Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Koalisi Perjuangan Partai Tanggung

Partai menengah kecewa terhadap Demokrat. Salah satu penyebab kegagalan koalisi pada pemilihan pemimpin KPK.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA rapat Sekretariat Gabungan partai koalisi pendukung pemerintah, Kamis dua pekan lalu, berlangsung tak enak. Digelar untuk membahas rencana pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, yang digunjingkan justru revisi Undang-Undang Pemilihan Anggota Badan Legislatif. "Jangan begini doang, dong. Pemilu gimana, nih?" kata Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Ja'far.

Pemimpin fraksi lain segera menimpali. Politikus Partai Demokrat, Syarifuddin Hasan, yang memimpin rapat, mengatakan pembahasan revisi tak mungkin dibahas pada rapat itu. "Nanti kita jadwalkan," kata Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah itu.

Menurut seorang peserta rapat, kekesalan partai menengah anggota koalisi nyaris tak terbendung. Dari enam partai, empat partai menyayangkan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum tak dibahas. Mereka adalah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Dua anggota lain adalah Partai Demokrat dan Partai Golkar—dua partai ini memiliki jumlah kursi lebih banyak di Dewan.

Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar mengatakan sudah mengusulkan pembahasan revisi tiga bulan lalu. "Kalau soal Undang-Undang Pemilu, Sekretariat Gabungan berdiam diri," katanya. Ketua Fraksi PAN Tjatur Sapto Edy mengatakan pembahasan undang-undang sejauh ini hanya sisipan. "Tak pernah fokus. Kami kecewa dengan Sekretariat Gabungan," kata dia.

Undang-Undang Pemilu akan menentukan hidup partai politik. Antara lain mengatur ambang batas parlemen. Partai menengah menginginkan ambang batas sama dengan undang-undang sebelumnya, yaitu 2,5 persen. Adapun Partai Demokrat menginginkan 4 persen dan Golkar 5 persen.

Jika tidak mampu mencapai ambang batas, partai tak bisa menempatkan wakilnya di parlemen. Wajar jika partai menengah yang perolehan suaranya 4-7 persen waswas. "Apalagi hasil survei menunjukkan perolehan suara partai menengah menurun," kata Marwan Ja'far.

Sumber Tempo yang rajin mengikuti rapat Sekretariat Gabungan mengatakan Sekretariat lebih banyak membahas kepentingan Partai Demokrat dan Partai Golkar. Hasrul Azwar mencontohkan, Sekretariat getol membahas persoalan dana talangan Bank Century atau pembelian saham Newmont. "Yang diperhatikan hanya partai kelas berat," tuturnya. Tjatur membenarkan.

Yang paling menjengkelkan, kata politikus partai menengah, daftar inventarisasi masalah yang diajukan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tak pernah dibahas di Sekretariat. Daftar itu menyatakan pemerintah menginginkan ambang batas parlemen 4 persen dan alokasi kursi per daerah pemilihan 3-6. Partai menengah menginginkan alokasi kursi 3-10 per daerah pemilihan.

Inilah yang menurut sumber Tempo membikin berang Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. "Hatta marah karena tiba-tiba saja daftar inventaris masalah sudah di DPR," kata sumber ini. Cerita ini juga dibenarkan Tjatur.

Putus harapan kepada Sekretariat Gabungan membuat partai menengah berniat membentuk koalisi baru. "Semacam sekretariat gabungan 'perjuangan'," kata seorang petinggi partai. Misinya: membentuk kekuatan menghadapi pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Sejumlah sumber menyebutkan pertemuan partai menengah sudah digelar tiga kali, antara lain di Hotel Sultan dan rumah dinas Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Perekonomian di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan.

Terakhir pertemuan dilangsungkan di Hotel Sultan, Jakarta, dua hari setelah koalisi gagal total dalam pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. "Pekan depan kami jadi tuan rumah," kata Hasrul.

Sumber Tempo mengatakan kekalahan koalisi dalam pemilihan pemimpin komisi antikorupsi, dua pekan lalu, sebenarnya juga disebabkan oleh kejengkelan partai menengah kepada Demokrat dan pemerintah. Menurut dia, saat ini partai menengah juga enggan berkomunikasi dengan Demokrat, pemenang Pemilihan Umum 2009.

Syarifuddin Hasan membantah anggapan bahwa Sekretariat hanya menjadi alat kepentingan partainya. Ia justru menilai Sekretariat masih efektif sebagai sarana komunikasi partai koalisi. Ia menyangkal jika partainya disebut enggan membahas Undang-Undang Pemilihan Umum dalam rapat Sekretariat. Menurut dia, pemerintah juga tak wajib menyampaikan daftar inventaris masalah ke Sekretariat. "Undang-undangnya saja baru dibahas awal tahun depan. Kenapa Sekretariat harus buru-buru membahas?"

Anggota Dewan Pembina Demokrat ini tak khawatir akan gerakan partai koalisi yang membentuk sekretariat "perjuangan". Namun dia menyayangkan muncul gerakan itu. Seharusnya, kata Syarifuddin, partai koalisi tak mengambil sikap bertentangan dengan pemerintah.

Selasa pekan lalu, Syarifuddin mengirim pesan pendek ke pemimpin fraksi anggota koalisi. Isinya undangan mengikuti rapat Sekretariat di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Sejumlah politikus yang mengikuti rapat mengatakan rapat itu mengumpulkan pandangan partai koalisi soal Undang-Undang Pemilihan Umum. Tak ada kesepakatan. "Pembahasan ini kesannya merangkul kembali partai menengah. Sayangnya, agak telat," kata Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar.

Pramono


Sekutu tapi Tak Seiring

DIBENTUK sehari sesudah Sri Mulyani, yang dituduh bertanggung jawab pada penyelamatan Bank Century, mundur dari jabatan Menteri Keuangan pada 2010, Sekretariat Gabungan mengalami pasang-surut. Awalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuknya karena menilai koordinasi partai koalisi belum efektif. Kini kondisinya tak berbeda jauh.

6 Mei 2010
Presiden Yudhoyono membentuk Sekretariat Gabungan koalisi. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie diangkat sebagai ketua harian.

Mei 2010
Sekretariat menyetujui pengajuan Agus Martowardojo sebagai pengganti Sri Mulyani.

Juni 2010
Golkar mengusulkan anggaran dana aspirasi sebesar Rp 15 triliun untuk tahun anggaran 2011. Sebagian besar partai di Sekretariat Gabungan menolak usulan ini, termasuk Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum. Golkar mengancam meninggalkan koalisi karena merasa diserang.

Oktober 2010
Sekretariat menyepakati Jenderal Timur Pradopo menjadi calon Kepala Kepolisian.

21 Desember 2010
Partai menengah ramai-ramai mengkritik Sekretariat Gabungan. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy menilai Sekretariat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Demokrat dan Golkar. Romahurmuziy mengusulkan pembentukan poros tengah.

16 Februari 2011
Sekretariat menyatakan menolak angket soal mafia pajak. Golkar dan PKS tetap mendukung angket. Belakangan angket kandas. Muncul gagasan dari Demokrat untuk memasukkan PDI Perjuangan dan Gerindra dalam koalisi.

11 Maret 2011
Ketua Demokrat Didi Irawadi meminta Presiden mengganti Ketua Harian Sekretariat Aburizal Bakrie. Didi menilai Golkar tak loyal kepada koalisi dalam kasus angket. Usul ini didukung sejumlah partai koalisi.

12 April 2011
Aburizal Bakrie menjadi Wakil Ketua Sekretariat. Jabatan ketua harian digilir ketua umum partai.

9 Juni 2011
Sekretariat membahas pembelian saham Newmont oleh pemerintah. Lobi pemerintah gagal.

foto-foto: TEMPO/Jacky Rachmansyah/ Imam Sukamto / Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus