Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Silakan kembali mencongak

Pendapat para ahli tentang pentingnya ketrampilan berhitung untuk memahami matematika. mata pelajaran matematika sd, dari kelas i sampai iii akan di- tekankan pada berhitung.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH berlangsung 15 tahun, pelajaran Matematika di sekolah dasar dipersoalkan lagi. Kali ini bukan orangtua murid yang ribut tapi Departemen P dan K sendiri yang cemas. Tak lama lagi Menteri P dan K akan meneken surat keputusan perombakan pelajaran tersebut meski perubahan pelajarannya itu baru akan dilaksanakan di awal tahun pelajaran 1994. Awalnya adalah banyaknya keluhan yang sampai di meja aparat Departemen P dan K di pusat maupun daerah. Yakni banyak siswa sekolah dasar tak bisa berhitung secara praktis. Para orangtua murid mengeluh, anaknya susah disuruh belanja, umpamanya, karena menghitung uang kembalian atau menotal jumlah harga belanjaan begitu lama. Di pertengahan 1980-an, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hasan Walinono menuturkan, pihak departemen mulai serius menanggapi keluhan itu. Padahal itu bukan keluhan baru. Dekat setelah Matematika diresmikan lewat Kurikulum 1976, keluhan seperti itu sudah banyak terdengar. Tapi waktu itu keluhan tersebut tenggelam oleh penjelasan para ahli bahwa Matematika sangat diperlukan bagi para siswa guna menyambut dunia yang makin modern. Pelajaran Matematika di perguruan tinggi dan dunia komputer yang makin meluas akan lebih mudah dipahami bila siswa sedini mungkin diperkenalkan dengan Matematika. Departemen P dan K memang tak lalu mengadakan penelitian lapangan terhadap kemampuan siswa sekolah dasar. Yang dilakukan adalah memonitor kemampuan guru-guru matematika karena ini mungkin dianggap lebih praktis. Menurut sebuah sumber, pihak departemen lalu mengadakan "uji coba" di sejumlah daerah terhadap guru Matematika. Disimpulkan, kemampuan guru menyerap pelajaran hanya 30%. Pun banyak guru menjawab soal sederhana semisal 1/2 ditambah 1/3 hasilnya 1/5, padahal seharusnya 5/6. Bila kemampuan gurunya seperti itu, bagaimana siswanya? Berbagai diskusi di Departemen P dan K kemudian menyimpulkan, ada kesalahan metode dalam memberikan pelajaran Matematika. Yakni, sebelum siswa sekolah dasar menguasai berhitung, mereka sudah diharuskan memahami konsep-konsep Matematika yang abstrak. Padahal, sejak uji coba di awal 1970-an, para ahli Matematika sudah menyinggung-nyinggung bahwa di dalam Matematika ada berhitungnya. Tapi waktu itu hal ini memang tak ditekankan benar. Dan kenyataannya, buku pelajaran Matematika untuk sekolah dasar itu langsung menyodorkan pengenalan terhadap konsep abstrak: himpunan. Dan adalah biasa bila kemudian sebagian besar guru tidak semua mengajarkan matematika secara urut persis seperti dalam buku. Kepala Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Anwar Yassin, yang ikut terlibat dalam perombakan pelajaran Matematika kini, memberikan contoh bagaimana pengenalan konsep bisa membingungkan siswa kelas I SD (sekolah dasar). Ada sebuah soal yang menanyakan hasil penjumlahan himpunan empat apel dan satu nanas. Tak seorang anak bisa menjawab. Jawaban semestinya adalah himpunan lima buah-buahan. Untuk mengubah nanas dan apel menjadi buah-buahan tampaknya masih terlalu sulit bagi anak-anak. Padahal, kata Anwar Yassin pula, kalau hanya disuruh menjumlah empat tambah satu, tak ada anak yang kesulitan. Walhasil, kata Ketua Pengembangan Kurikulum ini, siswa tak menguasai Matematika, keterampilan berhitung biasa pun jadi terabaikan. Padahal, menurut Hasan Walinono, 40% siswa sekolah dasar tak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Maka dapat dipahami mengapa muncul keluhan siswa SD kurang terampil berhitung dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa ilmiahnya, "social arithmetic siswa rendah," kata Menteri Fuad Hassan. IKIP Negeri Surabaya segera diminta merombak pelajaran Matematika untuk SD. IKIP ini dipilih karena memang lembaga ini begitu antusias terhadap perombakan itu. "Itu sudah sejak empat atau lima tahun yang lalu," kata Hasan Walinono tentang penunjukan itu. Dan di akhir 1980-an sebenarnya sudah ada instruksi terhadap guruguru SD untuk menyisipkan pelajaran berhitung praktis, kata Menteri Fuad. Tapi tak banyak guru yang melaksanakannya, diduga karena banyak guru tak bisa lepas dari buku pelajaran Matematika yang belum diubah itu. Dengan kata lain, inisiatif guru memang kurang untuk memberikan pelajaran yang lebih jelas bagi siswa. Untuk merombak sekaligus buku pelajaran SD, Fuad, ketika itu baru sekitar setahun jadi Menteri P dan K, mengaku tidak berani. Alasannya, ia ingin menunggu sampai UU Pokok Pendidikan resmi disahkan. Sebab, katanya, dalam salah satu pasal UU Pokok itu disebutkan bahwa kajian Matematika di tingkat pendidikan dasar itu termasuk Berhitung. "Kalau dibilang terlambat ya memang terlambat. Tapi saya tak mau gegabah," kata Fuad lagi. Selain soal buku, tak semua guru mampu menggandengkan pelajaran Berhitung dan Matematika. Akibatnya, siswa jadi bingung. Misalnya, ada soal: berapakah 15 X 12. Untuk menjawab itu, murid harus mengerjakan dengan dua cara. Satu dengan cara pendek atau cara berhitung biasa, yang mengutamakan hasilnya saja. Satunya lagi dengan cara panjang atau cara matematika. Jika dijawab dengan cara panjang, murid harus menguraikan prosesnya mulai dari perkalian satuan hingga ke puluhan. Sehingga jawabannya adalah (5X2) ditambah (5X10) ditambah (10X10) ditambah (10X2) sama dengan 180. Tak banyak guru yang bisa menjelaskan bahwa cara panjang itu adalah untuk mengetahui proses ditemukannya hasil 180 itu. Proses ini bisa diterapkan ketika menghitung soal perkalian yang lain. "Yang cara panjang itu susah. Bingung," kata Dani, murid kelas IV SDN 01 Cibubur, Jakarta Timur. Pak Guru Triman dari SDN Kaliasin IV Surabaya pun mengakui cara penghitungan Matematika lebih sulit bagi siswanya. Ia yang telah 20 tahun mengajar matematika, kepada wartawan Amsakasasi dari TEMPO, malah mengusulkan, jika mungkin, pelajaran Berhitung diberikan dengan alat peraga lid seperti dulu. Dengan lidi, simbol-simbol bilangan memang jadi kongkret. Dan itulah sebenarnya hambatan anak-anak umumnya tidak semua anak untuk memahami Matematika. Sinyalemen ini dibenarkan oleh Profesor Singgih Gunarsa, seorang psikolog perkembangan anak. "Pemakaian simbol-simbol memang harus disesuaikan dengan perkembangan anak," katanya. Memang tak ada jaminan bahwa siswa lalu lebih mudah memahami Matematika setelah bisa berhitung. Tapi ini tampaknya seperti mengemudikan mobil, perlu lewat gigi satu, dua, dan seterusnya. Bila dari berhenti langsung gigi dua, lamalamanya mesin bisa jebol. Yang lebih celaka, bisa saja siswa tak juga menguasai keterampilan berhitung. "Dulu, ketika saya belajar berhitung, jumlah siswa yang menguasai berhitung juga sedikit," kata Djeniah Alim, Kepala SDN Kompleks IKIP Rawamangun, Jakarta, kepada wartawan TEMPO Susilawati Suryana. Itu semua memang benar. Masalahnya, dengan memberikan keterampilan berhitung terlebih dahulu, siswa yang putus sekolah dasar setidaknya jadi tak kikuk di masyarakat. "Jadi, kalau mau dagang misalnya, siswa itu sudah bisa menghitung dengan cepat," kata Hasan Walinono. Yang terlebih penting, matematika masuk ke pemahaman siswa lewat proses bertahap, tidak tiba-tiba. Contohnya, soal menjumlah himpunan apel dan nanas tadi. Setelah tahu bahwa jumlah lima, siswa lalu diminta berpikir itu lima apa. Bukannya sekaligus diminta berpikir jumlah berapa dan namanya apa. Itu sulit buat rata-rata siswa, apalagi bila sejak awal gurunya kurang bisa mengajar. Adanya kekeliruan metode atau proses mengajarkan Matematika diakui Profesor Soejadi, Guru Besar Matematika di IKIP Surabaya. Mulai dari penatar hingga guru SD, banyak yang salah kaprah dalam mengajarkan Matematika, katanya. Dalam pelajaran Matematika memang ada bagian yang harus dihafalkan seperti dalam pelajaran Berhitung, katanya. Menurut Soejadi, pelajaran mencongak atau berhitung luar kepala, yang oleh banyak guru sudah ditinggalkan, harus dihidupkan lagi. "Kepala saya sampai botak kan karena menghafal angka-angka," kata profesor berusia 58 tahun ini. Dan 70% materi pelajaran Matematika SD sekarang ini sebetulnya adalah berhitung, kata profesor yang terlibat perombakan pelajaran Matematika SD itu. "Jadi, siapa yang belajar Matematika harus juga belajar Berhitung," kata Soejadi. Dengan kata lain, untuk menguasai matematika, keterampilan berhitung diperlukan pula. Sebenarnya tak semua sekolah dan guru mengabaikan pelajaran berhitung, baik ia memahami atau tidak memahami pentingnya berhitung untuk menguasai matematika. Di sebuah SD favorit di Medan yang bernaung di bawah Yayasan Harapan Media, pelajaran berhitung gaya lama diberikan sebagai pelajaran ekstra selama dua jam per minggu tanpa mengurangi jam pelajaran Matematika yang enam jam per minggu itu. "Berhitung kami jadikan pelajaran penunjang Matematika," kata Hadi Lubis, sekretaris Yayasan Harapan Medan, kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Hasilnya, menurut Hadi, murid-muridnya menjadi lebih unggul dalam Matematika dibandingkan dengan siswa sekolah dasar yang lain. Nyonya Maimunah, Kepala SD Bedahan II Cibinong, Bogor, juga melakukan upaya serupa. Setiap hari, selama 10 menit usai jam sekolah, ia mengadakan tanya jawab untuk melatih kemampuan berhitung luar kepala siswa-siswanya. Bila bisa menjawab dengan benar, murid itu baru diperbolehkan pulang. "Ternyata murid-murid lebih bersemangat dan cepat mengerti masalah Matematika," kata lulusan Sekolah Pendidikan Guru 16 tahun lalu itu. Semua ini mengingatkan pada seorang tokoh pemerhati pendidikan yang sudah almarhum yakni Oeyeng Suwargana, yang di awal 1970-an gigih mengkritik akan diterapkannya pelajaran Matematika untuk SD. Sebelum Oeyeng terjebak dalam debat "lebih penting yang mana, berhitung atau metematika", ia pernah mengingatkan ada yang terlebih perlu dibenahi. Yakni guru. Pengamatannya, kurangnya kemampuan siswa dalam Berhitung karena guru kurang bisa memberikan pelajaran ini secara menarik. Bagi Oeyeng waktu itu, matematika dan berhitung sama saja asalkan gurunya yang piawai. Sayang, pemerhati pendidikan ini kemudian terlibat polemik pentingnya matematika di zaman modern. Hingga imbauannya untuk lebih memperhatikan masalah guru terabaikan. Kini, Menteri Fuad Hassan sendiri mengakui bahwa yang disampaikan oleh Oeyang itu memang patut diperhatikan. Jadi, para Bapak dan Ibu, Matematika sebenarnya tetap jadi pelajaran di SD, hanya untuk I satu sampai III, rencananya akan diberikan introduksinya, yakni berhitung. Tujuannya supaya anak-anak kembali terampil menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. Lalu konsep-konsep bilangan riil, bilangan asli, ruas garis, kurva lurus, kurva lengkung, dan banyak lagi akan diberikan di kelas yang lebih tinggi. Kata Anwar Yassin, Kepala Pengembangan Kurikulum itu, "Itu semua mungkin malah akan diberikan di SMP saja." Juga peningkatan kemampuan guru tentu termasuk dalam perombakan ini. G. Sugrahetty Dyan K., Sri Wahyuni, Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus