Sejumlah Purnawirawan ABRI bergabung ke PDI. Tapi Pangab Jenderal Try menyayangkan tindakan itu. Para mantan tadi seharusnya tahu tempatnya ada di Pepabri. Artinya, aspirasi politik mereka harus disalurkan ke Golkar. SEBENARNYA ini cuma acara silaturahmi yang biasa saja, tapi ternyata jadi picu sebuah kontroversi politik. Ada sekitar 40 purnawirawan ABRI dan bekas "Tentara Pelajar" yang berkumpul Ahad malam pekan silam -- di samping orang-orang Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Acara yang berlangsung di kediaman Ketua Umum PDI Soerjadi, di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan itu kabarnya cukup gayeng. Maklum, mungkin karena masih bersuasana Lebaran. Apalagi tuan rumah juga menghadirkan Megawati Sukarnoputri dan Guruh Sukarnoputra. Kedua anak Presiden Soekarno ini bahkan ternyata lebih dikenal oleh para undangan, ketimbang Soerjadi sendiri. Di antara deretan para undangan, yang sebagian besar berbaju batik dan berjas lengkap itu, antara lain terlihat Kolonel Purnawirawan Bambang Widjanarko yang bekas ajudan Presiden Soekarno. Hidangan: lontong, soto ayam, dan buah-buahan segar. Menurut seorang dari Sekretariat PDI, ini disesuaikan dengan usia para tamu, yang sudah pada di atas setengah abad. Tapi suasana mendadak jadi serius tatkala pertemuan itu menjadi ajang untuk membahas partai yang menggunakan simbol kepala banteng itu. Sejumlah pertanyaan dan kritik dilontarkan para purnawirawan tadi. Akhirnya memang ada tamu yang bersimpati dan memutuskan bergabung dengan PDI. "PDI masih kecil dan ringkih. Karena itu si kepala banteng harus diperkuat," kata seorang letnan kolonel purnawirawan yang tak mau disebut namanya. Gayung bersambut. "Kami memang mau memberikan gambaran tentang PDI. Baik kelemahannya maupun kekuatannya. Jadi mereka yang mau masuk PDI diharapkan dengan penuh kesadaran. Bukan sekadar hura-hura," kata Soerjadi. Di akhir pertemuan itu, Soerjadi mengklaim bahwa sejumlah purnawirawan menyatakan bergabung dengan PDI. "Tak ada istilah tarik-menarik atau bujuk-membujuk," kata Soerjadi dengan girang. Menurut dia, masuknya sejumlah purnawirawan ABRI itu ke PDI menunjukkan bahwa usaha PDI memperbaiki keadaan partai selama ini "ternyata bisa dilihat dan dirasakan". Benarkah kesan itu? Ternyata, setelah kabar bergabungnya sejumlah pensiunan tentara ke PDI itu beredar di media massa, ada yang merasa kurang srek dengan klaim Soerjadi. Malah ada yang membantah. Misalnya Soebagio Anam, 59 tahun, yang mengaku di-fait accompli dalam pertemuan itu. Tokoh bekas Tentara Pelajar itu memang menerima undangan tertulis dari Soerjadi yang cuma disebutkan: acara halal bihalal. Ia juga diundang secara lisan oleh Megawati. "Saya memang simpati sama ajarannya Bung Karno. Karena itu, saya juga senang sama anak-anaknya," tutur Soebagio, yang menghadiri undangan itu bersama istrinya. "Jadi, kedatangan saya itu tak ada urusannya dengan PDI. Saya juga tak menyatakan masuk PDI. Saya datang karena diundang Megawati," katanya. Soebagio bisa saja berkata begitu. Tapi klaim Soerjadi terus menggelinding: sejumlah purnawirawan ABRI dikabarkan telah digiring ke dalam Kandang Banteng. Suasana pun bertambah marak ketika sejumlah reaksi keras yang kemudian bermunculan. Coba simak apa kata Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno misalnya. Nadanya menyayangkan tindakan sejumlah purnawirawan yang masuk PDI itu. "Ini menyangkut moral etis," katanya kepada TEMPO di Istana Negara, Jakarta, Kamis silam. Menurut Jenderal Try, seseorang yang sudah menjadi purnawirawan harus tetap berpegang teguh kepada Saptamarga. Suara ABRI tak boleh terpecah-pecah. "Demokrasi itu bukan berarti harus ke sana kemari," kata Jenderal Try pula. "Secara idiil dan konseptual, siapa pun yang keluar dari ABRI itu tahu tempatnya di Pepabri." Memang, selama ini Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) adalah satu-satunya wadah buat pensiunan ABRI. Tercatat hampir 300 ribu orang purnawirawan sudah mendaftarkan diri dalam organisasi ini -- atau hampir 90 persen dari seluruh pensiunan ABRI yang ada. Dengan Pepabri ini, suara politik para pensiunan dikelola dan disalurkan. Tentu saja lewat Golkar, "partai" pemerintah itu. Seperti kata Ketua Umum Pepabri Letjen. Purn. Bambang Triantoro, "Anggota Pepabri menyalurkan aspirasi politiknya lewat Golkar." Artinya, tak ada tawar-menawar buat para purnawirawan -- apalagi yang jadi anggota Pepabri -- untuk tak mendukung Golkar dalam pemilu nanti. Jadi, kalau ada pensiunan ABRI yang menjadi anggota partai politik (selain Golkar), "perlu disesali," kata Bambang Triantoro, yang juga bekas Kepala Staf Sosial dan Politik ABRI (1985-1987). Hubungan ABRI dan Golkar memang punya sejarah yang panjang. Maklum, kelahiran Golkar pada tahun 1964 itu justru karena dibidani oleh tokoh militer seperti Jenderal A.H. Nasution, Jenderal Ahmad Yani, atau Mayjen. Soegandhi. Mereka sempat mengalami pahitnya dominasi partai politik tahun 1950-an. Dalam pemilu tahun 1955, tentara ikut memilih secara bebas dan rahasia. Mereka mencoblos partai-partai yang ada waktu itu. Dalam sejarahnya, terbukti itu memang berbahaya buat kelangsungan stabilitas negara selama ini -- - terutama waktu pecah sejumlah pemberontakan yang melibatkan, dan dipimpin oleh tentara. Pengalaman pahit itulah yang tampaknya ingin diingatkan lagi oleh mereka yang tak setuju dengan ulah purnawirawan yang "menyeberang" ke PDI. Tapi ini soalnya: tak ada aturan hukum yang mewajibkan pensiunan ABRI harus menjadi anggota Pepabri -- yang juga otomatis menjadi bagian dari keluarga besar Golkar. "Eks ABRI kan bebas, tak ada ikatannya. Mau memperkuat partai boleh. Mau jungkir balik juga boleh," komentar Menko Polkam Laksamana Purnawirawan Sudomo. Bahkan Menteri Dalam Negeri Rudini pun ikut senang melihat sejumlah pensiunan ABRI tadi ada yang masuk PDI. "Ini merupakan gejala demokrasi," katanya. Namun Rudini, pensiunan jenderal berbintang empat itu, mengingatkan seorang purnawirawan ABRI sepantasnya tak melupakan Saptamarga yang akan terus mengikat sampai mati. "Dia harus tetap berjuang di jalur ABRI. Kalau pensiun, ya lewat Pepabri. Ini penilaian saya, kalau ada yang lain, terserah masing-masing," katanya. Dan pendapat yang lain itu datang dari seorang pensiunan letnan jenderal yang banyak membahas soal sosial-politik, yakni Sajidiman Soerjohadiprodjo. Menurut dia, Saptamarga justru menunjukkan bahwa posisi ABRI berada di atas semua golongan. Jadi, kalau mau konsisten, "anggota Pepabri pun tak boleh memihak pada satu golongan," kata Sajidiman. Pendapat itu diperkuat oleh kenyataan yang terjadi kira-kira lima tahun terakhir. Khususnya setelah semua organisasi sosial politik, dan lain-lain sudah mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Karena itu, justru ada yang menilai positif terhadap sikap sejumlah purnawirawan yang menyatakan secara terbuka bergabung dengan parpol. Menurut letjen pensiunan Hasnan Habib, seorang cendekiawan dari ABRI yang terkenal, apa yang dilakukan para purnawirawan tadi adalah dalam upaya "memfungsionalisasikan demokrasi sampai kepada level infrastruktur. Terjemahannya: "supaya parpol-parpol lebih berani dan mandiri," katanya. Hasnan Habib juga mengingatkan bahwa sistem pertahanan keamanan (hankam) di negeri ini sebenarnya melibatkan semua warga. Seperti wajib militer (wamil). Seandainya wamil ini dijalankan 100 persen, yang secara teoretis bisa dilakukan, artinya seluruh warga negara Indonesia yang selesai wamil bisa masuk Pepabri. Dan jika anggota Pepabri harus memilih Golkar, bayangkan, mana ada yang tersisa buat partai yang lain. Tetapi jika kebebasan diberlakukan untuk tidak memilih Golkar, ada yang mengkhawatirkan tindakan "lompat pagar" sejumlah purnawirawan itu akan mengguncang Si Beringin, biarpun sedikit. Apalagi sejak Pemilu 1987 lalu sudah kelihatan ABRI dan Golkar tidak selalu berjalan serempak seperti barisan kadet. Ini misalnya terlihat ketika ABRI tampil lebih sebagai "wasit yang baik" ketimbang jadi pendukung berat Golkar. Krissantono, tokoh F-KP di DPR, menilai bahwa "ini salah satu langkah demokratisasi". Tetapi bagi orang luar, yang sudah terbiasa dengan suara yang serba-seragam dan serba-kompak, adanya jarak itu menimbulkan kesan "keretakan". Puncak keadaan seperti itu terlihat secara terbuka dalam Sidang Umum MPR 1988. Kelompok ABRI di MPR justru menunjukkan sikap yang kurang menerima pencalonan Sudharmono -- waktu itu Ketua Umum Golkar -- sebagai wakil presiden. Maka, kini, bila banyak pensiunan ABRI -- dan keluarganya -- yang bergabung ke tempat lain, tidakkah Golkar akan rugi? Kubu Golkar kelihatannya adem ayem saja. "Itu hak mereka," komentar Sekretaris Jenderal Golkar Rachmat Witoelar tentang pensiunan ABRI yang menjadi anggota partai politik. Dan ia tak khawatir isu ini akan mengurangi perolehan suara buat Golkar pada pemilu nanti. "Saya rasa tak ada dampaknya. Mereka yang masuk PDI itu kan cuma empat puluh atau lima puluh orang," ujarnya. Itu soal kuantitas. Bagaimana dengan soal kualitas? Menurut Wakil Sekjen Golkar Usman Hasan, para purnawirawan yang bergabung dengan PDI itu sebagian adalah "orang-orang yang tak terpakai" atau "yang terlupakan". Dan ABRI adalah organisasi yang rapi administrasinya. Pimpinan tentara hanya akan tahu para bekas anggotanya yang "masuk hitungan" dalam jenjang karier politik selanjutnya. Tapi Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) Krissantono melihatnya lain. Ia menganggap jumlah purnawirawan yang beralih pilihan ke PDI itu terlampau sedikit untuk diperhitungkan. Tapi ada dampak psikologis. "Secara psikologis," katanya, "jadi timbul pertanyaan, soal pembinaan dalam keluarga besar masingmasing." Tetapi Krissantono juga tak menutup kemungkinan bahwa kejadian "lompat pagar" ini "fakta dibesar-besarkan PDI". Memang ternyata ini bukan kejadian baru. Sebelumnya, PDI sendiri sudah menerima sejumlah pensiunan ABRI. Misalnya saja seorang pensiunan brigjen, Mailoa, dan seorang purnawirawan kolonel, Soedarmo. Mereka sudah menjadi aktivis PDI sejak pemilu lalu. Malahan di PPP juga ada. Partai yang kini menggunakan lambang bintang itu sejak tahun 1977, misalnya, sudah "berani" mencalonkan Mayjen. (Pol.) Purn. H.A. Bastari dalam pemilu di daerah Sumatera Selatan. Pada tahun yang sama di Kalimantan Selatan juga PPP mencalonkan Brigjen. Purn. Hassan Basri. "Buat kami ini bukan barang baru," kata Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum. Ia juga menyebut sejumlah tokoh purnawirawan yang berpangkat kapten, mayor, atau letnan yang juga aktif dalam partai. Misalnya nama-nama seperti Jusuf Hasjim, Muhamad Baidawi, atau. Munasir. "Saya sendiri bekas Tentara Pelajar," kata Buya, sebutan lain dari Ismail Hasan. Tetapi toh hal yang bukan barang baru itu belum tentu tidak akan berulang. Dalam pengamatan Arbi Sanit, seorang ahli politik dari Universitas Indonesia, bergabungnya sejumlah purnawirawan ke dalam parpol oleh Arbi Sanit sebagai gejala perkembangan masyarakat yang kini semakin terbuka. "Sekarang organisasi masyarakat dan politik sudah terbuka untuk menerima bermacam-macam potensi kepemimpinan dalam dirinya," kata Arbi Sanit. Di antara potensi kepemimpinan itu ada dalam kalangan purnawirawan. Yang mungkin juga berperan dalam keterbukaan itu ialah hasil perkembangan ekonomi selama beberapa tahun terakhir. Dewasa ini semakin nampak bahwa lapisan tenaga pimpinan di kalangan masyarakat -- biasanya disebut elite sosial-politik -- tak lagi sepenuhnya bergantung hidupnya dari sumber-sumber ekonomi yang dikuasai pemerintah. Contoh paling jelas ialah tampilnya beberapa pengusaha, seperti Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi ("Laksamana" di situ bukan pangkat, tapi nama) dan Soegeng Sarjadi yang masuk PDI. Dalam keadaan itu, orang makin bisa punya pilihan lain di samping ikatan politik dengan "partai" pemerintah alias Golkar. Para purnawirawan ABRI juga ikut menikmati perubahan itu, seperti anggota masyarakat lain. Bagi Arbi Sanit, perkembangan yang nampak kini -- meskipun masih terbatas -- - ada baiknya. Potensi kepemimpinan yang ada dalam kalangan purnawirawan ABRI bisa menyumbang perbaikan mutu kepemimpinan di organisasi politik. Kalau tidak, kata Arbi Sanit, "masyarakat rugi." Dan kalau masyarakat dalam hal itu tak berkembang, seluruh Republik juga bisa kurang mendapatkan manfaat. Juga seperti kata Purnawirawan Jenderal Sumitro, masuknya purnawirawan ABRI boleh dianggap sebagai proses "mempercepat pemantapan Pancasila" di kalangan organisasi politik. Bisa diartikan: organisasi politik akan bisa lebih terjaga dari kecenderungan sektarianisme, misalnya. Tapi orang juga bisa mengharap bahwa proses pindah pilihan itu tidak pada akhirnya melemahkan Golkar sama sekali, suatu hal yang juga bisa merugikan perkembangan stabilitas. Kini tinggal Golkar bersiap: bagaimana di tengah persaingan yang makin terbuka, dia bisa maju pesat. Itu ujian mutu kekuatannya yang sejati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini