Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) akan melanjutkan pembahasan sejumlah revisi undang-undang pada masa persidangan ketiga 2024-2025. Terdapat sejumlah pasal dalam revisi undang-undang tersebut yang mendapat sorotan publik, di antaranya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan RUU Polri.
DPR sedang berada dalam masa reses hingga 16 April 2025. Rapat paripurna pembukaan masa persidangan ketiga dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 17 April 2025. Setelah itu, DPR akan kembali membahas sejumlah revisi UU.
Untuk pembahasan revisi Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri atau RUU Polri, DPR masih menunggu surat presiden (surpres). Pada Selasa, 25 Maret 2025, Ketua DPR Puan Maharani menampik kabar yang menyebutkan DPR segera membahas RUU Polri setelah mengesahkan revisi UU TNI.
Lantas, apa saja poin-poin penting perubahan dalam UU KUHAP dan UU Polri?
UU KUHAP
Komisi III DPR akan segera membahas RUU KUHAP. DPR sebelumnya telah menerima surat presiden untuk membahas RUU KUHAP dalam rapat paripurna pada Selasa, 25 Maret 2025. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan RUU KUHAP akan dibahas lewat komisi yang membidangi penegakan hukum itu.
Habiburokhman mengatakan pembahasan RUU itu ditargetkan rampung dalam waktu yang tidak terlalu lama karena pasal yang termuat tidak terlalu banyak. “Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” ucapnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.
DPR menyepakati perkara penghinaan terhadap presiden dapat diselesaikan melalui restorative justice atau keadilan restoratif dalam RUU KUHAP. Ketentuan itu adalah perbaikan terhadap Pasal 77 UU KUHAP yang berlaku saat ini. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, sebelumnya DPR telah memublikasikan RUU KUHAP.
Dalam draf tersebut, DPR mencantumkan penghinaan terhadap presiden sebagai pengecualian perkara yang dapat diproses secara Keadilan restoratif. “Ada kesalahan redaksi dari draf yang kami publikasikan di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 24 Maret 2025.
Dia mengatakan seluruh fraksi sepakat perkara penghinaan presiden menjadi pasal yang paling penting harus diselesaikan dengan keadilan restoratif. “Dapat dipastikan hal tersebut tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan,” tutur Habiburokhman.
Seluruh fraksi Komisi III DPR juga setuju draf RUU KUHAP mengatur advokat tidak dapat dituntut saat membela kliennya. Aturan itu diusulkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Juniver Girsang dalam rapat dengar pendapat di kompleks parlemen, Senin.
Juniver awalnya membahas Pasal 140 yang menyatakan advokat menjalankan tugas dan fungsi membela dan mendampingi orang yang menjalani proses peradilan pidana baik dalam pemeriksaan maupun di luar pemeriksaan sesuai dengan etika profesi yang berlaku. Kemudian, dia mengusulkan agar ditambah satu ayat dalam pasal tersebut yang menyebutkan advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya dengan iktikad baik kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Menurut dia, ayat itu penting dimasukkan ke dalam KUHAP karena ada banyak advokat yang dikriminalisasi. “Kalau ada yang mengatakan (aturan ini) ada di UU Advokat, faktanya advokat sekarang banyak yang dituntut, diminta pertanggungjawaban pada saat dia melakukan pembelaan profesi,” kata Juniper.
Habiburokhman menegaskan kejaksaan juga tetap berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam RUU KUHAP. “Jadi kejaksaan tetap berwenang melakukan penyidikan tipikor menurut KUHAP yang baru,” kata dia.
Dia merespons informasi yang beredar di publik perihal Pasal 6 dalam draf RUU KUHAP yang menyebutkan jaksa tak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor. “Ada yang menyebutkan kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan di bidang tipikor karena Pasal 6, penjelasannya Pasal 6 itu menyebutkan bahwa yang disebutkan adalah penyidik kejaksaan di bidang pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Untuk itu, dia mengatakan kabar yang menyebutkan jaksa tak lagi memiliki wewenang melakukan penyidikan tipikor dalam RUU KUHAP tidaklah benar.
Dia pun memastikan RUU KUHAP mengatur mekanisme pengawasan menggunakan kamera CCTV selama proses pemeriksaan dan penahanan oleh penyidik. Tujuannya untuk mengurangi tindakan kekerasan oleh aparat selama proses pemeriksaan tersangka atau saksi dalam perkara pidana. Ketentuan soal penggunaan kamera atau rekaman selama proses pemeriksaan ini tidak diatur dalam KUHAP yang berlaku saat ini.
Ketentuan soal penggunaan CCTV ini, kata dia, diatur dalam Pasal 31 draf RUU KUHAP. Ayat 2 pasal tersebut menyatakan pemeriksaan dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung. Pasal ini juga menyebutkan rekaman kamera pengawas tersebut juga bisa digunakan untuk kepentingan tersangka, terdakwa, atau penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas permintaan hakim.
UU Polri
Terdapat usulan perubahan dalam draf RUU Polri yang diperoleh Tempo. Misalnya, Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang menyatakan Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Menurut koalisi, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini juga berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Penyadapan di ruang siber pun rentan terjadi, sebab dengan revisi UU Polri ini kepolisian memiliki wewenang yang diklaim sesuai UU Penyadapan. “Padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur pada 2 Juni 2024. YLBHI adalah anggota koalisi ini bersama KontraS, Imparsial, IM57+ Institute, SAFEnet, ICW, dan 15 organisasi lainnya.
Usulan perubahan yang juga menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan Polri bertugas mengoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Koalisi menilai usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai investigator superbody. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi ‘bisnis keamanan’.
Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu Pasal 16 A, yang mengatur tentang kewenangan Polri menyusun rencana dan kebijakan di bidang Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.
Masyarakat Sipil memandang usulan itu membuat kewenangan Intelkam yang dimiliki Polri melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Lewat usulan pasal ini, Polri diduga punya kewenangan menagih data intelijen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI.
Masyarakat Sipil juga menentang penambahan batas usia pensiun bagi anggota Polri. Usulan ini tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2. Pasal itu menyatakan batas usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.
Koalisi khawatir penambahan batas usia pensiun anggota Polri itu berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal kepolisian. Masyarakat Sipil berpendapat usulan ini tidak menjadi solusi atas masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.
Muhammad Isnur mendesak DPR dan pemerintah tidak menyusun undang-undang secara serampangan, termasuk pembahasan RUU Polri ini. Dia meminta lembaga legislatif memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat. “Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” kata Isnur pada Ahad, 23 Maret 2025.
Poin lain yang mendapat sorotan adalah RUU KUHAP melarang publikasi persidangan secara langsung atau live. “Ini ketentuan yang membatasi kebebasan pers,” kata dosen Perbandingan Hukum Acara Perdata dan Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi pada Jumat, 4 April 2025.
Dalam draf RUU KUHAP Pasal 253 ayat (3) tertulis, setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan. Menurut Abdul Fickar, aturan tersebut tak hanya akan merugikan pers, tetapi juga masyarakat.
Karena itu, dia meminta Komisi III DPR memberikan perhatian atas RUU KUHAP itu. “Karena bagaimana pun ini termasuk pelanggaran HAM,” ujarnya.
Hammam Izzuddin, Novali Panji Nugroho, Alfitria Nefi P, Anastasya Lavenia Y, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Nasib Lucky Hakim setelah Diperiksa Inspektorat Jenderal Kemendagri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini