RATUSAN orang, sebagian besar ibu-ibu, bertanda pengenal Pendukung Tim Damai di dada kiri baju mereka turun dari Siborong-borong dengan menumpang tiga truk, 10 bis mini (lima di antaranya bertanda Lembaga Sisingamangaraja, tapi ditutupi dengan kertas), dan tujuh kendaraan pribadi. Tujuan mereka pada Selasa pagi pekan lalu itu adalah merebut Kantor Pusat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Pearaja, Tarutung, yang terletak 30 km dari kampung mereka, dan mendesak S.A.E. Nababan mengundurkan diri sebagai eforus (pucuk pimpinan) HKBP serta tidak lagi menghasut jemaat melawan pemerintah. Akibat serbuan massa itu, rapat kerja pendeta, yang dibuka sehari sebelumnya, jadi terganggu. Sebagian besar peserta rapat, termasuk eforus, untung sempat mengungsi ke tempat lain. Lima pendeta yang telat keluar dari ruangan kantor itu terpaksa dikawal polisi supaya selamat dari amukan massa. Tengah hari massa berhasil menduduki kantor pusat HKBP tersebut. Setelah itu sebagian dari mereka mendatangi rumah eforus, yang terletak tak jauh dari kantor tersebut, dan minta bertemu dengan Nababan. "Kalau tidak bisa bertemu, kami tidak akan pulang dari sini," kata St. M. Parapat, juru bicara Pendukung Tim Damai. Semula Nababan menolak menemui massa yang menuntut pengunduran dirinya dan melaksanakan sinode (muktamar) secepatnya itu. Baru setelah Dandim Tapanuli Utara, Letnan Kolonel Ricardo Marpaung, menjamin keselamatannya, Nababan bersedia menerima 10 utusan massa tersebut. Benar saja sebuah surat berisi pernyataan pengunduran dirinya sebagai eforus telah disiapkan Parapat. "Teken surat ini. Kalau tidak, kami akan bertahan di sini," kata Parapat. Nababan berhasil menolak pemaksaan itu. Tak lama kemudian utusan massa kembali ke kantor pusat HKBP yang sudah mereka kuasai. "Kami tak menyangka ada demonstrasi seperti ini, seperti orang tak beragama saja," kata seorang Pendukung Tim Damai kepada Pendeta Edy Simatupang, peserta rapat kerja pendeta itu. Ia rupanya merasa tertipu. Menurut pengakuan ibu yang tak mau disebutkan namanya itu, sebagian besar ibu-ibu tersebut dibujuk untuk mengikuti acara Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sehingga banyak yang membawa anak-anak. Dua pemuda, yang dikenal sebagai preman, dan bukan anggota HKBP, malah mengaku dibayar Rp 15.000 sehari, dan beraksi setelah menenggak minuman keras. Maka, ketika mereka melihat seorang pendeta yang mereka kenal, keduanya langsung melindungi pemuka agama itu dari amukan massa. Sorenya, massa yang makin sedikit itu, sebagian pulan-g karena lapar, menurunkan bendera merah putih yang berkibar di depan kantor pusat tersebut. Keesokan paginya, mereka menyerahkan bendera serta kunci-kunci kantor pusat itu kepada Muspida, dan minta disampaikan kepada ketua Tim Damai, M. Panggabean. Permintaan itu ditolak Muspida. "Pemiliknya adalah HKBP. Karena itu, kami akan menyerahkannya kepada eforus," kata Bupati Tapanuli Utara Lundu Panjaitan. Ada tuduhan bahwa yang menggerakkan massa itu adalah F.M. Parapat, yang bersama Panggabean dan A.E. Manihuruk melahirkan Tim Damai. Alasannya, Parapat telah menelepon Kapolres Tapanuli Utara, Letnan Kolonel P. Sinaga, pada saat aksi berlangsung supaya menerima bendera dan kunci-kunci itu, dan menyerahkannya kepada Panggabean. Tuduhan itu dibantah keras Parapat. Setelah gagal melaksanakan pesan "sponsor", massa kembali ke Siborongborong. Kini bendera yang mereka turunkan sudah berkibar lagi di halaman kantor pusat HKBP. "Kami tidak goyang gara-gara mereka," kata Nababan. Monaris Simangunsong dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini