SUATU malam di sebuah warung minum di kawasan Jalan Kiai Gede Utama, Bandung. Di halaman seluas sekitar 20 x 10 meter berdiri gubuk-gubuk kecil tempat langganan minum. Malam itu, pekan lalu, belasan pemuda tanggung memenuhi hampir semua meja. Mereka duduk santai, sementara di tiap meja sejumlah gelas bir, baik masih penuh maupun sudah kosong. Asap rokok menyesak dada. Sekitar pukul 11.00 malam, enam remaja mungkin masih pelajar SMA, muncul. Langsung duduk, langsung memesan bir - 12 gelas. Merek tertawa-tawa, dan tak lama kemudian salah seorang mulai kacau bicara dan duduknya. Ia mabuk berat - suatu pemandangan yang menurut petugas keamanan di situ, hampir tiap malam terjadi. Mungkin ini hanya salah satu contoh bagaimana bir atau minuman beralkohol yang lain ternyata digemari, juga oleh remaja. Artinya, konsumen minuman pemabuk ini telah begitu meluas. Dan inilah salah satu alasan pemerintah untuk memerangi alkoholisme. Misalnya, Kamis pekan lalu, 5.000 botol minuman yang bikin mabuk dimusnahkan di Medan. Akhir September lalu di Kota Madya Tegal sekitar 800 botol minuman keras disita. Bahkan Kabupaten Tapanuli Tengah, mulai 5 Maret lalu, dinyatakan oleh bupatinya sebagai "daerah bebas minuman keras". Tapi, apa dosa minuman yang salah satu jenisnya diiklankan sebagai minuman kegemaran para juara itu? Kegemaran Rudy Hartono? Kegemaran Yustedjo Tarik? Menurut pihak Polda Kalimantan Timur, di kawasan ini tercatat tiga kali pembunuhan, 11 kali penganiayaan, tujuh kali kasus perusakan, dan 50-an kecelakaan lalu lintas - akibat mabuk minuman keras. Itu data tahun lalu. Dan Lundu Panjaitan, bupati Tapanuli Tengah sejak September 1980, kaget melihat bagaimana waranya gemar duduk-duduk santai (dan mabuk) di kedai-kedai tuak. Menurut pengamatan Lundu, "Minimal 10 hari dalam sebulan mereka menghabiskan waktu di kedai tuak, dan tiap datang sedikitnya seribu rupiah berubah jadi minuman beralkohol itu," tutur Bupati. Memang, kasus kejahatan akibat bermabuk-mabuk di Tapanuli Tengah tak menunjukkan data mecolok. Cuma, Lundu melihat kerugian yang lain. Yakni, pemborosan uang. Minuman keras sendiri tak semuanya memiliki kadar yang sama. Seperti ketentuan dari Depkes, minuman beralkohol dibagi menjadi tiga golongan: A, B, dan C. Pertama, yang kadar alkoholnya 5% atau kurang. Kedua, minuman keras yang kadar alkoholnya 6% -15%. Ketiga, minuman yang kadar alkoholnya lebih dari 15%. Untuk golongan B dan C, sudah ditentukan, peredarannya hanya dibolehkan di hotel-hotel atau rumah makan kelas satu. Maka, Tanri Abeng, direktur utama PT Multi Bintang - pabrik Bir Bintang - was-was bila pemerintah menyamaratakan semua jenis minuman keras. "Bir yang saya produksi, termasuk golongan A, kadar alkoholnya cuma 4%," katanya. Dan Tantri pun cukup tahu, agar remaja tak terlibat dengan minuman ini, dalam iklan-iklannya selalu dicantumkan bahwa bir minuman orang dewasa. Tapi seberapa jauh iklan itu mempunyai daya cegah, ini yang tampaknya belum diteliti Tanri. Ini semua diutarakan oleh Tanri bukan karena Bir Bintang-nya, rupanya, terkena pengaruh perang terhadap alkohol. Sejak awal tahun ini produksi birnya turun 25%. Cuma, ia seperti ingin mengatakan, produksinya turun berarti pendapatan pemerintah pun berkurang. "Pendapatan pemerintah dari Bir Bintang empat kali lipat keuntungan pabrik," katanya. Dari 1979 sampai 1983, total, Tanri mengaku membayar pajak untuk produknya sekitar Rp 24 milyar. Menurut Tanri, konsumsi minuman beralkohol golongan A di Indonesla belum timggi. Menurut perhitungannya, volume per kapita konsumsi alkohol di sini masih setengah liter per tahun. "Di Malaysia mencapai 10 liter dan di Singapura dua kali lipat," katanya. "Pokoknya, dilihat dari segi buruknya, bir masih tak terlalu membahayakan." Dan bukan hanya orang pertama di salah satu pabrik bir di Indonesia yang berpendapat begitu. M.A.W. Brouwer, pastor yang suka menulis kolom di majalah dan surat kabar, menganggap, "Alkoholisme di Indonesia tidak ada." Tapi kalaumau dilarang juga, "Ini bukan tugas pemerintah, tapi tugas masyarakat sendiri, orangtua, dan sekolah." Yang sangat disetujui oleh pater yang bermukim di Bandung ini yakni perang terhadap narkotik. "Maksiat terbesar adalah narkotik," katanya. Jadi? Belum jelas adakah bau alkohol masih akan tetap menyeruak dari kawasan Jalan Kiai Gede Utama dan Dago Atas, Bandung, atau dari kedai minum di daerah Jatinegara Jakarta. Atau, akan diam-diam bau itu beralih tempat ke gang-gang gelap atau rumah-rumah tertutup rapat - karena minuman keras dibatasi tanpa kecuali. Dan pasaran gelap seperti itu yang justru ditakutkan oleh Brouwer. Sebab, sulit dikontrol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini