HARI itu, 7 Februari lalu, bis mini "Bintang Mulia" melaju menyusuri Jalan Jendral Sudirman Magelang, Jawa Tengah. Rupanya si pengemudi tak melihat adanya tanda larangan untuk melalui jalan itu bagi kendaraan umum antarkota. Pelanggaran bis itu tak lolos dari penglihatan Kopda. Pol. Hartoyo, 24 tahun, yang berjaga di pos Karanggading. Tamtama polisi itu pun segera memacu motornya untuk mengejar. Di depan gedung bioskop Bayeman, sekitar 2 km dan pos Karanggading, bis itu bisa dihentikan. Ternyata "Bintang Mulia" membawa rombongan anggota DPRD Magetan, Jawa Timur, yang bermakcud mengadakan studi perbandingan ke Temanggung 22 km dari Magelang. Tapi Hartoyo tak peduli. Dia tetap memeriksa surat-surat kendaraan dan SIM sopir. Semuanya beres. Selesai? Tidak. Hartoyo bersikeras menggiring bis itu ke posnya SIM dan STNK dia tahan, dan dia minta bis mengikutinya ke pos. Hartoyo telah sampai kembali ke pos, tapi "Bintang Mulia" tak juga kunjung datang. Setelah satu jam, seorang pria tegap bergegas memasuki pos, dan melemparkan dompet hitamnya kepada Hartoyo, sembari memperkenalkan dirinya sebagai Letkol. Inf. Henky Kamermadi, pimpinan DPRD Magetan. Henky, 47 tahun, mendatangi pos itu untuk menyelesaikan urusan pelanggaran lalu lintas itu. "Apa Saudara tidak tahu, bis itu dipakai oleh rombongan anggota DPRD Magetan," ujar Henky waktu itu, seperti ditirukan oleh seorang sumber di Polresta Magelang. Sembari grogi, Hartoyo mencoba menjelaskan pelanggaran bis itu, dan tetap bersikeras untuk menilang "Bintang Mulia". Henky tak bisa menerima "kebijaksanaan" Hartoyo. Maka, "plak..." tamparan keras membuat tamtama polisi muda itu terhuyung. Setelah mengambil SIM dan STNK "Bintang Mulia", Hengky bergegas pergi. Agaknya kasus penggamparan itu membuat perasaan Kapolda Jateng Mayjen Pol Muslihat Wiradiputra meradang. "Tugas polisi memang dilematis," kata Muslihat. dalam pidato pelantikan beberapa pejabat tingkat Kadis (Kepala Dinas) di lingkungan Polda Ja-Teng, sembari menyebut kasus Hartoyo. "Suatu tindakan yang kadang dipandang salah bila dilaksanakan, tapi dinilai salah pula bila tidak dilakukan," tambahnya. Kapolda Jateng, tutur Letkol Pol. Imam Sunarso, Kadis Penerangan Polda Ja-Teng, sangat menyesalkan kejadian itu. "Mereka adalah orang-orang yang terpilih menjadi wakil rakyat, mengapa sampai berbuat seperti itu," ujar Imam, menirukan ucapan Muslihat. Kapolda Ja-Teng itu, kata Imam, juga akan membuat laporan kepada Ketua DPRD Ja-Tim dengan tembusan ke Polda Jawa Timur. Hengky Kahermadi mengaku menyesal sampai menempeleng Hartoyo. Tapi kekesalan itu, tutur bekas Dandim Madiun 1982-1987 yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Magetan itu, lahir lantaran sikap "sok kuasa ' yang diperlihatkan Hartoyo. Ketika meminta berhenti misalnya, Hartoyo melakukannya dengan memotong jalan bis dengan motornya. Dengan memperkenalkan dirinya sebagai perwira menengah aktif, ketika bertemu di pos, Henky berharap agar Hartoyo bisa bicara lugas. Henky menanyakan sejumlah kejanggalan itu, dan mengapa bis dilepas tanpa SIM serta STNK? Tapi, selain mengesankan tak mau memberikan rasa hormat kepada perwira, jawaban Hartoyo, tutur Henky, "Bertele-tele, tidak logis, dan dicari-cari". Maka, meledaklah emosi Henky. Malam harinya, Henky datang ke Polresta Magelang -- untuk mengklirkan soal penggamparan itu. Dia bertemu Lettu. Wakijo, Dansatlantas. Penjelasan dari Wakijo membuat Henky tambah kesal terhadap Hartoyo. Sebab, menurut Wakijo, seperti ditirukan Henky, pelanggaran "Bintang Mulia" bukanlah pelanggaran serius, dan tak sepantasnya dikenai sanksi tilang. Padamu Negeri, Kucium Bumi Apakah mencium bumi sebagai ekspresi cinta tanah air bisa dianggap sirik ? PARA ulama Jawa-Tengah heboh. Penyebabnya: sebuah foto yang dimuat di Suara Merdeka, 9 Februari silam. Hari itu koran terbitan Semarang tersebut memuat foto para hansip Kota Madya Salatiga bersujud mencium bumi, menghadap Sang Saka Merah Putih sebagai ekspresi cinta tanah air. Upacara itu dilakukan setelah acara Caraka yang berlangsung semalam suntuk -- sebagai akhir dari latihan dasar hansip yang diselenggarakan tiap hari Sabtu selama tujuh bulan. Dari sudut fotografi, foto yang diambil dari atas itu cukup bagus. Namun ternyata para ulama Jawa Tengah gusar. "Cara mengungkapkan cinta tanah air dengan melakukan sujud tidak dibenarkan dalam agama Islam," kata K.H. Muslich, ketua Majelis Ulama Ja-Teng. "Cara itu memberikan peluang untuk melakukan sirik," sambung Kiai Achmad Buchori Masruri, ketua Pengurus Wilayah NU Ja-Teng. Kabarnya, setelah foto itu dimuat, banyak ulama mendatangi pimpinan NU Ja-Teng serta pimpinan MUI Ja-Teng. Atas desakan itu, 11 Februari lalu MUI Ja-Teng mengadakan rapat pleno pengurus. Setelah dikaji dengan rujukan Quran, disimpulkan bahwa cara hansip Kodya Salatiga mengungkapkan rasa cinta tanah air itu tidak dibenarkan agama Islam. Menurut K.H. Muslich, 75 tahun, cara mengungkapkan cinta tanah air dengan bersujud, hukumnya haram. Ada dua dasar yang menjadi pertimbangam Pertama, dalam tata tertib umum pada upacara militer, tidak pernah ada rasa cinta tanah air diungkapkan dengan bersujud mencium bumi. Kedua, dalam ketentuan agama Islam, cara itu tidak ada tuntunannya. Ada dua ayat Quran yang dijadikan pegangan. Yakni Surat Fushshilat ayat 37 yang berbunyi "Jangan kau bersujud ke matahari, jangan pula kepada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakan keduanya, apabila kamu mengakui berketuhanan YME". Yang kedua, Surat Ar Ra'du ayat 15: "Hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang di langit dan di bumi.... " Menurut ajaran Islam, menghormat kepada bendera tidak boleh melebihi batasan rukuk (90 derajat). "Ungkapan cinta tanah air tidak harus mencium bumi, tapi bisa diekspresikan dengan, misalnya, bekerja keras, atau ikut memerangi korupsi," tutur Kiai Achmad Buchori. Pada 16 Februari MUI Ja-Teng mengirimkan surat kepada Gubernur Ja-Teng. Keberatan serupa juga diajukan kepada Kodam IV/Diponegoro dan Mawil Hansip Provinsi Ja-Teng. Pada 13 Februari Achmad Buchori juga menemui Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Setijana (aktu itu). Semua imbauan itu disambut positif. "Hal itu dijamin tidak akan terulang lagi di masa mendatang," ucap Mayjen Setijana, seperti dikutip Achmad Buchori. Gagasan bersujud mencium bumi itu berasal dari Mayor Wartono, perwira Mawil Hansip Kodya Salaiga. "Tidak ada niat kami untuk sirik. Saya sendiri orang Islam, jadi tahu mana yang sirik atau tidak. Dalam cium bumi itu tidak diucapkan mantra apa pun," kata Wartono. Tujuan mencium bumi itu, katanya, agar pegawai negeri tersebut sadar untuk menjiwai UUD 45 pasal 30 ayat 1, yakni hak dan kewajiban setlap warga negara untuk membela negara. Mawil Hansip Salatiga sudah menyelenggarakan latihan untuk tiga angkatan -- terakhir diikuti 334 peserta -- semuanya diakhiri dengan mencium bumi, diiringi lagu Padamu Negeri dan Syukur. "Suasananya cukup haru dan menyentuh kalbu," kata Suri Pertiwi dan Ardani, pegawai Pemda yang mengikuti angkatan terakhir itu. Meski diprotes para ulama, Wartono berniat untuk terus melakukan upacara mencium bumi. "Lain jika atasan memberikan petunjuk baru," katanya.Bandelan Amarudin (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini