Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Petisi Sabtu Pagi

Sejumlah mahasiswa menuntut P dan K agar membebaskan Ttri Susanto, sehubungan dengan penelitiannya tentang lemak babi. Aksi unjuk rasa ini juga terjadi di bandung & yogyakarta. suatu protes yang kurang matang.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH atraksi yang jarang terjadi, Sabtu pekan lalu, berlangsung di Departemen P dan K, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Lima puluhan mahasiswa melakukan aksi duduk, menuntut agar dipertemukan dengan Menteri Fuad Hassan. Mereka duduk-duduk di lantai dasar bangunan itu, sambil menyanyikan lagu-lagu "perjuangan" yang nyenggol kiri-kanan, membaca puisi, dan tak lupa pula memajang poster. "Cabut NKK/BKK," begitu bunyi satu poster "Bebaskan Pak Tri dari Tahanan Kota," bunyi tulisan yang lain. Tri yang mereka maksud adalah Dr. Tri Susanto, dosen Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, yang terkenal lantaran surveinya tentang lemak babi beberapa waktu lalu. Tiga jam aksi itu berlangsung, sampai akhirnya Fuad Hassan membuka pintu untuk wakil delegasi yang tak diundang itu. Lantas, Kukuh Prio Utomo (mahasiswa Unibraw) dan Armansyah (ITB) menemui Menteri, mewakili kawan-kawannya yang berasal dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta dari Malang, Yogya, Bandung, dan Jakarta. Kepada Menteri, kedua orang wakil delegasi menyerahkan sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 40-an mahasiswa. Isinya, antara lain, mendukung penelitian Dr. Tri sebagai bagian dari kebebasan mimbar akademis menuntut dibebaskannya Tri dari tahanan kota, dan meminta pemerintah menjamin kebebasan setiap penelitian ilmiah dalam bidang apa pun. Tapi ketika Kukuh Prio Utomo, yang kebetulan mahasiswa Dr. Tri Susanto di Unibraw Malang, akan membacakan deklarasi itu, Fuad memotong, "Tak usah dibacakan. Saya tidak buta huruf." Lantas, Fuad meminta wakil mahasiswa itu cepat-cepat mengemukakan "tuntutan" lainnya, di luar yang tersebut dalam deklarasi. "Apa lagi lainnya, ayo, bicara," tantang Fuad. Agaknya, wakil mahasiswa itu tak siap dengan "pelor" lain. Mereka mendaulat Fuad agar bersedia berdialog dengan rombongan besarnya. Fuad menolak. "Ini terakhir kali, saya mau menerima kalian dengan cara begini," ujar Fuad, setengah jengkel. Kedua mahasiswa itu pun segera keluar ruangan, dan drama pun berakhir. Aksi unjuk rasa itu merupakan buntut dari sebuah diskusi tentang RUU Pendidikan -- berlangsung hari Jumat pekan lalu, di IKIP Jakarta -- yang dihadiri wakil-wakil mahasiswa dari Malang, Yogya, Bandung, dan Jakarta. Soal kebebasan mimbar, pada diskusi itu, muncul menjadi topik yang hangat, apalagi setelah soal itu dikaitkan dengan kasus survei Tri Susanto. Mendadak pembicaraan berbelok. Ada usul agar forum itu merumuskan sebuah "deklarasi" untuk dibawa ke DPR. Debat pro dan kontra meletup. Banyak mahasiswa IKIP Jakarta yang keberatan. Kendati begitu, forum itu menyetujui pembentukan tim kecil yang akan merumuskan isi deklarasi itu. Lantas, disepakati pula bahwa rumusan tim itu akan dibawa ke DPR/MPR Senayan esoknya. Benar, para mahasiswa itu bergerak esok harinya, kendati jumlah mereka menyusut. Hanya saja, sasaran mereka alihkan dari Senayan ke Departemen P dan K. Tampaknya, aksi unjuk rasa kini kembali naik daun di kalangan mahasiswa. Jumat pekan lalu, 26 mahasiswa Bandung datang ke Senayan, menemui Ketua DPR/MPR Kharis Suhud. Rombongan yang menamakan dirinya Komite Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat Badega (KSMURB) ini menuntut agar dicapai penyelesaian yang lebih bijaksana pada sengketa tanah di Gunung Badega, Garut, Jawa Barat. Kasus sengketa itu, menurut para mahasiswa, menyangkut tanah seluas hampir 500 ha dan melibatkan 413 kepala keluarga. Pada awal 1960-an, tanah itu sempat tak terurus, lantas PT Sitrim datang, 1970, sebagai pemegang Hak Guna Usaha (HGU). Status HGU itu habis pada 1980. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh penduduk untuk mengajukan permohonan pemilikan. Namun, menurut tinjauan kelompok KSMURB itu, permohonan penduduk dijegal oleh aparat desa dan kecamatan. Buntutnya, malah PT SAM muncul sebagai pemegang HGU. Penduduk tak rela menyerahkan begitu saja tanahnya ke perusahaan swasta itu. Belakangan, untuk meratakan jalan, PT SAM main kayu, dengan menurunkan aparat keamanan untuk mengintimidasi, bahkan menangkap penduduk yang mencoba bertahan. Tindakan itulah yang diprotes oleh mahasiswa Bandung itu. Pertemuan di gedung DPR/MPR itu berlangsung dengan akrab. Kepada para mahasiswa, Kharis Suhud mengatakan akan meneruskan permasalahan itu ke instansi yang terkait. "Bilamana perlu, akan kami turunkan tim ke sana, untuk mencari kebenaran." ujar Kharis. Mahasiswa Yogya rupanya juga tertarik untuk membuat aksi yang bertema "kemanusiaan". Sabtu 10 Desember lalu, 500-an mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Yogya berkumpul di halaman Gelanggang Mahasiswa UGM, Bulaksumur, menyelenggarakan acara "mimbar bebas", bertepatan dengan Hari Hak-Hak Asasi Manusia. Mereka menuntut peninjauan kembali NKK/ BKK, kebebasan akademis, kebebasan mimbar, juga kebebasan pers. Begitulah memang, gaya anak muda: suka rame-rame, tak sabaran, dan meledak-ledak. Alhasil, bidikannya kadang agak ngawur. Protes soal Dr. Tri Susanto, misalnya kurang kena. Sebab, nyatanya nasib dosen Unibraw itu tak semalang seperti yang dibayangkan. Tri Susanto ternyata baik-baik saja. "Saya tetap boleh mengajar, tak ada persoalan apa-apa" ujarnya pada TEMPO Senin pekan ini. Isu penahanan Tri ditolak pula oleh Polda Ja-Tim. "Dr. Tri tidak dikenai tahanan termasuk tahanan kota," ujar sumber TEMPO di Polda Ja-Tim. "Kalau diinterogasi, ya. Tapi tidak ditahan." Ini kata I.N. Suwandha, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Sementara itu, Menteri Fuad Hassan tak mau mengobral janji terhadap tuntutan para mahasiswa itu, yang menyangkut kebebasan mimbar, atau NKK/BKK. Dua-tiga bulan lagi, menurut taksiran Fuad, RUU Pendidikan bakal menggelinding jadi undang-undang. "Jangan harap saya bikin perubahan apa-apa, sebelum undang-undang itu ada," ujarnya serius. Putut Tri Husodo, Agus Basri, Rustam F. Mandayun (Jakarta), Aries Margono (Yogya), dan Jalil Hakaim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus