Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Buah ranum penyair terompet buah ranum penyair trompet

Pertunjukan di balai sidang senayan, hannibal tampil sebagai penyair dan badut. juga meniup terompet menjalin improvisasi dengan ritme yang teratur.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA bukan nama yang menjulang tinggi dan sudah dikenal di sini. Tapi di panggung Balai Sidang Senayan, Jakarta, pekan lalu ia berhasil kasih unjuk: Hannibal Marvin Peterson sekaligus adalah atlet, juga badut, dan juga penyair. Selamanya dengan trompet. Di depan sekitar 2.000 penonton yang sebagian besar anak muda, Hannibal (ia lebih menyukai nama ini) memang bisa macam-macam ia adalah energi, yang meniup trompet tanpa putus selama beberapa menit. Ia menembakkan kunci tingginya begitu rupa hingga seperempat jam setelah pertunjukan kuping kita masih punya sisa denging. Ia menghentak-hentakkan lutut. Ia gayeng. Ia menjalin improvisasinya dengan suatu ritme yang hampir tak dikenal, tapi utuh dari dalam. Ia mengambil gong dan dipukul-pukulnya berkeliling sementara Diedre L. Murray pada cello dan William J Burton pada piano bersahut-sahutan. Ia turun ke kalangan penonton dan meminta mereka tiap kali menirukan lenguh dan jerit blues dari mulutnya. Ia mengkombinasikan (atau mempermainkan) sepotong Ellington, sepotong Amstrong, lalu Happy Birthday To You. Ia ketawa lebar, ia jongkok, ia meninggalkan panggung, ia mengeluarkan rayuan yang ia tahu sendiri tidak laku. Tapi seperti dikatakannya pula, grupnya tak cuma bisa humor. Pada saat ia berhenti memperlakukan penonton dengan sedikit main-main, (tapi lewat dia kita jadi tahu bahwa kita tak tahu pasti apakah jaz sesuatu yang serius atau main-main), Hannibal tampil sebagai penyair. St. Louis Bluesnya adalah sebuah melankoli yang seakan berbau belerang. Sebuah melankoli yang tergores-gores, parau oleh harapan, gementar oleh rasa kangen, dan bertahan pada gairah yang awet -- mencakar-cakar terus Matahari terbenam dan tak enak dilihat, di sebuah kota yang suram. Hannibal -- yang juga menulis puisi -- nampaknya lebih hadir sesuai dengan dirinya pada saat ia liris, bahkan sendu. Inilah kesunyian yang lain dari masa be-bop, desah yang lembut sekali dalam The Cream of the Crop. "Ini saya persembahkan untuk ibu saya," kata Hannibal sebelum dan sesudah Branice W. McKenzie menyanyikan lagu itu dengan suara redam. Agak rawan-rawan religius, kita seakan sekaligus mendengar trompet yang melepaskan diri dari petang, tapi bersatu dengan senja, sementara cello mengesankan sebuah gumam yang dimainkan untuk sebuah doa. "Don't be hopless in pain," Hannibal mengulang kata itu kemudian. Suasana lagunya memang seperti ladang yang jauh. Metafora Hannibal adalah metafora pertanian. Tak mengherankan. Ia dilahirkan di sebuah ladang anggur 65 km dari ibukota Texas, Austin. Sungai mengalir di tanah yang diolah kakek-neneknya. "Saya selalu mencoba menirukan suara binatang bila saya bermain . . . Kita dapat menemukan kombinasi dan pola warna paling gemilang pada hewan -- misalnya di punggung serangga -- dan begitulah halnya dengan musik serta suara." Kata-kata itu tentu tak selamanya harus diandalkan. Kombinasi-kombinasinya di Senayan kadang-kadang hanya bertelekan pada energi -- meskipun intensitas Burton dan Murray juga penggcbrak drum Allen S. Melson sepadan. Tapi Hannibal dan grup ini, walaupun keunggulan tekniknya mengesankan, tak cuma mempertaruhkan teknik. Ia tak cuma menghadirkan musik avantgardis yang ganjil. Ia hangat. Banyak nomor yang sesungguhnya bisa dibuang saja, tapi pada saat terbaik, seperti pada Soul Brother, segala menderu padu seperti air terjun yang kaya dan penuh vitalitas. Berdoa Marvin Peterson, yang kemudian diberi nama Hannibal oleh seorang penggemarnya, lahir 31 tahun yang lalu. Ia mahasiswa musik di North Texas State University. Tahun 1970 ia tiba di New York. Suatu saat di kota itu ia muncul dalam Jazz Fair -- di sekitar ulangtahun ke-200 kemerdekaan AS -- dan tiupannya, dalam tradisi John Coltraine, menarik perhatian orang. Tapi sebelumnya, di tahun 1974, ia sudah merupakan klimaks dari sebuah pertunjukan di Carnegie Hall. Diam-diam ia sudah pula mengongkosi rekamannya sendiri, Children of the Fire -- satu kombinasi perkusi, alat gesek, suara dan trompet untuk anak-anak Vietnam. Kumpulan puisinya hernama The Ripest of My Fruits. "luah paling ranumku, kekuatan dari suaraku, adalah untuk-Mu, Tuanku. Mereka menghormatiku karena rahmatku yang banyak, yang diletakkan dengan lembut pada jalanku yang panjang, yang keras dan menakjubkan." Itu adalah baris-baris sajaknya, Doa Pagi. Aneh juga pemusik yang dijuluki "Mohammad Ali"-nya peniup trompet ini menulis seperti itu, rapuh. Tapi mungkin itu menunjukkan juga satu segi musik Hannibal Marvin Peterson: kepekaan sebuah sembahyang, di antara saat-saat urakan. Kenal kepada yang kekal, gayeng pada kesementaraan. Ia sendiri berdoa untuk membuka tiap pertunjukan. "Untuk mengutarakan rasa terima kasih pada Tuhan, memohon supaya kami bisa main baik," katanya kepada TEMPO. Dan ia pun membakar dupa cina -- katanya untuk menambah konsentrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus