Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menghitung Rezeki Gadis Malvinas

Ada mandi kucing dan play ding-dong. Setelah p4 banyak pelacur sadar.

20 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMUKIMAN semacam Kramat Tunggak, Jakarta, sudah beberapa tahun ini berdiri di Bontang, kota kecil di Kal-Tim yang terkenal akan LNG dan pabrik pupuknya. Brebas, lokasi yang menampung puluhan pelacur, celakanya, persis terletak di samping sekolah SD Inpres dan SMP Negeri Bontang. Akibatnya, para guru di SMP itu repot menjaga murid. Beberapa di antara anak didik suka nyelonong ke sana. "Omongan murid di sekolah pun sudah sering berbau seks," kata Bisman, guru SMP. Selain di Bontang, kompleks semacam bisa ditemukan di Tarakan, Balikpapan, dan Samarinda. Jumlah pelacur di provinsi berpenduduk 1,2 juta jiwa itu tak kurang dari 2.600. Di Sum-Ut, selain di Medan, kompleks pelacuran menebar ke berbagai kota lainnya. Malah merembet sampai ke Desa Ajibaho, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Hal itu rupanya membuat marah ibu-ibu desa, dan Juni lalu, mereka mengobrak-abrik kompleks, menyumpaikan cabai giling di alat vital dan mulut para wanita penghibur itu. Beberapa tahun sebelumnya, kaum ibu yang marah membakar kompleks serupa di Kecamatan Telukdalam, Kabupaten Asahan, Sum-Ut. Tindakan yang lebih keras dan sangat tidak bertanggung jawab terjadi di Bandung, pertengahan tahun lalu: Jembatan penyeberangan yang menghubungkan Alun-Alun, tempat yang biasa dipakai pelacur beroperasi, dengan Masjid Agung, pada tengah malam dijebolkan oleh sejenis bahan peledak. Tak jelas benar apa motif perbuatan itu. Kini, suasana di sekitar jembatan penyeberangan tadi sudah seperti biasa lagi. Di bawah pepohonan dan rimbunnya bunga-bunga, akan mudah terlihat para pelacur itu menjerat lawannya. Di Bandung, selain kawasan Santem, berbagai tempat mangkal pelacur masih ditemukan di berbagai pojok kota. Begitu juga di Medan. "Pelacur adalah bunga usaha kami ini," kata seorang pemilik hotel di kota itu. Di Surabaya, dua kompleks pelacuran terkenal, Dolly dan Kermil, menampilkan perbedaan kelas konsumen. Dolly yang memiliki kamar ber-AC adalah langganan para pelaut asimg atau pedagang berduit. Sedangkan Kermil, yang sekarang merupakan kompleks pelacuran terbesar di Ja-Tim, dikunjungi konsumen kelas teri, seperti para pelaut lokal, petani, dan mahasiswa. Panti pijat yang bermunculan di banyak kota adalah bentuk lain dari penyaluran profesi itu. Perempuan memakai rok pendek yang dipilih dari dalam ruang kaca - ada yang menyebut tempat itu akuarium - memang semula cuma memijat. Untuk itu tarifnya Rp 10.000. Lalu untuk melepas pakaiannya dia minta tip Rp 5.000. "Kalau mau semuanya, tarifnya Rp 20.000," kata wanita yang mengaku bernama Susi (bukan nama sebenarnya) dari panti pijat di Jalan Gajah Mada itu. Sedangkan Wieka (bukan nama aslinya), perempuan lain di situ, dengan tarif yang sama, selain siap ditiduri, juga bersedia memberi servis lain: mandi kucing dan play ding-dong. Permainan apa pula itu? "Pokoknya, sesuatu yang indah, jawabnya sedikit malu-malu. Di panti pijat kelas bawah (tradisional), bau mesum terasa lebih jelas. Penelitian yang dilakukan Mohammad Kemal Dermawan dari FISIP UI untuk penyusunan skripsi, pada 1984, membuktikan bahwa panti pijat itu adalah tempat pelacuran terselubung. Yang menarik dari penelitian ini, barangkali, si peneliti menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok formal dan kelompok sosial di dalam masyarakat mengecam praktek ini tecermin dengan tindakan memberi sanksi-sanksi tertentu serta berbagai resolusi dan pengaduan. Sedangkan media massa bersikap tak jelas, karena masih menyiarkan iklan panti pijat. Sikap kelompok formal dan sosial tampaknya tergambar jelas belakangan ini, ketika pemerimtah menyatakan perang terhadap maksiat. Bentuk kongkret sikap itu memang belum jelas. Dan masalah pelacuran, sebagai profesi yang cukup tua itu, tidaklah sederhana. Tokoh NU, Abdurrahman Wahid, mendukung sikap Pemerintah, tapi dia tak setuju lokalisasi pelacuran dibubarkan. "Ribuan wanita akan menjadi babu, untuk dikerjain majikannya," katanya. Mungkin, baik diperhatikan tindakan Kantor Departemen Sosial Samarinda. Bekerja sama dengan BP7 setempat, sejak bulan lalu, instansi itu mengumpulkan pelacur setempat dan memberinya penataran P4. Sampai sekarang sudah 235 WTS selesai ditatar dengan pola 17 jam. Hasil penataran? "Mereka jadi simpatik, tidak lagi seperti gadis malvlnas, malu-malu tapi ganas," kata Kapten Lauda Huvat Ding, salah seorang penatar. Tuti, 37, seorang WTS, selesai penataran, mengaku baru mengetahu dosa-dosanya selama ini. Tapi untuk keluar dari sana, "anak saya perlu makan", katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus