan AS, "Indonesia tak bermaksud
mengangkat diri menjadi juru bicara Dunia Ketiga."
Para pejabat Indonesia umumnya merasa cukup puas. Rupanya banyak
hal memang harus dikemukakan sendiri pa da tingkat tinggi.
Jaring-jaring birokrasi memang bisa ruwet, dan--apalagi AS-kini
tengah menghadapi pelbagai macam soal dari berbagai macam
negara. Dengan begitu ada kecenderungan intensitas berkurang
dalam memperhatikan masalah-masalah. Setidaknya informasi jadi
tipis sekali ketika sampai di puncak.
Contoh menarik adalah persoalan negosiasi global untuk
pembangunan ekonomi, yang dicanangkan oleh Kelompok 77 (UNCTAD)
yang kini beranggotakan lebih dari 100 negara berkembang. Pada
pembicaraan pagi hari, segera setelah Reagan dan Soeharto
bertemu di Ruang Oval, seorang menteri dalam Kabinet Reagan
mengemukakan, dalam perbaikan ekonomi Dunia Ketiga melalui
dialog dengan negara maju diperlukan "langkah konkrit", bukan
cuma negosiasi global.
Nampak bagi delegasi Indonesia bahwa pemerintah AS pada tingkat
kabinet, kurang mendapatkan versi yang lebih lengkap. Maka dalam
pertemuan setelah jamuan makan siang antar-menteri,
Indonesia--seraya mendatangkan Dubes Alex Alatas dari New
York--menjelaskan duduk soalnya. Alex yang pernah menjadi
jurubicara Kelompok 77 di Jenewa tahun 1976, berbicara cukup
jelas dan tegas tentang ini.
"Penjelasan Alex sangat membantu," kata Menlu Mochtar kemudian.
Tentu saja itu bukan cuma karena kefasihan Alex. AS tampaknya
lebih bisa menerima penjelasan Indonesia karena Indonesia
dianggap negeri berkembang yang tidak konfrontatif. "Sejak
semula kita nemang tak menganut politik konfrontasi menghadapi
negara maju," kata seorang pejabat tinggi.
Reagan sendiri, ketika menyambut Pak Harto di depan Gedung
Putih, menyebut Indonesia sebagai negara yang punya komitmen
teguh pada kemandiriannya serta ketahanan nasionalnya. "Tapi tak
ada bangsa lain yang mengejar tujuan itu dengan cara yang lebih
bertanggung jawab dibanding Indonesia,' ujar Reagan.
Bertanggung jawab, dalam pengertian Reagan, tentulah tidak asal
gasak. Dan juga dalam perkara negosiasi global, yang justru
merupakan langkah konkrit yang diharapkan AS, Indonesia hanya
memperingatkan bahwa AS akan dituduh bertanggung jawab bila
terjadi kegagalan dalam dialog penting itu. Dari pertemuan siang
di State Department (Deplu AS), pihak Indonesia mendapat kesan,
AS lebih terbuka untuk perkara negosiasi global itu.
Presiden Soeharto tak cuma memanfaatkan waktunya yang 24 jam di
Washington DC hanya dalam pembicaraan resmi. Ia tak cuma bicara
dengan Reagan. Dalam acara kunjungan kehormatan Wapres Bush dan
Menlu Shultz ke kamar kepresidenan di Hotel Madison, Pak Harto
juga mengemukakan pendapatnya tentang pelbagai soal yang relevan
bagi hubungan RI-AS. Misalnya soal hukum laut.
Dalam pembicaraannya dengan Menlu George P. Shultz, Menlu
Mochtar juga mengemukakan hal yang sama. Indonesia
"menyayangkan" ketidaksediaan AS menandatangani Konvensi Hukum
Laut III. Sebelum Reagan naik, delegasi AS telah menyetujui
beberapa hal, antara lain lebar laut teritorial 12 mil. Konsepsi
negara nusantara juga tidak diprotesnya lagi. Yang masih
mengganjal adalah soal penambangan dasar samudra dalam (deep
seabed mining).
Selama pra-Reagan, beberapa konsesi telah disepakati dan
kemudian tercantum dalam Rancangan Konvensi termasuk: masalah
alih teknologi, pembatasan produksi dan kedudukan International
Seabed Authonty. Begitu Reag. naik ia ingin meninjau kembali
butir-buti persetujuannya. Reagan menilai konsensus yang telah
dicapai tidak menguntungkan AS, terutama bagi kepentingan pihak
swasta dan penghargaan atas kreasi teknologi bangsanya.
Di pesawat terbang, sepulang dari Washington, Menlu Mochtar
menyatakan, ia tak yakin AS akan mengubah pendiriannya. Betapa
pun Indonesia menolak diajak berunding bilateral mengenaini,
dengan alasan konvensi telah ditandatangani seluruh dunia, hanya
AS yang tidak. "Ini tentu bukan urusan Indonesia dan AS lagi,"
kata Mochtar.
Toh ada juga yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh delegasi
Indonesia. Misalnya Wapres George Bush di depan Pak Harto
mengatakan mengakui Negara Kepulauan sebagai prinsip.
Dinyatakannya juga, dalam menolak menandatangani Konvensi Hukum
Laut, AS tak bermaksud menolak "Kawasan Nusantara" Indonesia.
DAN Timor Timur? "Kemajuan" juga dicapai dalam soal yang peka
itu. Sikap resmi pemerintah AS selama ini mengakui integrasi
Tim-Tim dalam RI.
Namun ada pihak-pihak di AS yang masih mempersoalkan masalah
ini. Sekelompok anggota Kongres dua pekan sebelum Pak Harto
tiba, membuka kembali masalah ini. Juga ada tajuk rencana di
beberapa surat kabar. Namun yang dipersoalkan bukan lagi pada
"pendudukan" Indonesia terhadap wilayah itu, melainkan pada
masalah "kelaparan" dan "ketertutupan Indonesia di Timor Timur".
Alhasil, kunjungan Presiden Soeharto ke AS dianggap berhasil.
"Pembicaraan dengan mereka sangat bersahabat, menyangkut materi
yang luas, baik skala internasional maupun bilateral. Kita telah
bisa mengemukakan apa yang kita anggap masalah-masalah penting,"
kata Mensesneg Sudharmono pada para wartawan di pesawat DC-10
Kalimanun setelah meninggalkan Washington menuju Houston .
Tentu tak bisa diharapkan kunjungan yang 24 jam itu akan cepat
mendorong AS untuk mengubah beleidnya. Tapi setidaknya ada kesan
pada pihak Indonesia, di tingkat tinggi administrasi Reagan kini
telah tercatat betapa seriusnya Indonesia menghadapi berbagai
soal yang dikemukakan itu. Bagi pihak Indonesia, untuk
sementara, itu dipandang cukup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini