Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Peradilan in absensia untuk kartika

Indonesia sebaiknya menggelar peradilan in absensia dengan dakwaan korupsi bagi kartika. asal, dapat menunjukkan bukti bahwa kartika berperan dalam negosiasi komisi pt. krakatau steel.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGIKUTI sidangsidang "Kasus Kartika" di Singapura ternyata mempunyai segi positif. Paling tidak rasa kebangsaan (nasionalisme) kita terasa terusik. Kenapa tidak? Negara kita saat ini dalam keadaan prihatin, tetapi terungkap kemudian adanya manipulasi dan praktek-praktek korupsi yang sangat menjijikkan dalam bentuk permainan komisi. Yang lebih menjengkelkan adalah bahwa orang yang mengaku sebagai WNI (atau bekas WNI), yang masih kangen pada sambel belacan dan nasi gudek, bersikukuh untuk tetap ngrayah harta haram (illicit property) tersebut. Ironis memang. Di satu pihak kita di Indonesia sedang ribut membicarakan Sasaran Utama-Umum Pembangunan Jangka Panjang II (1993-2018) yaitu pembangunan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, tetapi di lain pihak seorang, ngakunya WNI (atau bekas WNI) kelahiran Jawa Timur, begitu sampai hati di sela-sela kehidupannya yang mewah di Eropa masih begitu tega (sampai hati) berjuang untuk tidak melepaskan tuntutannya terhadap uang haram itu. Saya lalu berpikir, apakah tidak sebaiknya kita mencarikan cara-cara yuridis di Indonesia untuk meyakinkan pengadilan Singapura bahwa menurut hukum positif di sini perbuatan tersebut merupakan tindak pidana korupsi. Caranya adalah kita harus menggelar peradilan korupsi untuk Kartika secara in absentia. Apa bisa? Coba kita lihat dasar hukumnya. Apabila kita yakin bahwa atas dasar alat-alat bukti yang akurat (Ps. 164 KUHAP: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa) bahwa Kartika jelas mempunyai peranan yang besar dalam negosiasi komisi pembangunan PT Krakatau Steel yang diperoleh dari kontraktor perusahaan Jerman, Siemens dan Klockner, apa yang dilakukan oleh Kartika dapat dikonstruksikan sebagai usaha membantu (medeplichtige) delik korupsi tersebut. Bahkan, atas dasar salah satu teori penyertaan (complicity), perbuatan tersebut dapat juga dikualifikasikan turut serta melakukan (Mede Plegen), sebab seorang pelaku peserta tidak perlu mempunyai kualitas (personal identification) yang sama dengan pelaku (sebagai pejabat). Dalam pembantuan yang berdiri sendiri (sui generis), tidak perlu seorang pembantu harus dipidana apabila si pelaku juga sudah diadili. Bahkan, dalam hukum pidana kita, sejak tahun 1925 atas dasar Pasal 163 bis KUHP, seorang yang gagal dalam menganjurkan suatu tindak pidana (mislukte uitlokking) dapat dipidana. Penggelaran peradilan in absentia dengan dakwaan korupsi bagi Kartika tidak berlebihan. Dasar dakwaannya dapat berupa: pertama, dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan korupsi dilakukan atau kedua, dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana korupsi atau ketiga, turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Kalau mau diperluas, dapat pula dikaitkan dengan pembantuan terhadap tindak pidana korupsi lain, yakni tindak pidana suap. Penuntutan ini harus segera dilakukan sebelum perkara tersebut kedaluwarsa (16 tahun). Dasar hukum untuk menggelar peradilan in absentia bagi tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1971, yang menyatakan, jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Putusan pengadilan diumumkan oleh panitera dalam papan pengumuman pengadilan/kantor pemerintah daerah. Kemudian setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan tetap terpidana berstatus buron, sampai kewenangan menjalankan pidana menjadi kedaluwarsa menurut undang-undang (18 tahun ditambah sepertiga). Dengan skenario atas dasar landasan yuridis yang kuat, pengadilan Singapura yang prosesnya masih lama itu akan bertambah yakin akan kebenaran klaim Indonesia terhadap harta haram tersebut. Di samping itu, kita masih mengharapkan adanya deterrent effect dari peradilan in absentia tersebut terhadap calon-calon pelaku potensial (potential offenders) semacam. Social stigma sebagai koruptor akan melekat tidak hanya pada pelaku, tetapi juga terhadap keluarganya. Menarik pelajaran dalam kasus ini, sudah saatnya di Indonesia diperlukan undang-undang baru (kriminalisasi) terhadap bentuk kejahatan baru yang dinamakan pencucian uang haram (money laundering). Apabila atas dasar Konvensi Wina 1988 kejahatan ini hanya dikaitkan dengan hasil perdagangan narkotik, pengaturan di Indonesia harus diperluas dengan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan lain seperti korupsi. Insya Allah, uang haram tersebut dapat kembali dan dimanfaatkan untuk pembangunan di Indonesia. * Guru besar Fakultas Hukum Undip, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus