Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pegiat demokrasi ramai-ramai mengkritik pemberian pangkat istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto. Pemberian pangkat istimewa yang ditandai dengan penyematan bintang empat di pundak itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang TNI ataupun Undang-Undang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan UU TNI tidak mengenal istilah bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Ia menyebutkan kenaikan pangkat berupa bintang di pundak atau pangkat militer untuk perwira tinggi hanya berlaku untuk tentara aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Secara yuridis, kenaikan pangkat kehormatan itu tidak sah dan ilegal,” kata Halili, Rabu, 28 Februari 2024.
Ia juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Halili berpendapat, undang-undang ini mengatur bahwa pemberian bintang militer sebagai tanda kehormatan hanya berupa Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa. “Bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer,” katanya.
Halili juga merujuk pada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012. Peraturan menteri ini mengatur bahwa kenaikan pangkat istimewa diberikan kepada pegawai negeri sipil dengan prestasi yang luar biasa. Lalu kenaikan pangkat luar biasa diberikan kepada prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung serta berjasa dalam panggilan tugasnya. “Prabowo tidak masuk dua kategori untuk mendapat kenaikan pangkat kehormatan jika mengacu pada peraturan Menteri Pertahanan tersebut.”
Di samping itu, kata Halili, pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo itu akan bermasalah jika diartikan sebagai pemberian pangkat militer perwira tinggi. Sebab, menantu Presiden Soeharto itu bukan berhenti karena memasuki usia pensiun. Tapi Prabowo pensiun dari TNI karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1998.
“Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” kata Halili.
Presiden Joko Widodo menyematkan pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di sela Rapat Pimpinan TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, 28 Februari 2024. TEMPO/Subekti.
Presiden Joko Widodo memberikan kenaikan pangkat secara istimewa kepada Prabowo di Gedung Olahraga Ahmad Yani, Markas Besar TNI, kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu kemarin. Kenaikan pangkat istimewa kepada Prabowo ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tentang Penganugerahan Pangkat Secara Istimewa Berupa Jenderal TNI Kehormatan. Keputusan presiden ini diteken oleh Jokowi pada 21 Februari lalu.
Jokowi mengatakan penganugerahan pangkat istimewa kepada Prabowo itu sudah sejalan dengan Undang-Undang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan. Mantan Wali Kota Solo tersebut merujuk pada Pasal 33 undang-undang tersebut. Pasal ini mengatur pemberian penghargaan kepada penerima gelar, tanda jasa, atau tanda kehormatan, yaitu kenaikan pangkat secara istimewa.
Jokowi menyebutkan Prabowo pernah menerima anugerah Bintang Yudha Dharma Utama pada 2022 atas jasanya di bidang pertahanan. Ia pun menyangkal tudingan ada motif politik di balik pemberian Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo tersebut. "Ya, kalau transaksi politik, kita berikan sebelum pemilu. Ini kan setelah pemilu supaya tidak ada anggapan seperti itu," katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berpendapat, pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan itu tidak tepat diberikan kepada Prabowo. Sebab, mantan Komandan Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat tersebut mempunyai rekam jejak buruk dalam karier militernya.
Baca Juga:
Sesuai dengan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan, termasuk melakukan penculikan terhadap aktivis prodemokrasi pada 1998. Prabowo lantas dikenai hukuman pemberhentian dari dinas keprajuritan. “Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI,” kata Isnur, kemarin.
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie juga mempertanyakan dasar hukum pemberian pangkat istimewa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. Sepengetahuan dia, UU TNI ataupun UU Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan hanya mengatur pemberian kenaikan pangkat kehormatan kepada prajurit dan perwara aktif. “Setahu saya, belum ada perubahan pada undang-undang tersebut,” katanya.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didampingi Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto (kiri) dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat memeriksa alutsista di Mabes TNI, Jakarta, 28 Februari 2024. ANTARA/Bayu Pratama S.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, T.B. Hasanuddin, juga mengkritik pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. "Pangkat penghargaan atau tanda kehormatan itu hanya bisa diberikan kepada seorang prajurit yang masih aktif," kata Hasanuddin.
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan UU TNI hanya mengatur tiga pangkat, yaitu pangkat efektif, lokal, dan tituler. Sedangkan pangkat kehormatan dan penghargaan bagi pensiunan TNI tidak ada dalam undang-undang tersebut.
Hasanuddin melanjutkan, Pasal 33 Undang-Undang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan juga hanya mengatur pemberian pangkat kehormatan kepada prajurit TNI aktif. Misalnya, prajurit diberi pangkat kehormatan atau kenaikan luar biasa untuk mengapresiasi perjuangannya. "Jadi tanda kehormatan itu diberikan kepada mereka yang masih aktif," katanya.
Menurut Hasanuddin, Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2009 hanya mengatur tujuh jenis tanda kehormatan bintang militer, yaitu Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa. "Jangan salah tafsir bahwa bintang di pundak bisa diberikan. Itu sudah tidak ada lagi," katanya.
Dia mengatakan Jokowi seharusnya mematuhi Undang-Undang TNI. Karena itu, kata dia, jika tetap ingin memberikan pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo, Jokowi semestinya merevisi keputusan presiden yang memberhentikan Prabowo dari TNI. “Kalau sekarang mau dikasih pangkat lagi, harus direvisi kepres yang dulu,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, berpendapat berbeda. Politikus Partai Golkar ini mengatakan Prabowo pantas mendapat pangkat kehormatan karena mempunyai rekam jejak baik sejak berdinas di militer hingga menjadi Menteri Pertahanan. “Kami melihat tidak ada yang dilanggar,” katanya.
Bobby beralasan, bintang kehormatan dari presiden juga pernah diberikan kepada tujuh pensiunan TNI. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Pandjaitan, Agum Gumelar, A.M. Hendropriyono, P. Hari Sabarno, P. Susilo Sudarman, dan P. Surjadi Sudirja.
Menanggapi pernyataan Bobby, Hasanuddin mengatakan pemberian pangkat kehormatan kepada ketujuh pensiunan TNI itu terjadi sebelum UU TNI terbit. Dengan demikian, pemerintah saat itu masih membolehkan pemberian pangkat kehormatan kepada pensiunan TNI. “Tujuh purnawirawan itu diberi pangkat kehormatan sebelum 2004,” kata Hasanuddin.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal berbagai kritikan atas pemberian pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan Prabowo mendapat pangkat jenderal kehormatan karena menorehkan peran penting di dunia pertahanan. “Ini adalah penghargaan pangkat tertinggi bintang empat dalam dunia militer yang disematkan kepada orang-orang yang berperan penting di dunia pertahanan, serta dedikasi dan pengorbanan yang tinggi kepada rakyat, bangsa, dan negara,” kata Muzani.
IMAM HAMDI | DANIEL A. FAJRI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo