Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan belum arahan dari partainya untuk menindaklanjuti wacana perubahan aturan pemilihan kepala daerah atau pilkada kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pilkada, kata mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini, tetap perlu dievaluasi dalam berbagai hal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang jelas kita harus bisa membedakan perjalanan waktu sudah 10 tahun lalu. Tentu sekarang kita harus melihat bahwa ternyata dengan dipilih langsung pun masih banyak kendala seperti korupsi, penggunaan anggaran yang tidak tepat dan tidak sesuai,” kata anggota Komisi II DPR itu melalui pesan suara kepada Tempo pada Rabu petang, 18 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR saat ini tengah memasuki masa reses hingga 20 Januari 2025. Dede mengatakan parlemen akan membahas evaluasi pemilihan umum secara keseluruhan setelah tahun baru. “Kita harus evaluasi dari berbagai hal jadi tidak hanya melihat tahun 2014 saja,” katanya.
Wacana perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD disampaikan Prabowo saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Acara ini dihadiri ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Prabowo.
Prabowo mengeluhkan anggaran negara ataupun biaya politik pasangan calon yang dihabiskan dalam pilkada langsung. “Sekali memilih anggota DPR-DPRD, ya, sudah DPRD itulah (yang) memilih gubernur, bupati, wali kota,” kata Prabowo. “... Begitu banyak ketua umum partai malam ini (yang hadir), sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga.”
Agenda untuk menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD mengemuka pada 2014. Saat itu DPRD dan eksekutif mengesahkan perubahan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Isinya, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Partai Gerindra dan lima partai politik lain di Koalisi Merah Putih—koalisi pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden 2014—mendukung perubahan sistem pilkada tersebut. Namun, di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang membatalkan perubahan undang-undang tersebut serta mengembalikan sistem pilkada langsung. SBY saat itu adalah Ketua Umum Partai Demokrat.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan opsi perubahan sistem pilkada akan menjadi pertimbangan dalam perubahan Undang-Undang Pilkada. Perubahan Undang-Undang Pilkada itu menjadi satu paket dengan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum.
Politikus Partai Gerindra ini mengatakan DPR yang menyiapkan naskah akademik dan draf revisi undang-undang tersebut. “Kami masih menunggu DPR mengajukan RUU-nya,” kata Supratman kepada Tempo pada Senin, 16 Desember 2024.
Titi Anggraini, Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, menentang sistem pilkada dikembalikan ke DPRD. Ia berpendapat, sistem pilkada langsung memang harus dievaluasi agar lebih efektif dan efisien. Tapi sistem pilkada tidak semestinya dikembalikan ke DPRD. Sebab, pemilihan lewat DPRD tidak serta-merta menghilangkan politik uang dan tak mengurangi biaya tinggi dalam pilkada.
Ia yakin peran dan pengaruh partai politik pasti sangat besar dalam pencalonan kepala daerah lewat sistem pilkada di DPRD. “Politik uang bisa makin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung, tapi melalui wakil-wakil partai di DPRD,” kata Titi.
Pilihan editor: Beda Mekanisme Pengangkatan Anggota Biasa dan Kehormatan Golkar