SUATU hari di tahun 1988, selang beberapa waktu setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggal dunia, seorang warga Kabupaten Sleman menulis surat kepada Sekretaris Militer Presiden, Syaukat Banjaransari. Penduduk desa yang mengaku bernama Prayitno itu meminta Presiden Soeharto menetapkan almarhum sebagai pahlawan nasional. Ternyata, tak cuma Prayitno yang memintakan gelar tersebut kepada Kepala Negara bagi HB IX. Lewat Syaukat saja lebih dari 50 pucuk surat memohon hal yang sama. Belum terhitung yang disampaikan melalui Departemen Sosial. Alasan mereka macam-macam, tetapi hampir semua pengirim surat mengakui pengabdian almarhum yang tanpa pamrih kepada negara. Suara rakyat itu ternyata mendapat perhatian Kepala Negara. Kamis pekan lampau, Presiden Soeharto atas nama Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mendiang Sultan Yogyakarta tersebut. Surat keputusan tentang penetapan HB IX sebagai pahlawan nasional itu disampaikan Presiden Soeharto kepada putra almarhum, Hamengku Buwono X, di Istana Merdeka, Jakarta, lusanya. Kepatriotan HB IX tak diragukan, memang. Ketika bersekolah di Negeri Belanda pada akhir 1930-an, ia sudah berani memasang bendera Merah Putih, yang jadi lambang perjuangan pada masa itu. Bahkan sewaktu dilantik sebagai Sultan Yogya pada 1940, HB IX, yang ketika itu berusia 28 tahun, terang-terangan tak menyatakan kesetiaan kepada Ratu Belanda Wilhelmina. "Izinkan saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa," kata HB IX di hari pelantikannya. Keberaniannya mempertahankan pendirian itu juga diperlihatkan HB IX pada masa pendudukan Jepang. Ia antara lain berhasil menekan penguasa militer Jepang untuk membicarakan terlebih dahulu setiap tindakan yang akan diambil di wilayahKesultanan Yogyakarta. Ketika Indonesia merdeka, HB IX menjadi raja pertama yang menyatakan dukungan kepada Republik. Pada masa perang kemerdekaan ia juga aktif membantu pejuang-pejuang Republik -- di antaranya Letnan Kolonel (kini Presiden) Soeharto. Tanpa dukungan dan peran HB IX itu, mungkin perjalanan sejarah Indonesia akan lain. Bukan hanya itu sumbangsih HB IX pada Republik. Ia hampir tak pernah absen duduk dalam kabinet -- bahkan termasuk salah seorang arsitek Orde Baru. Jabatan puncaknya di pemerintahan sebagai wakil presiden untuk masa bakti 1973-1978. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dari 1945 sampai akhir hayatnya. Jasa-jasanya di masa lalu itulah yang menjadi pertimbangan Pemerintah mengukuhkan HB IX sebagai orang ke-94 yang menyandang gelar pahlawan nasional. HB IX meninggal dunia di Rumah Sakit Walter Reed, Washington, 2 Oktober 1988, dan dimakamkan di pemakaman Imogiri, Yogyakarta. Wafatnya HB IX itu dinyatakan Pemerintah sebagai hari berkabung nasional, dan bendera setengah tiang berkibar selama seminggu untuk pahlawan itu yang meninggalkan wasiat agar tak dibuatkan patung dirinya dan namanya tidak digunakan sebagai nama jalan dan gedung. Pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Pemerintah juga menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana kepada almarhum Laksamana Pertama Sukarton Marmosudjono. Bekas jaksa agung itu -- yang meninggal dunia di Jakarta pada 26 Juni lalu -- terkenal dengan keputusan penayangan wajah koruptor di layar TVRI. Tanda kehormatan untuk perwira tinggi TNI AL yang sebelumnya lama mengabdi di Sekretariat Negara itu diterima oleh istrinya, Lastri Fardani, yang dikenal sebagai novelis. Rustam F. Mandayun dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini