Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Jenderal Besar Tampak Segar

Rencana pemberian abolisi kepada Soeharto mengundang reaksi. Tapi partai-partai besar menyokongnya.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARTO tampak sehat dan segar. Wajah lelaki berusia 80 tahun 6 bulan itu cerah sekali, secerah sinar matahari pagi yang menyirami halaman Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu. Dari atas kursi roda, ia sempat melempar senyumnya yang khas sambil melambaikan tangan kepada para wartawan. Sesaat kemudian, mantan presiden itu dinaikkan ke mobil VW Caravelle, pulang ke rumahnya di kawasan Cendana, Jakarta Pusat. Telah sembuhkah dia? Kata Koenindro Dadi, ketua tim dokter yang memeriksanya, suhu badan dan tekanan darah Soeharto sudah normal. Kondisi tubuhnya sudah pulih kembali seperti sebelum penyakit pneumonia alias radang paru-paru menyerangnya dua pekan sebelumnya. Kendati begitu, sampai sekarang ia masih dihinggapi stroke. Pulihnya kondisi kesehatan sang Jenderal Besar membuat perbincangan soal abolisi agak memudar. Semula, Presiden Megawati terkesan berniat menghapuskan tuntutan pidana terhadap tersangka kasus penyalahgunaan dana sejumlah yayasan itu. Tapi, Rabu pekan lalu, usai bertemu dengan Presiden, Sekretaris Negara Bambang Kesowo menyatakan gagasan tersebut bukan datang dari Presiden. Masalah itu muncul dalam rapat kabinet. Lalu, katanya, "Beliau menanggapi pembicaraan." Sebetulnya bukan cuma diperbincangkan di kabinet. Usulan itu juga dibicarakan pada Kamis 20 Desember silam di kediaman Presiden Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Bersama dengan Jaksa Agung M.A. Rachman, Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra memberikan masukan soal abolisi kepada Presiden. Dan kata Yusril, seusai pertemuan itu Presiden akan segera meminta pertimbangan DPR mengenai rencana tersebut. Isyarat yang lebih jelas disodorkan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengatakan, setiap manusia punya kesalahan. Tapi pemimpin memiliki pengabdian dan jasa. "Presiden ingin bangsa ini memperlakukan mantan-mantan pemimpin dengan tepat," katanya. Jika belakangan muncul bantahan dari Bambang Kesowo, mungkin berkaitan dengan hujan reaksi dari ahli hukum ataupun politisi yang menentang rencana abolisi itu. Bukan cuma dianggap mengabaikan rasa keadilan masyarakat, tapi juga bisa mematikan proses penegakan hukum di negeri ini. Apalagi kasus yang menjerat Soeharto bukan politik, melainkan korupsi. "Kalau sampai tuntutan terhadap Soeharto dihapus, ini tidak memberikan pelajaran bagi para pemimpin untuk berhati-hati," kata Hakam Nadja, Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional. Sampai kini kasus Soeharto masih mengendap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 28 September 2000 silam, Hakim Lalu Mariyun menghentikan persidangan karena alasan terdakwa mengalami stroke dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Atas putusan ini, kejaksaan mengajukan banding dan diberi kemenangan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Cuma, di tingkat kasasi, pihak Soeharto berada di atas angin. Tapi, bola sebetulnya tetap di tangan kejaksaan. Diakui oleh M.A. Rachman, sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Agung, pihaknya bisa saja langsung membekukan kasus Soeharto tersebut. Hanya, kejaksaan akan mendapat sorotan negatif dari masyarakat. "Karena itulah lebih tepat kalau dipakai prosedur abolisi," ujar Rachman. Pada akhirnya politisi yang berbicara. Di parlemen, rencana itu kemungkinan akan mendapat sokongan sebagian besar anggota PDIP. Dukungan juga mengalir dari dua partai besar, Golkar dan PPP. Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, sudah menyatakan pihaknya bisa memahami usulan tersebut dengan alasan kemanusiaan. Pun PPP, yang dipimpin Hamzah Haz. Menurut Zuhad Mahja, wakil sekjen partai, rencana pemberian abolisi kepada Soeharto itu sudah dibicarakan di PPP. "Prinsipnya, kami tidak berkeberatan. Bentuknya apakah abolisi atau pembekuan perkara, itu terserah," kata Zuhad. Sejauh ini, yang terang-terangan menolaknya baru PKB dan PAN. Menurut Hakam Nadja, PAN sudah memutuskan untuk menentang keras usulan tersebut. Sebab, langkah itu bisa menghentikan upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti digariskan oleh Tap MPR No. XI/1998. Demikian pula PKB. Kata Rodjil Guffron dari partai ini, pihaknya tidak bisa menerima langkah karena proses hukum bagi Seoharto belum tuntas. Tapi, katanya, "Kalau sudah diadili dan dinyatakan bersalah lalu diberi pengampunan, boleh saja." Begitulah seharusnya. Publik sampai sekarang belum tahu apakah figur yang memimpin negeri selama 32 tahun itu bersalah atau tidak. Walau sekarang Soeharto masih menderita sroke, dilihat dari penampilannya yang segar, siapa tahu suatu saat sembuh lalu bisa diadili. Megawati seharusnya menunggu proses itu terjadi, kesembuhan Soeharto untuk bisa di-adili lebih dulu. Gendur Sudarsono, Arif A. Kuswardono, dan Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus