Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Abolisi Soeharto, Apa Perlunya?

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGI-lagi nama mantan presiden Soeharto menjadi gunjingan hukum. Baru-baru ini bekas penguasa Orde Baru itu disebut-sebut akan dianugerahi abolisi (pengguguran tuntutan hukum pidana). Kabarnya, itu lantaran Presiden Megawati Sukarnoputri mempertimbangkan alasan kemanusiaan menyangkut kondisi kesehatan Soeharto, yang diberitakan kritis. Selain itu, Presiden Megawati bermaksud menghormati mantan presiden. Sikap ini mungkin bisa dimaklumi. Soalnya, Soeharto masih berstatus terdakwa dalam kasus korupsi tujuh yayasan yang dulu diketuainya. Peradilan kasus ini buntu karena Soeharto dianggap sakit berat. Dulu, mantan presiden Sukarno pun meninggal ketika masih berstatus tahanan politik. Persoalannya, tepatkah (rencana) abolisi Soeharto? Dari segi instrumen hukum, abolisi cuma tercantum sekali dalam Pasal 14 UUD 1945. Pasal ini berbunyi, presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Undang-undang tentang abolisi (digabung dengan amnesti) pun hanya satu, yakni Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Menurut undang-undang ini, presiden memberi amnesti dan abolisi setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung. Abolisi merupakan satu dari sederet hak prerogatif presiden sebagai kepala negara. Ia adalah bagian dari hak prerogatif presiden berupa grasi (pengampunan) dalam arti luas. Wewenang pengampunan ini sebenarnya warisan kekuasaan raja dulu untuk mencampuri urusan peradilan pidana. Di beberapa negara, praktek pengampunan diberikan untuk delik politik, pemberontakan, dan pemogokan buruh. Abolisi diberikan kepada orang atau beberapa orang yang dituduh melakukan tindak pidana tapi belum divonis pengadilan. Alasannya adalah demi kepentingan umum atau kasusnya menyangkut keselamatan negara. Dengan abolisi, pemeriksaan ataupun penuntutan hukum terhadap orang dimaksud menjadi hapus. Hak-haknya sebagai warga negara pun otomatis dipulihkan. Berbeda dengan abolisi, amnesti diberikan kepada orang banyak yang dituduh melakukan delik, baik sudah divonis pengadilan maupun belum. Amnesti bisa berupa peringanan atau penghapusan hukuman. Sementara itu, grasi merupakan pengampunan dari presiden terhadap terhukum. Dan rehabilitasi merupakan pemulihan nama baik orang yang dituduh melakukan delik atau telah dihukum. Pada masa Presiden Sukarno, abolisi pernah diberikan antara lain kepada tokoh Aceh, Teungku Daud Beureuh (almarhum). Namun, sepanjang masa Soeharto menjadi presiden, abolisi (juga amnesti dan rehabilitasi) jarang terdengar. Paling banter Soeharto memberikan grasi. Begitu Soeharto lengser dan euforia reformasi bergema, gelombang amnesti dan abolisi segera membahana. Boleh jadi, dengan berubahnya keadaan politik, penguasa baru perlu memperoleh dukungan masyarakat, selain citra internasional. Itu sebabnya mereka perlu berkonsiliasi dengan korban kekuasaan rezim sebelumnya. Narapidana politik yang pertama kali menikmati amnesti dan abolisi dari Presiden B.J. Habibie adalah Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan (lihat Beberapa Orang yang Memperoleh Abolisi). Tapi kebijakan pengampunan ini sempat dikritik lantaran dianggap diskriminatif. Soalnya, kebijakan itu tak diberikan kepada mereka yang dianggap terlibat G30S-PKI ataupun menentang Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, nara-pidana politik Islam dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) tak memperoleh amnesti. Namun, masih banyak lagi mereka yang diberi amnesti ataupun abolisi oleh Presiden Habibie. Demikian pula pada awal pemerintahan Presiden Abdurrrahman Wahid. Sedikitnya 85 tahanan dan narapidana politik dalam kasus Aceh, Komando Jihad, Timor Timur, dan juga PRD menerimanya. Hampir semua tahanan politik yang dianugerahi abolisi termasuk sebagai korban kekuasaan Soeharto semasa Orde Baru. Dengan menilik praktek kelaziman itu, layakkah Soeharto yang diduga terlibat kasus korupsi (bukan delik politik) memperoleh abolisi? Memang, Pasal 14 UUD 1945 sudah diamandemen pada 19 Oktober 1999, sehingga amnesti dan abolisi presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Tapi, kalau DPR pun sampai bersuara bulat untuk memberikan abolisi kepada Soeharto, tidakkah mereka yang juga anggota MPR mengkhianati amanat rakyat? Sebab, Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 mencantumkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pengusutan harta Soeharto. Kalau ini dilanggar, Presiden pun menyumbang cacat besar dalam pertanggungjawabannya kelak. Happy S.
Beberapa Orang yang Memperoleh Abolisi Kasus Kartu Lebaran PUDI
  • Sri Bintang Pamungkas Kerusuhan PDI, 27 Juli 1996
  • Muchtar Pakpahan Gerakan anti-integrasi Timor Timur
  • Juvinal Dos Santos Monis
  • Fransisco de Deus
  • Domingos Da Silva
  • Silverio Babtista Ximenes Vicente Marques Da Crus Bernadino Simao
  • Paulo E. Silva Carvalho
  • Paulo Soares Demonstrasi harga susu
  • Karlina Leksono Supeli
  • Gadis Arivia Efendi
  • Wilasih Nophiana Penghinaan presiden
  • Aberson Marle Sihaloho
  • Rachmad Buchori
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus