Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Presiden Ke Salatiga

Sidang raya ke-8 dewan gereja indonesia di salatiga dihadiri presiden soeharto. kehadiran presiden dianggap sebagai penawar hati bagi umat kristen yang gagal mengadakan sidang raya dengan nop 1975.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEIRING dengan terbitnya matahari, ratusan pelajar sekolah-sekolah Kristen di Salatiga berbaris memasuki kampus Satya Wacana, Kamis 1 Juli lalu. Setelah menyanyi mengiringi kebaktian pembukaan Sidang Raya ke-8 DGI, pesawat helikopter yang ditumpangi Presiden Soeharto menderu-deru di atas kepala mereka. Dengan gigih mereka lambai-lambaikan bendera kertas merah-putih. Tiga perempat jam kemudian Presiden berjalan di antara barisan pelajar sekolah Kristen itu. Para peserta sidaag raya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia kebanyakan pendeta. Hadirin yang berjumah sekitar 800 orang itu dengan rapih tetap duduk di dalam ruang auditorium universitas Satya Wacana, menunggu Presiden masuk. Meskipun di luar suara pelajar dan mahasiswa hiruk-pikuk, di dalam auditorium tenang dan tertib, seperti di dalam gereja. Tak lama kemudian sidang dibuka dengan pidato singkat ketua umum DGI, pendeta Abineno dan doa syafaat oleh ketua DGI Dr Latuihamallo. Lalu Presiden Soeharto membacakan sambutannya. Bagaimana kesan mereka terhadap pidato Presiden itu? "Presiden memberikan tempat yang penting sekali bagi agama dalam pembangunan", ujar seorang utusan dari Sulawesi. Sekalipun ada juga disinggung tentang"kerukunan hidup antar umat beragama" yang oleh utusan dari Sulawesi itu dirasakan sebagai ditujukan ke alamat gereja Kristen. Maklumlah, forum itu merupakan forum tertinggi dalam lingkungan gereja-gereja Kristen. "Ini MPR kami", ucap seorang staf BPII (Badan Pengurus Harian) DGI. Forum tertinggi, di mana kesediaan Presiden Soeharto memberikan kata-sambutan rupanya diperkirakan merupakan "penawar hati" bagi umat Kristen yang gagal menjadi tuan rumah Sidang Raya DGD (Dewan Gereja-Gereja Sedunia) Nopember 1975. "Penyiaran agama jangan sampai mengganggu ketenteraman masyarakat", kata Presiden dalam sambutannya itu. "Usaha untuk memperbanyak pengikut dan mendirikan tempat-tempat ibadah, jangan sampai menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat". Dan khusus berbicara tentang "bantuan luar negeri untuk kelompok-kelompok agama", Presiden menghendaki supaya itu dilakukan melalui Pemerintah. Maksudnya "untuk menjaga agar bantuan itu dapat digunakan setepat-tepatnya". Itu semuana perlu diperingatkan, sebab "pembangunan mustahil akan berhasil jika tidak ada kerukunan hidup antara umat beragama", kata Presiden mengakhiri sambutannya yang hanya 6 halaman folio itu. Berbeda halnya dengan banyak peserta yang masih sulit menyimak istilah-istilah Kepala Negara seperti "sosialisme religius" dan "tepo seliro", para pengurus DGI sendiri tampak tenang. Namun mereka khawatir, bahwa kegiatan dakwah dan ibadah Kristen -- yang memang banyak disokong oleh bantuan luar negeri -- nantinya akan ditarik lebih jauh. Yakni ke arah pemeliharaan jumlah pemeluk masing-masing agama yang ada sekarang di lndonesia, tanpa memungkinkan perpindahan dari satu agama ke agama lain. Soalnya, hasil rapat kerja Departemen Agama yang kabarnya mengusulkan supaya "pemeluk suatu agama tidak menjadi sasaran dakwah agama lain", sudah tersiar pula di Salatiga. Kesimpulan yang diambil baru-baru ini sama seperti anjuran Presiden dalam Musyawarah antar Agama di Jakarta, Nopember 1967. Dan seperti juga posisi pemimpin-pemimpin Kristen 9 tahun yang lalu, pemimpin-pemimpin DGI agaknya masih belum bisa menyetujui anjuran itu. Posisi mana didukung pula oleh ketua presidium MAWI, Kardinal Justinus Darmoyuwono yang juga diundang sebagai peninjau dalam Sidang Raya DGI di Salatiga itu. "Saya tidak setuju dengan anjuran itu", ujar Tahi Bonar Simatupang, salah satu ketua BPH-DGI. Mengapa? "Karena kita tidak bisa melarang satu segi penting dari penghayatan agama -- yakni dakwah -- untuk diperkembangkan. Baik dakwah maupun amal harus berjalan paralel", sahutnya. Dia kemudian mengemukakan adanya suatu "percakapan yang interesan" yang sedang berlangsung di Jenewa, berbarengan dengan sidang raya DGI ini. Di sana 12 tokoh Kristen dan Islam berkumpul di sekeliling satu meja bundar, dan secara timbal-balik membahas "dakwah Islam" dan "misi Kristen". Dari Indonesia hadir dua orang cendekiawan terkemuka, Prof Ihromi dan Prof K.H. Rasyidi. "Yang Islam akan mengungkapkan bagaimana dia mengalami misi Kristen, sedang yang Kristen akan mengungkapkan bagaimana dia merasakan dakwah Islam. Secara terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Mudah-mudahan dialog itu dapat menghasilkan pengertian yang lebih baik antara pemeluk kedua agama ini, yang memang sama-sama merupakan agama dakwah", ujar Simatupang. Kendati demikian, Simatupang mengharapkan supaya proselytisme (pembujukan secara tak wajar) dihindari, sebab itu "tidak sesuai dengan martabat manusia dan keluhuran agama masing-masing". Dia juga menentang pendapat bahwa "pembangunan" atau "kesatuan bangsa" boleh dijadikan dalih untuk menekan kebebasan warga negara. Termasuk kebebasan beragama. Sebab menurut Simatupang, "kesatuan dan keamanan yang menghilangkan kebebasan, pada akhirnya bisa memukul diri sendiri". Pendapat Pimpinan DGI yang bukan pendeta itu, didukung pula oleh ketua MAWI. "Saya tidak setuju kalau larangan berpindah agama dituangkan dalam peraturan pemerintah atau UU", kata Kardinal Darmoyuwono yang dirubung wartawan di tangga auditorium. "Negara RI yang kita proklamirkan dan pertahankan menentang segala macam bentuk penjajahan. Kalau kebebasan beragama mau dilarang, itu kan namanya kolonialisme religius? Sebab ini menyangkut pilihan hati nurani orang, yang tidak bisa didikte oleh Negara Ketika Rendra atau Wiratmo Soekito keluar dari Katolik, dan masuk Islam, kita kan juga tidak keberatan?" Juga Sekretaris Umum DGI Dr Soritua Nababan keberatan jika diadakan status quo antar pemeluk agama yang mau dipertahankan itu. "Status quo hanya akan merugikan bangsa kita sendiri, sebab kerukunan yang berdasarkan status quo itu kerukunan palsu",ujar Nababan, yang sudah 8 tahun memangku jabatannya sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus