PORNOGRAFI dan pergaulan bebas sering dituding sebagai penyebab banyaknya kehamilan sebelum nikah. Penelitian mengenai hubungan sebab akibatnya memang jarang terdengar dilakukan di sini. Yang iebih sering dilakukan adalah penelitian mengenai hubungan seks sebelum menikah. Hampir dua tahun silam seorang pelajar SLA Yogyakarta, Sulistyo Eko, membuat geger dengan "angket seks"-nya, yang antara lain mengungkapkan: 8,5% responden remaja mengaku bila berpacaran bukan hanya berciuman, tapi juga bersanggama. Empat bulan lalu, kelompok diskusi Dasakung, membuat gempar. Hasil penelitian mereka: banyak mahasiswa Yogyakarta yang samenleven (hidup bersama), tanpa ikatan pernikahan sah, di pemondokan mereka. Sebanyak 62% dari 29 pasangan, disimpulkan, tidur bersama alias kumpul kebo selama 5-7 hari dalam seminggu. Dua pekan lalu, Yogyakarta kembali geger. Kali ini karena pengumuman hasil penelitian Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Berbeda dengan kedua penelitian terdahulu, penelitian yang terakhir ini mendapat izin resmi dari Direktorat Sosial Politik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan lain, penelitian ini semata mengandalkan data sekunder yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang ada di 14 Kecamatan di Kota Madya Yogya. "Jadi, kami tidak mewancarai pelaku hubungan seks itu sebagai responden," ujar Iman Masfardi, salah seorang penellti. Hasilnya: dari 846 peristiwa pernikahan selama Januari-Juni 1984, ada 223 pasangan (26,35%) yang telah melakukan hubungan seks sebelum akad nikah berlangsung di KUA. Dengan akibat, sebanyak 111 (50%) pasangan yang perempuannya hamil. Dari 223 pasangan yang telah berhubungan seks sebelum menikah itu, peneliti kemudian hanya menabulasikan data tentang 122 pasangan saja. Ternyata, yang paling banyak, mereka yang berpendidikan SLTA (65 pasang = 26,64'o). Sisanya: 22,54% berpendidikan perguruan tinggi, dan 19,67% SLTP. Kebanyakan, 51,64% (126 orang) berumur 21-25 tahun. Selebihnya berumur 26-30 tahun (28,28%), dan hanya 49 pasang (20,08%) berumur 16-20 tahun. Hampir separuh, sebanyak 116 orang (47,54%), belum bekerja. Mereka yang belum bekerja ini, terutama (66 orang) berasal dari kelompok umur 21-25 tahun. Dan dari segi jenis kelamin, "ternyata wanita yang belum bekerja lebih banyak melakukan hubungan seks sebelum menikah," kata Iman. Bagaimana cara KUA memperoleh keterangan yang akan dinikahkan itu sudah atau belum berhubungan seks? Rupanya, diam-diam, sejak Januari 1984, kepada pasangan yang akan menikah, diwajibkan mengisi sebuah formulir. Kepada calon istri, ditanyakan: sudah berhubungan seks berapa kali, dan sudah hamil berapa bulan. Mereka disuruh pula memilih jawaban, apa alasan yang mendorong melakukan hubungan seks. Antara lain, apakah karena pengaruh pergaulan, kurang kontrol dari orangtua, terlalu banyak kesempatan untuk bergaul bebas, didorong nafsu, atau karena coba-coba/maim-main. Tapi, peneliti hanya menabulasikan data identitas pribadi, seperti umur, pendidikan dan pekerjaan. "Kami tidak mengorek alasan mengapa hubungan seks itu terjadi," kata Iman. Karenanya, Prof. Soedjito Sasrodihardjo, kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, menilai penelitian itu sebagai preliminary researc. "Penelitian itu mengandung bahaya," katanya. "Kondisi dan situasi di KUA, bisa saja berbeda dengan kondisi penelitian ilmiah." Sewaktu di KUA, boleh jadi orang tidak memberikan jawaban dengan baik, karena takut tidak dinikahkan. Penelitian itu sendiri - berbeda dengan penelitian Eko dan "Dasakung" - tidak menimbulkan kontroversi di Yogya. Yang bikin geger justru ulah KUA mengharuskan pasangan yang akan menikah mengisi formulir itu. "Pertanyaan dalam formulir itu," kata Djarnawi Hadikusumo, sekjen PP Muhammadiyah, "jorok dan menyinggung kehormatan pribadi." Pihak KUA, seharusnya, hanya berwenang menanyakan identitas calon mempelai, serta surat keterangan dari RT dan RK. Ternyata, hanya di KUA di Kota Madya Yogya, formulir itu beredar. Itu pun bukan yang dikeluarkan secara resmi. "Kami tidak tahu-menahu adanya formulir itu," kata Sarpan, kepala Kantor Departemen Agama Kota Madya Yogya. "Yang membuat formulir itu adalah Ichrom sebagai pribadi", tambahnya. Ichrom Sodri, kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kota Madya Yogya, mengakui bahwa formulir itu dibikin atas inisiatifnya pribadi. Formulir itu dibuat sejak Januari 1984. "Sebab, saya prihatin mendengar banyaknya kasus hamil sebelum menikah," katanya. "Dan saya ingin tahu berapa banyak kasus itu terjadi," katanya lagi. Dewi Ningsih, 20, (bukan nama sebenarnya) salah seorang yang menikah bulan Mei lalu di KUAKecamatan Pakualaman, tentu saja terkejut dengan penelitian itu. Perempuan ini menikah, setelah hamil lima bulan. Ia mengisi formulir itu apa adanya. "Saya memang benar-benar ingin menikah," katanya, "dan saya tidak menyembunyikan kenyataan." Dan sekarang, "Saya amat kecewa, karena kejujuran kami telah disalahgunakan oleh KUA," katanya seraya menimang bayi lelaki yang kini berumur sekitar dua bulan. Kini, setelah penelitian PSK-FK-UII itu dipublikasikan pers, formulir itu ditarik dari peredaran. "Karena menimbulkan keresahan," kata Sarpan. Sampai sekarang, pembuat formulir belum mendapat teguran, karena pihak Departemen Agama di Yogya masih menunggu laporan pertanggungjawaban resmi dari pembuatnya. Mengenai keabsahan penelitian, yang kini banyak diragukan, Iman Masfardi mengatakan, "Penelitian kami valid, karena data ini kami ambil dari instansi yang berwenang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini