JIM-2 berakhir dengan hasil yang lebih "substansial" daripada JIM-1 bulan Juli 1988. Ada titik temu yang lebih banyak dan lebih luas, terutama mengenai hal-hal yang "eksternal" (peran Uni Soviet, RRC, Vietnam). Sedangkan yang "internal" (pembentukan dewan perujukan Kamboja yang terdiri dari empat pihak: Khmer Merah, Son Sann, Sihanouk, dan Hun Sen) rupanya masih amat seret. Tapi JIM-2 -- seperti halnya JIM-1 -- hanyalah sekadar forum penjajakan, bukan forum perundingan. Karena itu, dari semula perkiraan tentang lebih berhasilnya JIM-2 daripada JIM-1 sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah. Terkecuali apabila dalam jangka satu tahun mendatang ini bisa diselenggarakan ICK-2 (International Conference on Kampuchea) sebagai tindak lanjut JIM-1 dan JIM-2 Dunia tahu, dalam ICK-1 di New York bulan Juli 1981, faktor-faktor "eksternal" tidak menguntungkan, karena Uni Soviet dan Vietnam tidak menghadirinya. Jauh lebih penting setelah JIM-2 adalah permainan diplomatik RRC yang canggih. Barang siapa salah hitung tentang kesabaran keuletan, dan kelincahan diplomasi RRC dalam bulan-bulan mendatang, niscaya tidak akan dapat memahami esensi permasalahan Kamboja. Pada akhirnya, seperti juga pada mulanya lebih dari 12 tahun yang lalu, krisis Kamboja adalah cermin dari keinginan RRC untuk membuktikan dirinya paling "menentukan" corak dan arah perkembangan kawasan Indocina. Persaingannya dengan Vietnam sekitar Kamboja -- bahkan sekitar seluruh Jazirah Indocina berakar dari sejarah, geopolitik, dan realpolitik. Ambil misalnya masalah bantuan dan dukungan RRC kepada Khmer Merah. RRC sebagai negara -- tetapi terlebih-lebih sebagai budaya -- tidak pernah suka Vietnam "menantang" apalagi "menentang" keunggulan p.engaruh Cina atas Indocina. Keunggulan Vietnam di seluruh Indocina menyentuh secara langsung masalah harga diri RRC sebagai budaya. Kalau sudah soal harga diri, segala upaya -- termasuk memberi bantuan kepada kelompok pembantai 1 juta bangsa Khmer seperti Khmer Merah -- bisa dan harus dihalalkan. Karena itu, tak usah heran mengapa sampai sekarang pun pemerintah RRC hanya mau mengatakan tindakan Khmer Merah tahun 1975-1978 sebagai "suatu kesalahan" belaka. Sejarah, geopolitik, dan realpolitik RRC bicara lagi menjelang JIM-2. RRC sadar, tekanan terhadap Khmer Merah makin gencar. Amerika dan Soviet menuding ke arah Khmer Merah sebagai penghambat utama masalah Kamboja. Untuk kepentingan dirinya sendiri, RRC mulai melakukan pendekatan dengan Soviet. KTT Soviet-RRC ditetapkan 15 Mei 1989 mendatang. Karena itu, realpolitik kali ini lebih nyata. Diumumkan bulan Januari di Beijing bahwa RRC bersedia "menghentikan bantuan kepada Khmer Merah dan agar Khmer Merah tidak kembali berkuasa" di Kamboja. Sikap ini membuktikan bahwa dalam keadaan terpojok, RRC bersedia untuk meninggalkan sekutu yang dilindunginya. Sikap ini bukan karena RRC mengalah pada pendapat umum dunia, melainkan karena perhitungan realpolitik sederhana: negara besar harus menentukap sekutu yang lebih lemah, bukan sebaliknya. Toh nanti masih ada alasan tentang bagaimana kendali RRC "mengurangi dan menghentikan" bantuan kepada Khemer Merah itu. Kalau kelak Khmer Merah unggul dan berhasil membantai pihak-pihak Khmer lainnya, RRC akan bebas dari noda perbuatan itu. Kecanggihan diplomasi RRC adalah kepandaiannya untuk tidak terperosok dalam perangkap dari mana ia sulit untuk keluar. Pada akhirnya, sasaran RRC di Kamboja dan di seluruh Indocina adalah untuk membuat Vietnam melentur dirinya. Tujuan RRC sebagai budaya adalah untuk "membungkukkan" Vietnam, bukan untuk "mematahkan"-nya. Bagi RRC, sebagai negara dan terlebih-lebih sebagai budaya, Vietnam yang terlalu unggul di Indocina, apalagi yang ditopang bantuan militer Sovlet, menusuk harga dirinya. Tetapi kehadiran tentara Vietnam di Kamboja selama mungkin, secara ironi, adalah cara terbaik (dan termurah baginya) untuk melemahkan daya tahan Vietnam. Lama-kelamaan, daya tahan ini akan memaksa Vietnam untuk berkompromi. Dan dengan tepat, saat itu tiba ketika pada JIM-I pihak Vietnam mau bertemu dengan ketiga pihak Khmer lain. Hal yang tadinya oleh Vietnam disebut "tak dapat diubah" (irreversible) akhirnya terjadi juga. Oleh sebab itu, langkah yang perlu diperhatikan setelah JIM-2 adalah yang akan berkembang dari pertemuan Gorbachev-Deng pertengahan Mei mendatang. Memang tidak enak memperkirakan bahwa suatu permasalahan di Asia Tenggara pada akhirnva ditentukan di Beijing, bukan di Jakarta, Bangkok, Hanoi, apalagi Phnom Penh. Tapi dalam budaya RRC, JIM-2 hanyalah stasiun kecil sebelum pemberhentian terakhir. Sebelum sampai di Beijing, kereta api "The JIM Process" boleh jadi singgah ke New York, Paris, dan Geneva. Tetapi kalau belum sampai Beijing, perjalanan itu belum dianggap selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini