SEIRING dengan terbitnya matahari, ratusan pelajar
sekolah-sekolah Kristen di Salatiga berbaris memasuki kampus
Satya Wacana, Kamis 1 Juli lalu. Setelah menyanyi mengiringi
kebaktian pembukaan Sidang Raya ke-8 DGI, pesawat helikopter
yang ditumpangi Presiden Soeharto menderu-deru di atas kepala
mereka. Dengan gigih mereka lambai-lambaikan bendera kertas
merah-putih. Tiga perempat jam kemudian Presiden berjalan di
antara barisan pelajar sekolah Kristen itu.
Para peserta sidaag raya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia
kebanyakan pendeta. Hadirin yang berjumah sekitar 800 orang itu
dengan rapih tetap duduk di dalam ruang auditorium universitas
Satya Wacana, menunggu Presiden masuk. Meskipun di luar suara
pelajar dan mahasiswa hiruk-pikuk, di dalam auditorium tenang
dan tertib, seperti di dalam gereja. Tak lama kemudian sidang
dibuka dengan pidato singkat ketua umum DGI, pendeta Abineno dan
doa syafaat oleh ketua DGI Dr Latuihamallo. Lalu Presiden
Soeharto membacakan sambutannya.
Bagaimana kesan mereka terhadap pidato Presiden itu? "Presiden
memberikan tempat yang penting sekali bagi agama dalam
pembangunan", ujar seorang utusan dari Sulawesi. Sekalipun ada
juga disinggung tentang"kerukunan hidup antar umat beragama"
yang oleh utusan dari Sulawesi itu dirasakan sebagai ditujukan
ke alamat gereja Kristen. Maklumlah, forum itu merupakan forum
tertinggi dalam lingkungan gereja-gereja Kristen. "Ini MPR
kami", ucap seorang staf BPII (Badan Pengurus Harian) DGI. Forum
tertinggi, di mana kesediaan Presiden Soeharto memberikan
kata-sambutan rupanya diperkirakan merupakan "penawar hati" bagi
umat Kristen yang gagal menjadi tuan rumah Sidang Raya DGD
(Dewan Gereja-Gereja Sedunia) Nopember 1975.
"Penyiaran agama jangan sampai mengganggu ketenteraman
masyarakat", kata Presiden dalam sambutannya itu. "Usaha untuk
memperbanyak pengikut dan mendirikan tempat-tempat ibadah,
jangan sampai menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat". Dan
khusus berbicara tentang "bantuan luar negeri untuk
kelompok-kelompok agama", Presiden menghendaki supaya itu
dilakukan melalui Pemerintah. Maksudnya "untuk menjaga agar
bantuan itu dapat digunakan setepat-tepatnya". Itu semuana
perlu diperingatkan, sebab "pembangunan mustahil akan berhasil
jika tidak ada kerukunan hidup antara umat beragama", kata
Presiden mengakhiri sambutannya yang hanya 6 halaman folio itu.
Berbeda halnya dengan banyak peserta yang masih sulit menyimak
istilah-istilah Kepala Negara seperti "sosialisme religius" dan
"tepo seliro", para pengurus DGI sendiri tampak tenang. Namun
mereka khawatir, bahwa kegiatan dakwah dan ibadah Kristen --
yang memang banyak disokong oleh bantuan luar negeri -- nantinya
akan ditarik lebih jauh. Yakni ke arah pemeliharaan jumlah
pemeluk masing-masing agama yang ada sekarang di lndonesia,
tanpa memungkinkan perpindahan dari satu agama ke agama lain.
Soalnya, hasil rapat kerja Departemen Agama yang kabarnya
mengusulkan supaya "pemeluk suatu agama tidak menjadi sasaran
dakwah agama lain", sudah tersiar pula di Salatiga. Kesimpulan
yang diambil baru-baru ini sama seperti anjuran Presiden dalam
Musyawarah antar Agama di Jakarta, Nopember 1967. Dan seperti
juga posisi pemimpin-pemimpin Kristen 9 tahun yang lalu,
pemimpin-pemimpin DGI agaknya masih belum bisa menyetujui
anjuran itu. Posisi mana didukung pula oleh ketua presidium
MAWI, Kardinal Justinus Darmoyuwono yang juga diundang sebagai
peninjau dalam Sidang Raya DGI di Salatiga itu.
"Saya tidak setuju dengan anjuran itu", ujar Tahi Bonar
Simatupang, salah satu ketua BPH-DGI. Mengapa? "Karena kita
tidak bisa melarang satu segi penting dari penghayatan agama --
yakni dakwah -- untuk diperkembangkan. Baik dakwah maupun amal
harus berjalan paralel", sahutnya. Dia kemudian mengemukakan
adanya suatu "percakapan yang interesan" yang sedang berlangsung
di Jenewa, berbarengan dengan sidang raya DGI ini. Di sana 12
tokoh Kristen dan Islam berkumpul di sekeliling satu meja
bundar, dan secara timbal-balik membahas "dakwah Islam" dan
"misi Kristen". Dari Indonesia hadir dua orang cendekiawan
terkemuka, Prof Ihromi dan Prof K.H. Rasyidi. "Yang Islam akan
mengungkapkan bagaimana dia mengalami misi Kristen, sedang yang
Kristen akan mengungkapkan bagaimana dia merasakan dakwah Islam.
Secara terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Mudah-mudahan
dialog itu dapat menghasilkan pengertian yang lebih baik antara
pemeluk kedua agama ini, yang memang sama-sama merupakan agama
dakwah", ujar Simatupang.
Kendati demikian, Simatupang mengharapkan supaya proselytisme
(pembujukan secara tak wajar) dihindari, sebab itu "tidak sesuai
dengan martabat manusia dan keluhuran agama masing-masing". Dia
juga menentang pendapat bahwa "pembangunan" atau "kesatuan
bangsa" boleh dijadikan dalih untuk menekan kebebasan warga
negara. Termasuk kebebasan beragama. Sebab menurut Simatupang,
"kesatuan dan keamanan yang menghilangkan kebebasan, pada
akhirnya bisa memukul diri sendiri".
Pendapat Pimpinan DGI yang bukan pendeta itu, didukung pula oleh
ketua MAWI. "Saya tidak setuju kalau larangan berpindah agama
dituangkan dalam peraturan pemerintah atau UU", kata Kardinal
Darmoyuwono yang dirubung wartawan di tangga auditorium. "Negara
RI yang kita proklamirkan dan pertahankan menentang segala macam
bentuk penjajahan. Kalau kebebasan beragama mau dilarang, itu
kan namanya kolonialisme religius? Sebab ini menyangkut pilihan
hati nurani orang, yang tidak bisa didikte oleh Negara Ketika
Rendra atau Wiratmo Soekito keluar dari Katolik, dan masuk
Islam, kita kan juga tidak keberatan?" Juga Sekretaris Umum DGI
Dr Soritua Nababan keberatan jika diadakan status quo antar
pemeluk agama yang mau dipertahankan itu. "Status quo hanya akan
merugikan bangsa kita sendiri, sebab kerukunan yang berdasarkan
status quo itu kerukunan palsu",ujar Nababan, yang sudah 8 tahun
memangku jabatannya sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini