YANG menggelindingkan bola pertama kali adalah Pangkopkamtib
Laksamana Sudomo. Menjawab pertanyaan pers pertengahan Januari
lalu, Sudomo mengatakan bekas anggota ABRI yang sudah kembali ke
masyarakat dan tidak lagi ada ikatan formal dengan ABRI, boleh
masuk partai politik. "Negara ini negara demokrasi. Dan mereka
-- bekas ABRI -- boleh menentukan pilihannya sendiri," tegasnya.
Ternyata Ali Sadikin yang kemudian menarik perhatian. Pada koran
Merdeka dua pekan lalu, bekas Gubernur Jakarta ini menyatakan
akan ikut mencalonkan diri dalam pemilihan anggota DPR pada
Pemilu 1982. Ali Sadikin yang kini menjadi pengusaha, saat ini
masih menjalani Masa Persiapan Pensiun (MPP)-nya yang akan
berakhir Januari 1981. Namun belum diungkapkannya, organisasi
mana yang akan dimasukinya, PDI, PPP ataukah Golkar.
Alasan resmi Ali Sadikin sebagai seorang pejuang dia merasa
terpanggil untuk beljuang, "memurnikan dan meluruskan kembali
perjuangan bagi tegaknya prinsip dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945." Jika keputusannya untuk terjun ke
kompetisi pencalonan pada Pemilu 1982 nanti bisa diterima
massa rakyat, dia berjanji akan mengikatkan diri dengan
aspirasi dan cita-cita perjuangan rakyat pemilihnya.
Welcome
Beramai-ramai orang kemudian menyambut pernyataan itu. Laksamana
Sudomo menganggap keputusan Ali Sadikin itu "sesuatu yang wajar
dan tidak luar biasa. " Dia mengulangi lagi penegasannya dulu
anggota ABRI yang telah pensiun bebas untuk menentukan
pilihannya. Sedang bagi yang masih aktif, jelas terlarang untuk
giat dalam partai politik. Mereka yang masih dalam status MPP
juga dilarang karena masih dianggap sebagai aktif.
"Memang bagi anggota ABRI yang sudah pensiun hak dan
kewajibannya dengan sendirinya menjadi seperti warganegara
biasa. Karena itu tidak ada satu orangpun yang bisa melarang
mereka untuk masuk dalam partai politik. Lain halnya mereka yang
mau masuk Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI). Mereka tidak
akan diterima kalau sebelumnya telah masuk salah satu parpol,"
ucap Ketua DPR Daryatmo.
Daryatmo yakin, purnawirawan perwira ABRI bagaimana pun
ekstrimnya tidak perlu dikhawatirkan akan mempunyai pikiran
yang negatif terhadap negara dan bangsa. "Kalaupun ada yang
ngomong ekstrim, bukan berarti mereka ingin berontak. Tapi
dengan satu pikiran bahwa mereka ingin memperbaiki keadaan,"
ujarnya. Ketua DPR ini yakin, para purnawirawan ini masih tetap
berjiwa Sapta Marga dan menjunjung tinggi Sumpah Prajurit.
Ucapan Daryatmo ini sempat mengharukan A.J Mokoginta pensiunan
Let. Jend. TNI-AD, sebab biasanya para purnawirawan yang kritis
"dicurigai".
Dari kubu parpol cukup banyak sambutan yang datang. "Welcome,"
begitu sambutan Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI. Partainya selalu
membuka pintu bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota, tak
terkecuali para purnawirawan. "Apalagi jiwa yang terkandung
dalam Saptamarga tak ada bedanya dengan perjuangan PDI,"
katanya.
Sambutan dari PPP bernada sama. "Kami pasti akan membuka pintu
selebar-lebarnya bagi purnawirawan tanpa menaruh curiga
sedlkitpun," kata Imam Sofwan, salah satu ketua DPP PPP. Mereka
ini akan dinilai sampai di mana keaktifannya dan apakah dapat
dipercaya atau tidak. Jadi tidak begitu masuk langsung diangkat
jadi pengurus.
Menurut Imam Sofwan, di PPP sendiri sudah ada purnawirawan yang
aktif. Ia menyebut nama Hassan Basry, bekas Panglima Kodam
X/Lambung Mangkurat yang kini menjadi anggota DPR Komisi IV. Di
daerah, lanjut Imam, cukup banyak purnawirawan yang masuk PPP.
Mereka biasanya tertarik karena alasan agama. Di Pamekasan
(Madura) misalnya, ada seorang bekas Komandan Koramil yang kini
menjadi pengurus PPP setempat.
Monoton
Belum habis gema yang ditimbulkan Ali Sadikin, muncul lagi suara
baru. Hugeng Imam Santoso, bekas Kapolri ini menyatakan tidak
tertutup kemungkinan dia terpaksa terjun juga ke gelanggang
politik dalam satu dua tahun ini. "Kalau menilai keadaan
sekarang sudah cukup baik, mengapa saya repot-repot mendirikan
Lembaga Kesadaran Berkonstitusi bersama tokoh lainnya?" ujarnya
akhir bulan lalu.
Ramainya sambutan atas niat Ali Sadikin dan Hugeng cukup
beralasan. Keduanya tersohor dengan ucapan mereka yang
ceplas-ceplos. Kemunculan mereka dalam kehidupan politik praktis
yang nyaris monoton seperti saat ini diharapkan bisa lebih
menyemarakkan suasana ini.
Pernyataan Bang Ali dan Hugeng lebih menarik lagi karena selama
ini ada anggapan, begitu seorang anggota ABRI pensiun, otomatis
dia akan masuk dalam Pepabri. Sesuai dengan anggaran dasarnya,
Pepabri menyalurkan aspirasinya lewat Golkar. Dan Golkar sebagai
organisasi politik yang didirikan ABRI, dikenal sebagai wadah
penampungan para tokoh ABRI -- terutama yang purnawirawan.
Hingga jika kelak Ali Sadikin bergabung ke salah satu parpol,
langkah itu bisa diartikan sebagai "penyelewengan" dari pola
yang dianggap sudah mapan.
Suatu "kebetulan" lain Ali Sadikin dan Hugeng dikenal sebagai
tokoh Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang
belakangan ini giat mengadakan pertemuan dan rembukan dengan
berbagai kalangan dalam usaha "melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen." Apakah niat mereka ini, timbul karena
menyadari usaha mereka lewat LKB dianggap kurang efektif hingga
dianggap perlu untuk terjun langsung ke politik praktis?
Tak diragukan lagi PDI dan PPP bisa memperoleh manfaat jika
purnawirawan ùseperti Ali Sadikin atau Hugeng bergabung dengan
mereka. PDI yang saat ini digerogoti krisis kepemimpinan hingga
massa anggotanya terlantar, dapat menemukan tokoh netral yang
bisa diterima berbagai kelompok yang bertentangan dalam tubuh
partai itu. Kehadiran tokoh populer seperti mereka mungkin bisa
menambah pengumpulan suara dalam pemilu.
Bagi PPP, masuknya banyak tokoh purnawirawan ABRI agaknya bisa
memperbaiki citra partai Islam ini Walau telah diusahakan dengan
berbagai cara, masih ada anggapan bahwa PPP adalah partai yang
"ekstrim." Tuduhan bahwa partai ini memimpikan adanya suatu
"Negara Islam" masih saja membayangi PPP. Hadirnya purnawirawan
ABRI yang menjunjung tinggi Saptamarga dan Sumpah Prajurit bisa
mengurangi kekhawatiran ini.
Bagaimana dengan Golkar? Organisasi politik ini telah lama
dijejali banyak tokoh kelas kakap. Toh masuknya orang seperti
Ali Sadikin dan Hugeng diharapkan bisa memperbaiki organisasi
ini. Misalnya agar lebih mandiri dan merakyat. Kritik Ali
Sadikin pada Golkar misalnya, dinilai cukup beralasan. Menurut
Ali Sadikin, hak veto dan kedaulatan partai dalam Golkar
seharusnya berada di tangan kongres, bukan di Dewan Pembina
seperti sekarang.
Tapi patutkah berharap banyak pada kemunculan para purnawirawan
ABRI dalam kehidupan politik Indonesia? Begitu hebatkah mereka
hingga harus diperlakukan secara istimewa?
Ada anggapan bahwa para perwira tinggi ABRI begitu pensiun akan
dihinggapi post-power syndrome, suatu gejala psikologis yang
timbul setelah seseorang tidak lagi menduduki suatu jabatan.
Apakah ini yang mendorong para purnawirawan ABRI untuk terjun
dalam politik praktis?
Ancar-ancar
H. Hassan Basry, 57 tahun, mengaku terjun dalam PPP bukan karena
diminta. "Saya ingin berpartisipasi dalam pembangunan negara
walau tidak lagi menjadi ABRI," ujarnya pekan lalu. Dia memilih
PPP karena "Saya orang Islam." Brigjen purnawirawan bekas
Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat (Kalimantan Selatan) ini
terakhir menjabat Staf Pribadi KSAD sebelum pensiun pada 1969.
Kata Hassan yang bergabung ke PPP sejak Pemilu 1977. "Sampai
sekarang jiwa dan semangat Saptamarga saya tak pernah luntur.
Saya tetap seorang Saptamargais."
Tidak semua purnawirawan yang dianggap "oposan" berminat terjun
langsung dalam politik. Misalnya Letjen (Purn. A.J. Mokoginta.
Kata tokoh LKB ini: "Saya masih ingin menyumbangkan apa yang ada
pada saya melalui partisipasi yang saya lakukan sekarang. Lewat
partai akan terikat formalitas. Mungkin kelompok kami bisa
mengisi apa yang tidak bisa diisi partai," ujarnya pada TEMPO.
Namun tidak ditutupnya pintu untuk suatu waktu kelak masuk
partai. "Insya Allah, setelah partai betul-betul menyalurkan
aspirasi rakyat," ucapnya. Ia menganggap selama ini parpol mau
pun Golkar masih selalu diatur dan diarahkan pemerintah. "Golkar
belum benar-benar membawakan aspirasi rakyat " komentarnya.
Isyarat yang sama dinyatakan juga oleh Letjen (Purn.) H.R.
Dharsono, bekas Panglima Siliwangi. "Kalau Golkar sudah
mendewasaka diri, barangkali bagi purnawirawan itulah
tempatnya," katanya. Namun, lanjutnya, "Saat ini sekarang
nampaknya orang lebih memilih partai ketimbang Golkar." Apakah
ia berniat masuk partai? "Pada saat ini di mana semua sudah
diatur dan diarahkan, itu tidak ada artinya. Saya belum melihat
manfaatnya," sahutnya. Ditegaskannya, dia belum berminat terjun
dalam politik praktis dalam Pemilu 1982. "Kan masih akan ada
Pemilu 1987 nanti. Ini ancar-ancar."
Menurut Dharsono, rencana Ali Sadikin terjun dalam politik harus
dilihat latar belakangnya. Yaitu berkisar dari suatu penglihatan
dan perasaan bahwa kehidupan politik di Indonesia ternyata tak
seperti yang dikehendaki oleh banyak pihak. "Saya yakin
pernyataan Bang Ali itu bukan karena pernyataan pak Domo bahwa
purnawirawan boleh aktif dalam parpol," ujarnya.
Apa akibat rencana Ali Sadikin ini pada Pepabri? Pepabri
dianggap sebagai satu-satunya wadah perjuangan purnawirawan
ABRI. "Buku Biru" yang memuat pokok-pokok kebijaksanaan
Departemen Hankam menyebutkan ABRI berkewajiban membina
organisasi Pepabri agar bisa menjadi organisasi kuat yang bisa
diandalkan.
Jumlah anggota Pepabri saat ini tercatat sekitar 3 50.000. Ketua
Umum PB Pepabri Widyapranata menjelaskan, hampir semua
purnawirawan, kecuali satu dua termasuk beberapa purnawirawan
perwira tinggi, menjadi anggota Pepabri. Menurutnya, jarang
sekali purnawirawan yang masuk parpol lalu menonjol sebagai
pimpinan. Bukan karena kurang berwibawa. "Tapi menjadi politikus
selain harus berbakat juga perlu waktu panjang untuk belajar,"
katanya. Karena itu banyak bekas militer yang tidak senang
menjadi politikus. Sebaliknya banyak politikus yang tidak
menyukai militer yang senang memberi komando pada siapa saja.
Tapi pada para purnawirawan yang tidak masuk Pepabri "Jelas kami
tak bersikap memusuhi mereka," ujar Widyapranata. Dia mengutip
pepatah Belanda gescheiden samengaan, terpisah jalannya tapi
sama tujuannya. Tujuan itu, kata Widyapranata pula, tak lain
dari masyarakat Pancasila yang adil dan makmur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini