Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak habis manis, purnawirawan

Beberapa purnawiran abri ingin mencalonkan diri pada pemilu 1982, termasuk a.j. mokoginta, h.r. darsono. (nas)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG menggelindingkan bola pertama kali adalah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Menjawab pertanyaan pers pertengahan Januari lalu, Sudomo mengatakan bekas anggota ABRI yang sudah kembali ke masyarakat dan tidak lagi ada ikatan formal dengan ABRI, boleh masuk partai politik. "Negara ini negara demokrasi. Dan mereka -- bekas ABRI -- boleh menentukan pilihannya sendiri," tegasnya. Ternyata Ali Sadikin yang kemudian menarik perhatian. Pada koran Merdeka dua pekan lalu, bekas Gubernur Jakarta ini menyatakan akan ikut mencalonkan diri dalam pemilihan anggota DPR pada Pemilu 1982. Ali Sadikin yang kini menjadi pengusaha, saat ini masih menjalani Masa Persiapan Pensiun (MPP)-nya yang akan berakhir Januari 1981. Namun belum diungkapkannya, organisasi mana yang akan dimasukinya, PDI, PPP ataukah Golkar. Alasan resmi Ali Sadikin sebagai seorang pejuang dia merasa terpanggil untuk beljuang, "memurnikan dan meluruskan kembali perjuangan bagi tegaknya prinsip dan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945." Jika keputusannya untuk terjun ke kompetisi pencalonan pada Pemilu 1982 nanti bisa diterima massa rakyat, dia berjanji akan mengikatkan diri dengan aspirasi dan cita-cita perjuangan rakyat pemilihnya. Welcome Beramai-ramai orang kemudian menyambut pernyataan itu. Laksamana Sudomo menganggap keputusan Ali Sadikin itu "sesuatu yang wajar dan tidak luar biasa. " Dia mengulangi lagi penegasannya dulu anggota ABRI yang telah pensiun bebas untuk menentukan pilihannya. Sedang bagi yang masih aktif, jelas terlarang untuk giat dalam partai politik. Mereka yang masih dalam status MPP juga dilarang karena masih dianggap sebagai aktif. "Memang bagi anggota ABRI yang sudah pensiun hak dan kewajibannya dengan sendirinya menjadi seperti warganegara biasa. Karena itu tidak ada satu orangpun yang bisa melarang mereka untuk masuk dalam partai politik. Lain halnya mereka yang mau masuk Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI). Mereka tidak akan diterima kalau sebelumnya telah masuk salah satu parpol," ucap Ketua DPR Daryatmo. Daryatmo yakin, purnawirawan perwira ABRI bagaimana pun ekstrimnya tidak perlu dikhawatirkan akan mempunyai pikiran yang negatif terhadap negara dan bangsa. "Kalaupun ada yang ngomong ekstrim, bukan berarti mereka ingin berontak. Tapi dengan satu pikiran bahwa mereka ingin memperbaiki keadaan," ujarnya. Ketua DPR ini yakin, para purnawirawan ini masih tetap berjiwa Sapta Marga dan menjunjung tinggi Sumpah Prajurit. Ucapan Daryatmo ini sempat mengharukan A.J Mokoginta pensiunan Let. Jend. TNI-AD, sebab biasanya para purnawirawan yang kritis "dicurigai". Dari kubu parpol cukup banyak sambutan yang datang. "Welcome," begitu sambutan Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI. Partainya selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota, tak terkecuali para purnawirawan. "Apalagi jiwa yang terkandung dalam Saptamarga tak ada bedanya dengan perjuangan PDI," katanya. Sambutan dari PPP bernada sama. "Kami pasti akan membuka pintu selebar-lebarnya bagi purnawirawan tanpa menaruh curiga sedlkitpun," kata Imam Sofwan, salah satu ketua DPP PPP. Mereka ini akan dinilai sampai di mana keaktifannya dan apakah dapat dipercaya atau tidak. Jadi tidak begitu masuk langsung diangkat jadi pengurus. Menurut Imam Sofwan, di PPP sendiri sudah ada purnawirawan yang aktif. Ia menyebut nama Hassan Basry, bekas Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat yang kini menjadi anggota DPR Komisi IV. Di daerah, lanjut Imam, cukup banyak purnawirawan yang masuk PPP. Mereka biasanya tertarik karena alasan agama. Di Pamekasan (Madura) misalnya, ada seorang bekas Komandan Koramil yang kini menjadi pengurus PPP setempat. Monoton Belum habis gema yang ditimbulkan Ali Sadikin, muncul lagi suara baru. Hugeng Imam Santoso, bekas Kapolri ini menyatakan tidak tertutup kemungkinan dia terpaksa terjun juga ke gelanggang politik dalam satu dua tahun ini. "Kalau menilai keadaan sekarang sudah cukup baik, mengapa saya repot-repot mendirikan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi bersama tokoh lainnya?" ujarnya akhir bulan lalu. Ramainya sambutan atas niat Ali Sadikin dan Hugeng cukup beralasan. Keduanya tersohor dengan ucapan mereka yang ceplas-ceplos. Kemunculan mereka dalam kehidupan politik praktis yang nyaris monoton seperti saat ini diharapkan bisa lebih menyemarakkan suasana ini. Pernyataan Bang Ali dan Hugeng lebih menarik lagi karena selama ini ada anggapan, begitu seorang anggota ABRI pensiun, otomatis dia akan masuk dalam Pepabri. Sesuai dengan anggaran dasarnya, Pepabri menyalurkan aspirasinya lewat Golkar. Dan Golkar sebagai organisasi politik yang didirikan ABRI, dikenal sebagai wadah penampungan para tokoh ABRI -- terutama yang purnawirawan. Hingga jika kelak Ali Sadikin bergabung ke salah satu parpol, langkah itu bisa diartikan sebagai "penyelewengan" dari pola yang dianggap sudah mapan. Suatu "kebetulan" lain Ali Sadikin dan Hugeng dikenal sebagai tokoh Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang belakangan ini giat mengadakan pertemuan dan rembukan dengan berbagai kalangan dalam usaha "melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen." Apakah niat mereka ini, timbul karena menyadari usaha mereka lewat LKB dianggap kurang efektif hingga dianggap perlu untuk terjun langsung ke politik praktis? Tak diragukan lagi PDI dan PPP bisa memperoleh manfaat jika purnawirawan ùseperti Ali Sadikin atau Hugeng bergabung dengan mereka. PDI yang saat ini digerogoti krisis kepemimpinan hingga massa anggotanya terlantar, dapat menemukan tokoh netral yang bisa diterima berbagai kelompok yang bertentangan dalam tubuh partai itu. Kehadiran tokoh populer seperti mereka mungkin bisa menambah pengumpulan suara dalam pemilu. Bagi PPP, masuknya banyak tokoh purnawirawan ABRI agaknya bisa memperbaiki citra partai Islam ini Walau telah diusahakan dengan berbagai cara, masih ada anggapan bahwa PPP adalah partai yang "ekstrim." Tuduhan bahwa partai ini memimpikan adanya suatu "Negara Islam" masih saja membayangi PPP. Hadirnya purnawirawan ABRI yang menjunjung tinggi Saptamarga dan Sumpah Prajurit bisa mengurangi kekhawatiran ini. Bagaimana dengan Golkar? Organisasi politik ini telah lama dijejali banyak tokoh kelas kakap. Toh masuknya orang seperti Ali Sadikin dan Hugeng diharapkan bisa memperbaiki organisasi ini. Misalnya agar lebih mandiri dan merakyat. Kritik Ali Sadikin pada Golkar misalnya, dinilai cukup beralasan. Menurut Ali Sadikin, hak veto dan kedaulatan partai dalam Golkar seharusnya berada di tangan kongres, bukan di Dewan Pembina seperti sekarang. Tapi patutkah berharap banyak pada kemunculan para purnawirawan ABRI dalam kehidupan politik Indonesia? Begitu hebatkah mereka hingga harus diperlakukan secara istimewa? Ada anggapan bahwa para perwira tinggi ABRI begitu pensiun akan dihinggapi post-power syndrome, suatu gejala psikologis yang timbul setelah seseorang tidak lagi menduduki suatu jabatan. Apakah ini yang mendorong para purnawirawan ABRI untuk terjun dalam politik praktis? Ancar-ancar H. Hassan Basry, 57 tahun, mengaku terjun dalam PPP bukan karena diminta. "Saya ingin berpartisipasi dalam pembangunan negara walau tidak lagi menjadi ABRI," ujarnya pekan lalu. Dia memilih PPP karena "Saya orang Islam." Brigjen purnawirawan bekas Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat (Kalimantan Selatan) ini terakhir menjabat Staf Pribadi KSAD sebelum pensiun pada 1969. Kata Hassan yang bergabung ke PPP sejak Pemilu 1977. "Sampai sekarang jiwa dan semangat Saptamarga saya tak pernah luntur. Saya tetap seorang Saptamargais." Tidak semua purnawirawan yang dianggap "oposan" berminat terjun langsung dalam politik. Misalnya Letjen (Purn. A.J. Mokoginta. Kata tokoh LKB ini: "Saya masih ingin menyumbangkan apa yang ada pada saya melalui partisipasi yang saya lakukan sekarang. Lewat partai akan terikat formalitas. Mungkin kelompok kami bisa mengisi apa yang tidak bisa diisi partai," ujarnya pada TEMPO. Namun tidak ditutupnya pintu untuk suatu waktu kelak masuk partai. "Insya Allah, setelah partai betul-betul menyalurkan aspirasi rakyat," ucapnya. Ia menganggap selama ini parpol mau pun Golkar masih selalu diatur dan diarahkan pemerintah. "Golkar belum benar-benar membawakan aspirasi rakyat " komentarnya. Isyarat yang sama dinyatakan juga oleh Letjen (Purn.) H.R. Dharsono, bekas Panglima Siliwangi. "Kalau Golkar sudah mendewasaka diri, barangkali bagi purnawirawan itulah tempatnya," katanya. Namun, lanjutnya, "Saat ini sekarang nampaknya orang lebih memilih partai ketimbang Golkar." Apakah ia berniat masuk partai? "Pada saat ini di mana semua sudah diatur dan diarahkan, itu tidak ada artinya. Saya belum melihat manfaatnya," sahutnya. Ditegaskannya, dia belum berminat terjun dalam politik praktis dalam Pemilu 1982. "Kan masih akan ada Pemilu 1987 nanti. Ini ancar-ancar." Menurut Dharsono, rencana Ali Sadikin terjun dalam politik harus dilihat latar belakangnya. Yaitu berkisar dari suatu penglihatan dan perasaan bahwa kehidupan politik di Indonesia ternyata tak seperti yang dikehendaki oleh banyak pihak. "Saya yakin pernyataan Bang Ali itu bukan karena pernyataan pak Domo bahwa purnawirawan boleh aktif dalam parpol," ujarnya. Apa akibat rencana Ali Sadikin ini pada Pepabri? Pepabri dianggap sebagai satu-satunya wadah perjuangan purnawirawan ABRI. "Buku Biru" yang memuat pokok-pokok kebijaksanaan Departemen Hankam menyebutkan ABRI berkewajiban membina organisasi Pepabri agar bisa menjadi organisasi kuat yang bisa diandalkan. Jumlah anggota Pepabri saat ini tercatat sekitar 3 50.000. Ketua Umum PB Pepabri Widyapranata menjelaskan, hampir semua purnawirawan, kecuali satu dua termasuk beberapa purnawirawan perwira tinggi, menjadi anggota Pepabri. Menurutnya, jarang sekali purnawirawan yang masuk parpol lalu menonjol sebagai pimpinan. Bukan karena kurang berwibawa. "Tapi menjadi politikus selain harus berbakat juga perlu waktu panjang untuk belajar," katanya. Karena itu banyak bekas militer yang tidak senang menjadi politikus. Sebaliknya banyak politikus yang tidak menyukai militer yang senang memberi komando pada siapa saja. Tapi pada para purnawirawan yang tidak masuk Pepabri "Jelas kami tak bersikap memusuhi mereka," ujar Widyapranata. Dia mengutip pepatah Belanda gescheiden samengaan, terpisah jalannya tapi sama tujuannya. Tujuan itu, kata Widyapranata pula, tak lain dari masyarakat Pancasila yang adil dan makmur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus