Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Persahabatan, Dan Kejutan...

Presiden soeharto dalam kunjungannya ke AS dimintai persetujuannya oleh reagan akan penunjukkan john h. holdridge sebagai duta besar AS untuk Indonesia. (nas)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

API kayu pendiangan Ruang Oval Gedung Putih menghangati pagi musim gugur -- dan juga hubungan Reagan-Soeharto. Di ruangan penuh perabot tua itu, di bawah lukisan George Washington yang cantik tersenyum seperti Budha, Presiden Reagan rupanya hendak memberi satu surprise bagi tamunya pagi itu. Ia menyebut sebuah nama. Holdridge. Nama itu, lengkapnya John H. Holdridge, dimaksudkan untuk menjadi pengisi sebuah lowongan yang selama ini diramaikan orang setelah hampir setahun tak kunjung terisi: jabatan duta besar AS di Indonesia. Memang, kosongnya kursi di gedung besar di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, itu selama ini tak mengganggu kelancaran kerja diplomatik antara kedua negara. Malah menurut suatu lelucon di kalangan perwakilan asing di ibukota RI, lebih enak tak ada dubes AS di Jakarta: dengan begitu berkurang satu tempat buat pesta koktil yang membosankan. Betapapun seorang dubes bukan cuma seorang penjamu resepsi. Bahkan bukan cuma seorang kepala kantor. Ia juga simbol, mengisyaratkan sejauh mana sebuah negara mementingkan relasinya dengan sebuah negara lain. Dan tak pelak lagi, dengan mengisi kursi dubes yang kosong, dan menyebut John Holdridge untuk jabatan itu, Reagan kasih isyarat-yang oleh Indonesia dianggap seharusnya: perhatian pemerintah AS kepada Indonesia tak sekedar basa-basi. Holdridge, 58 tahun, jangkung dan besar, dengan muka yang montok ramah, bukan tokoh sembarangan. Dalam usia 24 tahun, sinolog lulusan Universitas Cornell dan Harvard ini memasuki dinas luar negeri AS. Ia juga lulusan Akademi Militer West Point dan bertugas di AD AS selama 2 tahun. Karirnya, yang sebagian besar dilewatkannya di Asia Tenggara dan Timur, menanjak terus. Praktis seluruh kawasan itu telah dijelajahinya: Bangkok, Hongkong, Singapura dan Beijing. Sejak Mei 1981 ia menjabat Asisten Menlu Urusan Asia Timur dan Pasifik. Sebelum itu seusai menjabat dubes di Sgapura, Holdridge diangkat sebagai pejabat intelijen untuk Asia Timur. Maka ketika Reagan menanyakan persetujuan Pak Harto di depan api pendiangan Gedung Putih Selasa pagi pekan lalu itu - dalam percakapan 15 menit dengan hanya satu penerjemah ( dari pihak Indonesia)--Kepala Negara Indonesia menyatakan tidak berkeberatan. Tentu saja ini suatu cara yang agak luar biasa buat minta persetujuan pencalonan seorang dubes kepada pemerintah negara tempat ia akan dikirim. Lazimnya proses itu digerakkan lewat prosedur di Deplu masing-masing. Tapi Reagan rupanya memerlukan sedikit teater untuk itu--satu pertunjukan yang istimewa. Sebab kosongnya kursi dubes di Jakarta jelas cukup merikuhkan jika belum juga diproses sementara Pak Harto datang bertamu. Bagi citra Reagan di dalam negeri, lowongnya kursi itu juga mencerminkan kekisruhan administrasi pemerintahannya dalam mengambil keputusan, khususnya dalam soal hubungan luar negeri. Persaingan yang keras, hingga bersifat sabot-menyabot, antara pelbagai kalangan di Deplu AS dan orang-orang di sekitar Presiden (ditambah suara-suara dari Senat), bisa menyolok sekali. Misalnya dalam kasus Morton Abramowitz dan Kent Crane. Akhir tahun lalu, tatkala Dubes E. Masters menyelesaikan masa tugasnya di Jakarta, sebuah nama disebut sebagai penggantinya: Michael Armacost, seorang diplomat karir yang dianggap ahli masalah Asia. Keruwetan mulai terjadi tatkala Menlu Alexander Haig memutuskan untuk mengangkat Morton Abramowitz bekas dubes di Thailand, sebagai Asisten Menlu urusan Asia Timur dan Pasifik. Ternyata lawan-lawan Abramowitz tidak tinggal diam. Tahu-tahu muncul sebuah makalah rahasia yang melukiskan Abramowitz sebagai seorang liberal, dekat dengan kaum Demokrat, dan turut mendorong rencana penarikan mundur pasukan AS dari Korea Selatan. Serangan itu ternyata berhasil. Haig dikabarkan membatalkan promosi Abramowitz dan akan mengirimnya sebagai dubes di Filipina. Namun ternyata kalangan militer yang konservatif menentangnya, gagal lagi. Akhirnya Gedung Putih memu tuskan untuk menunjuknya sebagai dubes di Jakarta sedang Armacost dialihkan untuk Filipina. Namun rupanya makalah rahasia tentang Abramowitz -- penuh dengan cara bagaimana--sampai juga di Jakarta. Pemerintah RI rupanya menganggap seorang dubes yang mendapat tentangan dari kalangan dalam AS sendiri tidak akan bisa bekerja secara efektif dan meminta calon yang lain. Beberapa nama calon baru muncul, yang terakhir Kent B. Crane. Bekas diplomat yang beralih menjadi pengusaha besar ini konon ditawari kursi itu oleh Presiden Reagan sendiri dalam suatu pertemuan di Gedung Putih. Pertcmuan dan pencalonan itu rupanya bocor dan menjadi sensasi besar di koran-koran AS. Selain karena konon ia bekas agen CIA Dinas Rahasia AS), yang disorot pada diri Crane adalah hubungan dagangnya dengan pihak-pihak tertentu di Indonesia (TEMPO, 25 September). Antara lain disehut nama Yani Haryanto (Yantje Liem), seorang pengusaha h.sar Indonesia yang kabarnya menanam modal di AS lewat Crane. Salah satu perusahaan yng mereka bentuk adalah Techdirective, yang memproduksikan senjata dan peralatan keamanan, misalnya pistol yang disamarkan sebagai pulpen. Perusahaan ini diresmikan pertengahan tahun lalu, dengan Crane--yang mengaku bisa berbahasa Indonesia--sebagai presiden direktur. Ini menimbulkan kekhawatiran dan tentangan. "Saya ragu apakah Crane nantinya bisa memisahkan tugas diplomatik dengan kepentingan pribadinya," kata seorang senator di Washington. Crane rupanya juga dianggap kurang berbobot oleh pihak Indonesia. Maka Crane pun tersisih, Holdridge ditunjuk, dan teater Ronald Reagan disiapkan. Presiden AS itu mulai menyiapkan Holdridge, menurut suatu sumber, hari Sabtu--sehari sebelum Pak Harto mendarat di Greenboro, untuk kemudian mengaso di Greenbrier, satu jam--terbang dari Washington DC, di Pegunungan Alleghany yang berkabut. Keputusan rupanya dilakukan secara kilat, sebab orang di Washington harus menghadapi hari Minggu dan hari Senin yang kebetulan juga libur (Columbus Day). Padahal, pada hari Selasa, Reagan harus menyambut Pak Harto di Gedung Putih, dengan upacara bendera dan parade yang sederhana tapi semarak. NAMUN cepatnya pengambilan keputusan menunjuk Holdridge itu juga tak mengurangi ketepatan waktu guna memperoleh persetujuan Soeharto. Dan Reagan pun bisa mempersiapkan langkah selanjutnya: mengumumkan, secara tak tersangka-sangka, hasil keputusannya itu pada jamuan resmi malam harinya yang disajikan buat Kepala Negara RI. "Saya sepenuhnya sependapat dengan anda mengenai pentingnya memperkuat dan memperluas lebih jauh hu bungan antara kedua negeri kita. Demi tujuan itu, dengan amat gembira saya umumkan malam ini keputusan saya untuk mencalonkan sebagai wakil pribadi saya pada pemerintah anda, seorang yang sudah anda kenal dengan baik, yang saya percayai sepenuhnya, Pembantu Menteri John H. Holdridge," kata Presiden Reagan malam itu. Di situlah pentas Reagan. Dalam acara Gedung Putih yang sudah jadi rutin itu, saking banyaknya kepala pemerintahan yang menjadi tamu, ia mau melakukan sesuatu yang lain dari yang lain. Suatu kejutan. Maka semua lubang ditutup rapat agar apa yang akan diumumkannya itu tak keburu bocor. Hasilnya memang efektif. Pengumuman Reagan menjadi bahan percakapan ramai begitu jamuan makan selesai dan sekitar 120 tarmu menunggu acara berikutnya: malam kesenian yang diisi dengan resital penyanyi mezzo soprano Fredcrica von Stade. Reagan tak menyembunyikan kegembiraannya melihat kejutannya ternyata berhasil. Ia meledek sejumlah wartawan Amerika yang datang meliput perjamuan itu (juga dengan dasi kupu dan kemeja berenda): "Bagaimana kalian bisa menduga, kalau saya menghindar-hindar terus". Dan di jamuan resmi yang dihadiri berbagai tokoh itu (ada Cindy Adams dan suaminya, ada ratu mode Gloria Vanderbilt, ada pula pegolf profesional Arnold Palmer), semua orang nampak gembira atas penunjukan Holdridge. Menlu George Shultz menilai Holdridge "A-Plus", di atas .lngka tertinggi. Sebab, "Indonesia mengenal dia dan Presiden (Reagan) mempercayainya." Wakil Presiden Bush yang pernah bekerja sama dengan Holdridge di Cina memujinya dengan antusias Bahkan Kent Crane, yan hadir dalam perjamuan di Ruang Biru itu, mengatakan tentang pencalonan Hol dridge. "Mereka memperoleh orang yang baik," katanya. Presiden Soeharto sendiri, sebagai dikutip oleh Donnie Radeliffe (The Washington Post dari percakapa kecil di jamuan resmi itu mengatakan tentang penunjukan Holdridge. "Sangat baik, saya mengenalnya. Satu kehormatan bagi Indonesia untuk mendapatkal orang yang diangkat adalah seorang diplomat yang sangat terpandang." Holdridge sendiri menyatakan ia menerima pengangkatan atas dirinya "begitu hal itu ditawarkan". Dia tampak bersalaman dengan Pak Harto dan tersenyum lebar berdua. Tak heran. Dia mendapat keistimewaan, mungkin sebagai satu-satunya dubes AS yang diumumkan pencalonannya dalam sebuah jamuan kenegaraan--dan langsung diterima negara yang bersangkutan. Dia juga mendapat kehormatan untuk menjadi faktor utama yang menghangatkan kembali hubungan Indonesia-AS, yang belakangan ini sedikit retak di sana-sini. Jadi soal dubes AS untuk Jakarta telah beres. "Kita tinggal menanti pengajuan resmi dari Washington," kata Menlu Mochtar Kusumaatmadja pada TEMPO. "Bisa dipastikan tidak ada soal lagi lagi pihak Indonesia, sebab selain Presidcn Soeharto telah memberikan persetujuan atas pengangkatan itu, Holdridge sendri memang merupakan sebuah nama yang meyakinkan", sambungnya. Namun soal dubes bukan satu-satunya kerikil tajam--meski belum sampi melukai telapak--dalam hubungan Indonesia-AS. Hubungan kedua negara saat ini, menurut seorang pejabat tinggi yang menyertai rombongan Presiden," correct (tepat), normal, tapi untuk disebut hangat, ya tidak," ganjalan yang paling dirasakan agaknya di bidang perdagangan. Sekalipun dari tahun ke tahun jumlahnya menaik. persentase impor AS ke Indonesia secara keseluruhan menurun dibanding pada 1970-an. Menurut data dari hak Indonesia, pada 1981 perdagangan antara kedua negara meliputi jumlah sekitar US$ 5,9 milyar, yang merupakan 16,5% dari seluruh perdagangan Indonesia. Sekitar 13,5% impor dan 18,3% ekspor Indonesia adalah hasil perdagangan dengan AS. Ini bisa dibandingkan dengan impor dari Jepang yang mencapai 30% dari seluruh impor Indonesia pada 1981, sedang impor dari negara-negara MEE 16%. Menurut data dari pihak AS, ekspor Indonesia ke AS pada 1981 tercatat lebih US$ 6 milyar (1980 US$ 5,1 milyar, sedang impor dalam periode yang sama tercatat US$ 1,2 milyar (1981) dan US$ 1,5 milyar (1980). Ekspor Indonesia ke AS dianggap terlalu pincang: pada 1981 sekitar 84% berupa minyak mentah dan hasil-hasil minyak lainnya. Sisanya yang 16% atau sekitar US$ 943 juta ternyata sebagian tersandung beberapa hambatan. Timah misalnya. Harga timah di asaran dunia yang anjlok sangat mengkhawatirkan Indonesia. Umumnya yang dituding sebagai penyebabnya adalah ancaman pemerintah AS yang melalui General Services Administration (GSA) senantiasa terasa mengancam negara-negara produsen dengan melemparkan sekitar 30 ribu ton dari cadangannya ke pasar. Akibatnya harga timah jatuh. Di bursa timah London awal Januari lalu harganya Å“ 8.700 per ton sedang akhir September lalu Å“ 7.220 per ton. AS juga menolak menandatangani Perjanjian Timah Internasional VI di Jenewa, karena tidak setuju besarnya cadangan penyangga yang ditentukan. AS punya alasan. "Rendahnya harga timah disebabkan oleh lemahnya keadaan ekonomi dunia," kata Joseph A.B. Winder, Councelor bidang Ekonomi Kedubes AS di Jakarta kepada TEMPO. AS, menurut dia, mempunyai lebih 100 ribu ton cadangan timah dan merencanakan melepaskan 10 ribu ton per tahun. "Namun belakangan ini yang dijual hanya sekitar 100 ton per bulan hingga efeknya di pasaran kecil." katanya. Yang juga mengecewakan adalah sikap AS dalam soal GSP (General System Preferences). GSP diputuskan Badan Kerjasama PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) untuk meringankan bea masuk barang dari negara berkembang ke negara industri. Sistem ini kemudian diambil oper negara-negara industri dalam GATT (Perjanjian Bersama Tentang Tarif dan Perdagangan), juga lembaga PBB yang bermarkas di Jenewa . Prinsipnya: bea masuk barang-barang tertentu dari negara berkembang ke negara maju dapat preferensi, artinya tarifnya lebih rendah. Ekspor kayu lapis Indonesia misalnya, pada 1981 berjumlah US$ 28 juta, ternyata tak memperoleh GSP (bea masuk), malah dikenakan bea masuk setinggi 14%. Keluhan lain terjadi pada ekspor pakaian jadi (garmen). Pihak Indonesia merasa AS seharusnya lebih berkepentingan dengan tumbuhnya industri tekstil Indonesia karena Indonesi? banyak membeli kapas dari AS, Pada 1981 umpamanya, impor itu mencapai US$ 92 juta (dibanding US$ 112 juta pada 1980). Angka ini lebih dari dua kali lipat ekspor garmen Indonesia ke AS yang hanya US$ 38 juta pada 1981. Harus dicatat, Indonesia juga mengimpor mesin tekstil dari AS. Ada anggapan perlakuan terhadap tekstil Indonesia oleh AS juga terasa pincang bila dibandingkan perlakuan terhadap RRC dan Taiwan. Meski bukan anggota MFA (Multi Fbre Agreement), kcdua negara itu nampaknya lebih diberi kelonggaran dalam hal ekspor tekstil ke AS. Untuk kategori 347 dan 348 (celan panjang pria), kuota buat RRC adalah 1.440.000 lusin, sedang Indonesia cuma kebagian sekitar 570.000 lusin. Namun beberapa pengusaha pakaian jadi di Jakarta berpendapat kuota AS itu "cukup besar" dan "menguntungkan Indonesia". Sebab menurut MFA seharusnya ketetapan kuota itu dimulai Februari 1982, tapi AS mengundurkannya menjadi Juli 1982. "Di samping itu untuk kategori 340 (baju pria) kita seharusnya mendapat kuota 249.000 lusin tetapi ternyata mendapat 321.000 lusin," ujar Abdul Halim, Dir-Ut PT Indo Hinson Garment Factory yang juga menjabat Ketua Umum Persatuan Inustri Bonded Warehouses Indonesia, Jakarta. Selain itu AS membolehkan kenaikan 7% per tahun buat ekspor garmen Indonesia, dibanding Taiwan yang cuma sekitar 2%. Masalah Keppres 18/1982 yang mengharuskan pengangkutan muatan barang ekspor dan impor milik pemerintah dilakukan kapal Indonesia yang semula ditentang keras AS, ternyata tak begitu mengganjal. Rupanya perundingan kedua pihak di Jakarta dan Washington sangat membantu AS untuk mengerti tujuan diberlakukannya peraturan itu. "Selama ini permasalahan dapat ditangani satu per satu. Dan sampai sekarang semua kesulitan dapat diatasi," kata Franklin J. Kine, Atase Perdagangan Kedubes AS di Jakarta pada TEMPO. Cuma masalah counter-trade (pengkaitan ekspor) yang agaknya masih mencemaskan AS karena dianggap bertentangan dengan asas perdagangan bebas. Toh sudah ada satu perusahaan AS, Woodward & Deckers, yang setuju dan mengambil bagian dalam tender pupuk. Beberapa perusahaan lain sedang menjajakinya, antara lain untuk penyediaan peralatan tambang batubara Ombilin dan penyediaan generator listrik buat PLN. Joseph A.B. Winder dari Kedubes AS di Jakarta menganggap Indonesia menjalankan counter-trade secara efektif dan "bujukan Indonesia sangat meyakinkan." "Kami berharap kalau resesi ekonomi dunia sudah berakhir countertrade tak perlu dilakukan lagi,' ujarnya. Namun pihak Indonesia rupanya juga memahami posisi sulit pemerintahan Reagan akibat situasi ekonomi AS sendiri yang kurang sehat. Beberapa hari sebelum Presiden Soeharto tiba, pemerintah AS mengumumkan angka pengang-guran di negara itu mencapai 10,2%, tertinggi sejak 1940. Lawan-lawan politik Reagan menggunakan isu ekonomi untuk melemahkannya dalam pemilu awal November nanti. Dalam keadaan seperti ini, ketika sekitar dua setengah juta orang Amerika sudah putus asa mencari pekerjaan, tidak ada jalan lain bagi Reagan kecuali memperkuat bantuan ekonomi luar negerinya. Hal ini tentu saja amat mengkhawatirkan negara-negara Dunia Ketiga yang banyak tergantung pada dana-dana internasional yang sebagian besar dibiayai uang AS. Menlu Mochtar dalamp pembicaraannya dengan Menlu Shult mengemukakan keprihatinan Indonesi mengenai hal ini, meski Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada banyaknya bantuan unuk membiayai pembangunannya. Soal bantuan AS pada Indonesia ekonomi maupun militer--ternyata memang tak disinggung dalam pembicaraan, sekalipun sementara pers asing sebelumnya menyiarkan "Soeharto akan meminta bantuan US$ 1 milyar dari AS untuk menjamin program pembangunan Indonesia." "Itu tidak benar. Kunjungan Presiden sejak semula tidak mengan dung maksud sedikit pun untuk mencar bantuan," kata seorang pejabat tinggi anggota rombongan Presiden. MALAH, menurut seorang pejabat yang lain, dari semula kunjungan Pak Harto memang "tak membawa daftar belanjaan" dan target-target yang spesifik. "Tujuan perjalanan pada dasarnya hanyalah untuk memperkenalkan pada Reagan (yang perhatiannya banyak diserap soal persaingan dua superpowers) suatu suara, suatu kehadiran dari sebuah negara berkembang yang dinilai berhasil dalam membangun, dan pemerintahnya baru saja memenangkan pemilu lagi," kata pejabat itu. Dalam sambutannya, setelah tiba Gedung Putih Selasa pagi maupun dalam jamuan makan malam, Presiden Soeharto sendiri menegaskan tujuan kunjungannya adalah "untuk menegaskan kembali persahabatan antara kedua negara." Pak Harto juga menyatakan, satu-satunya jawaban untuk mencapai penyelesaian yang mendasar dan perbaikan yang menyeluruh dari ketimpangan di dunia ini adalah mencapai tata dunia baru. Dalam banyak topik Indonesia memang lebih menampilkan diri sebagai membawa suara Dunia Ketiga. Meskipun dalam katakata Mensesneg Sudharmono di pesawat kepresidenan DC-10 'Kalimantan' sewaktu meninggalkan daratan AS, "Indonesia tak bermaksud mengangkat diri menjadi juru bicara Dunia Ketiga." Para pejabat Indonesia umumnya merasa cukup puas. Rupanya banyak hal memang harus dikemukakan sendiri pa da tingkat tinggi. Jaring-jaring birokrasi memang bisa ruwet, dan--apalagi AS-kini tengah menghadapi pelbagai macam soal dari berbagai macam negara. Dengan begitu ada kecenderungan intensitas berkurang dalam memperhatikan masalah-masalah. Setidaknya informasi jadi tipis sekali ketika sampai di puncak. Contoh menarik adalah persoalan negosiasi global untuk pembangunan ekonomi, yang dicanangkan oleh Kelompok 77 (UNCTAD) yang kini beranggotakan lebih dari 100 negara berkembang. Pada pembicaraan pagi hari, segera setelah Reagan dan Soeharto bertemu di Ruang Oval, seorang menteri dalam Kabinet Reagan mengemukakan, dalam perbaikan ekonomi Dunia Ketiga melalui dialog dengan negara maju diperlukan "langkah konkrit", bukan cuma negosiasi global. Nampak bagi delegasi Indonesia bahwa pemerintah AS pada tingkat kabinet, kurang mendapatkan versi yang lebih lengkap. Maka dalam pertemuan setelah jamuan makan siang antar-menteri, Indonesia--seraya mendatangkan Dubes Alex Alatas dari New York--menjelaskan duduk soalnya. Alex yang pernah menjadi jurubicara Kelompok 77 di Jenewa tahun 1976, berbicara cukup jelas dan tegas tentang ini. "Penjelasan Alex sangat membantu," kata Menlu Mochtar kemudian. Tentu saja itu bukan cuma karena kefasihan Alex. AS tampaknya lebih bisa menerima penjelasan Indonesia karena Indonesia dianggap negeri berkembang yang tidak konfrontatif. "Sejak semula kita nemang tak menganut politik konfrontasi menghadapi negara maju," kata seorang pejabat tinggi. Reagan sendiri, ketika menyambut Pak Harto di depan Gedung Putih, menyebut Indonesia sebagai negara yang punya komitmen teguh pada kemandiriannya serta ketahanan nasionalnya. "Tapi tak ada bangsa lain yang mengejar tujuan itu dengan cara yang lebih bertanggung jawab dibanding Indonesia,' ujar Reagan. Bertanggung jawab, dalam pengertian Reagan, tentulah tidak asal gasak. Dan juga dalam perkara negosiasi global, yang justru merupakan langkah konkrit yang diharapkan AS, Indonesia hanya memperingatkan bahwa AS akan dituduh bertanggung jawab bila terjadi kegagalan dalam dialog penting itu. Dari pertemuan siang di State Department (Deplu AS), pihak Indonesia mendapat kesan, AS lebih terbuka untuk perkara negosiasi global itu. Presiden Soeharto tak cuma memanfaatkan waktunya yang 24 jam di Washington DC hanya dalam pembicaraan resmi. Ia tak cuma bicara dengan Reagan. Dalam acara kunjungan kehormatan Wapres Bush dan Menlu Shultz ke kamar kepresidenan di Hotel Madison, Pak Harto juga mengemukakan pendapatnya tentang pelbagai soal yang relevan bagi hubungan RI-AS. Misalnya soal hukum laut. Dalam pembicaraannya dengan Menlu George P. Shultz, Menlu Mochtar juga mengemukakan hal yang sama. Indonesia "menyayangkan" ketidaksediaan AS menandatangani Konvensi Hukum Laut III. Sebelum Reagan naik, delegasi AS telah menyetujui beberapa hal, antara lain lebar laut teritorial 12 mil. Konsepsi negara nusantara juga tidak diprotesnya lagi. Yang masih mengganjal adalah soal penambangan dasar samudra dalam (deep seabed mining). Selama pra-Reagan, beberapa konsesi telah disepakati dan kemudian tercantum dalam Rancangan Konvensi termasuk: masalah alih teknologi, pembatasan produksi dan kedudukan International Seabed Authonty. Begitu Reag. naik ia ingin meninjau kembali butir-buti persetujuannya. Reagan menilai konsensus yang telah dicapai tidak menguntungkan AS, terutama bagi kepentingan pihak swasta dan penghargaan atas kreasi teknologi bangsanya. Di pesawat terbang, sepulang dari Washington, Menlu Mochtar menyatakan, ia tak yakin AS akan mengubah pendiriannya. Betapa pun Indonesia menolak diajak berunding bilateral mengenaini, dengan alasan konvensi telah ditandatangani seluruh dunia, hanya AS yang tidak. "Ini tentu bukan urusan Indonesia dan AS lagi," kata Mochtar. Toh ada juga yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh delegasi Indonesia. Misalnya Wapres George Bush di depan Pak Harto mengatakan mengakui Negara Kepulauan sebagai prinsip. Dinyatakannya juga, dalam menolak menandatangani Konvensi Hukum Laut, AS tak bermaksud menolak "Kawasan Nusantara" Indonesia. DAN Timor Timur? "Kemajuan" juga dicapai dalam soal yang peka itu. Sikap resmi pemerintah AS selama ini mengakui integrasi Tim-Tim dalam RI. Namun ada pihak-pihak di AS yang masih mempersoalkan masalah ini. Sekelompok anggota Kongres dua pekan sebelum Pak Harto tiba, membuka kembali masalah ini. Juga ada tajuk rencana di beberapa surat kabar. Namun yang dipersoalkan bukan lagi pada "pendudukan" Indonesia terhadap wilayah itu, melainkan pada masalah "kelaparan" dan "ketertutupan Indonesia di Timor Timur". Alhasil, kunjungan Presiden Soeharto ke AS dianggap berhasil. "Pembicaraan dengan mereka sangat bersahabat, menyangkut materi yang luas, baik skala internasional maupun bilateral. Kita telah bisa mengemukakan apa yang kita anggap masalah-masalah penting," kata Mensesneg Sudharmono pada para wartawan di pesawat DC-10 Kalimanun setelah meninggalkan Washington menuju Houston . Tentu tak bisa diharapkan kunjungan yang 24 jam itu akan cepat mendorong AS untuk mengubah beleidnya. Tapi setidaknya ada kesan pada pihak Indonesia, di tingkat tinggi administrasi Reagan kini telah tercatat betapa seriusnya Indonesia menghadapi berbagai soal yang dikemukakan itu. Bagi pihak Indonesia, untuk sementara, itu dipandang cukup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus