Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Soal Pelanggaran Etik KPU, Pakar Hukum Tata Negara Sayangkan Putusan DKPP yang Dinilai Terlambat

Pakat hukum tata negara itu menilai putusan DKPP terkait pemilu ini sangat terlambat.

6 Februari 2024 | 11.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada atau UGM Zainal Arifin Mochtar menyerukan kepada masyarakat sipil untuk melakukan kudeta konstitusional melalui Pemilu 2024. Pernyataan tersebut mengomentari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan pelanggaran etik karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari Prabowo Subianto yang kini menjadi pasangan calon nomor urut 02.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemilu adalah kudeta yang konstitusional. Tanggal 14 Februari nanti, anda bisa melakukan kudeta atas pemerintahan yang tidak anda sukai di bilik suara. Saatnya demokrasi kembali kepada pemilik aslinya, masyarakat sipil. Artinya, kita harus bergerak,” kata Zainal saat menjadi pemantik diskusi Mimbar Demokrasi bertajuk "Kajian Hukum Politik Dinasti dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024" yang digelar Forum Cik Ditiro secara hybrid di Kampus UII Yogyakarta, Senin, 5 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerakan itu dilakukan karena putusan DKPP dinilai sangat terlambat. Seharusnya, putusan dapat diputus cepat sebelum surat suara dicetak, sedangkan saat ini sudah tak bisa mengganti paslon. Sementara tidak ada pasal-pasal dalam UU Pemilu yang mengatur persoalan ini. Begitu pula dalam Putusan DKPP. 

“Justru jadi bahaya kalau alasan ini untuk meniadakan Pemilu atau menundanya. Bisa-bisa ada perpanjangan masa jabatan Jokowi,” kata Zainal.

Upaya lainnya adalah dengan pelibatan publik secara langsung menggunakan platform-platform untuk mengawal Pemilu agar terhindar dari kecurangan. Seperti melalui situs kecurangan pemilu.com, platform jaga suara, dan sebagainya. 

“Jadi bagaimana kita dorong platform-platform itu digunakan seluruh masyarakat di Indonesia,” kata Zainal.

Selanjutnya adalah mendorong kesadaran masyarakat sipil untuk menciptakan oposisi yang memadai bagi penguasa. “Ini yang betul-betul tercerabut dari kita. Oposisi hilang dan dihilangkan. Dibungkam, dikooptasi. Itu jadi penyebab mengapa kita dapat Presiden seperti Jokowi, karena kita berhadapan dengan otoritarianisme,” kata Zainal.

Susun Aturan Pemakzulan hingga Diskualifikasi

Sementara upaya lain yang bisa dilakukan saat Pemilu berakhir dan Presiden terpilih berkuasa, Ketua Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi dan HAM (Pandekha) UGM Yance Arizona menawarkan tiga langkah.  “Ini untuk menyelamatkan demokrasi yang mati dibunuh oleh orang-orang yang dipilih secara demokrastis. Karena lemahnya komitmen mereka terhadap demokrasi. Berkuasa untuk kepentingan sendiri, keluarga dan kelompoknya,” kata dia.

Pertama, melakukan perbaikan aturan tentang pemakzulan. Mengingat prosedur pemakzulan rumit dan harus melalui meja-meja lembaga yang berkuasa. Diantaranya harus disetujui dua pertiga anggota DPR, kemudian disidangkan ke Mahkamah Konstitusi. Apabila Presiden terbukti bersalah, lalu dibawa ke MPR. 

Di sisi lain, ada syarat yang harus dipenuhi agar Presiden bisa dimakzulkan, yaitu pelanggaran hukum, tidak memenuhi syarat, dan melakukan perbuatan tercela. “Dari sekian syarat, yang clear hanya ada tidaknya pelanggaran hukum,” kata Yance.

Kedua, mengatur proses transisi pemerintahan satu ke pememerintahan lain. Ia mencontohkan dalam masa transisi ini, ada praktik bagi-bagi bansos oleh pemerintahan yang berkuasa. Tindakan tersebut dinilai menguntungkan paslon tertentu. “Kalau tidak ada pembatasan, mudah sekali Pemilu dimanipulasi oleh penguasa,” ujarnya.

Ketiga, membangun sistem diskualifikasi untuk orang-orang yang tidak punya komitmen kuat dalam demokrasi. Sejauh ini, diskualifikasi secara hukum yang sudah diterapkan adalah mencabut hak politik koruptor. 

“Bisa enggak diskualifikasi diterapkan kepada orang-orang yang melakukan praktik nepotisme, mengganggu tatanan hukum, melanggar HAM sehingga tidak bisa ikut Pemilu? Karena itu mengancam demokrasi,” kata Yance. 

Jokowi Bapak Politik Dinasti

Diskusi Mimbar Demokrasi itu sebelumnya didahului dengan memberi gelar Presiden Joko Widodo sebagai Bapak Politik Dinasti Indonesia oleh Forum Cik Ditiro. Forum itu terdiri dari akademisi, aktivis, mahasiswa, jurnalis dari berbagai lembaga tersebut. Gelar secara simbolis diberikan dengan memasangkan topeng bergambar wajah Jokowi kepada seorang relawan oleh salah satu inisiator Forum Cik Ditiro, Guru Besar Komunikasi UII Masduki.

Diakui Masduki, politik dinasti mungkin telah lama terjadi di beberapa daerah. Namun Jokowi sebagai Presiden adalah orang pertama yang memulai tindakan itu ke tingkat nasional secara terang-terangan. Prosesnya pun cukup lama, mulai dari Surakarta, Medan, kemudian Jakarta.

"Kenapa (gelar itu diberikan kepada) Jokowi? Karena dia menggunakan seluruh resource dan dilakukan selama menduduki jabatan tertinggi. Starting-nya berbeda. Kami melihat hari ini adalah puncaknya," ujar Masduki. 

Atas dasar itu pula, Forum Cik Ditiro mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk bersatu dalam jiwa, pikiran dan aksi untuk melawan tirani oligarki politik Jokowi yang melawan akal sehat publik. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus