IA bukan nama yang menjulang tinggi dan sudah dikenal di sini.
Tapi di panggung Balai Sidang Senayan, Jakarta, pekan lalu ia
berhasil kasih unjuk: Hannibal Marvin Peterson sekaligus adalah
atlet, juga badut, dan juga penyair. Selamanya dengan trompet.
Di depan sekitar 2.000 penonton yang sebagian besar anak muda,
Hannibal (ia lebih menyukai nama ini) memang bisa macam-macam ia
adalah energi, yang meniup trompet tanpa putus selama beberapa
menit. Ia menembakkan kunci tingginya begitu rupa hingga
seperempat jam setelah pertunjukan kuping kita masih punya sisa
denging. Ia menghentak-hentakkan lutut. Ia gayeng. Ia menjalin
improvisasinya dengan suatu ritme yang hampir tak dikenal, tapi
utuh dari dalam.
Ia mengambil gong dan dipukul-pukulnya berkeliling sementara
Diedre L. Murray pada cello dan William J Burton pada piano
bersahut-sahutan. Ia turun ke kalangan penonton dan meminta
mereka tiap kali menirukan lenguh dan jerit blues dari mulutnya.
Ia mengkombinasikan (atau mempermainkan) sepotong Ellington,
sepotong Amstrong, lalu Happy Birthday To You.
Ia ketawa lebar, ia jongkok, ia meninggalkan panggung, ia
mengeluarkan rayuan yang ia tahu sendiri tidak laku.
Tapi seperti dikatakannya pula, grupnya tak cuma bisa humor.
Pada saat ia berhenti memperlakukan penonton dengan sedikit
main-main, (tapi lewat dia kita jadi tahu bahwa kita tak tahu
pasti apakah jaz sesuatu yang serius atau main-main), Hannibal
tampil sebagai penyair.
St. Louis Bluesnya adalah sebuah melankoli yang seakan berbau
belerang. Sebuah melankoli yang tergores-gores, parau oleh
harapan, gementar oleh rasa kangen, dan bertahan pada gairah
yang awet -- mencakar-cakar terus Matahari terbenam dan tak enak
dilihat, di sebuah kota yang suram.
Hannibal -- yang juga menulis puisi -- nampaknya lebih hadir
sesuai dengan dirinya pada saat ia liris, bahkan sendu. Inilah
kesunyian yang lain dari masa be-bop, desah yang lembut sekali
dalam The Cream of the Crop.
"Ini saya persembahkan untuk ibu saya," kata Hannibal sebelum
dan sesudah Branice W. McKenzie menyanyikan lagu itu dengan
suara redam. Agak rawan-rawan religius, kita seakan sekaligus
mendengar trompet yang melepaskan diri dari petang, tapi bersatu
dengan senja, sementara cello mengesankan sebuah gumam yang
dimainkan untuk sebuah doa. "Don't be hopless in pain," Hannibal
mengulang kata itu kemudian.
Suasana lagunya memang seperti ladang yang jauh. Metafora
Hannibal adalah metafora pertanian. Tak mengherankan. Ia
dilahirkan di sebuah ladang anggur 65 km dari ibukota Texas,
Austin. Sungai mengalir di tanah yang diolah kakek-neneknya.
"Saya selalu mencoba menirukan suara binatang bila saya bermain
. . . Kita dapat menemukan kombinasi dan pola warna paling
gemilang pada hewan -- misalnya di punggung serangga -- dan
begitulah halnya dengan musik serta suara."
Kata-kata itu tentu tak selamanya harus diandalkan.
Kombinasi-kombinasinya di Senayan kadang-kadang hanya bertelekan
pada energi -- meskipun intensitas Burton dan Murray juga
penggcbrak drum Allen S. Melson sepadan. Tapi Hannibal dan grup
ini, walaupun keunggulan tekniknya mengesankan, tak cuma
mempertaruhkan teknik. Ia tak cuma menghadirkan musik
avantgardis yang ganjil. Ia hangat. Banyak nomor yang
sesungguhnya bisa dibuang saja, tapi pada saat terbaik, seperti
pada Soul Brother, segala menderu padu seperti air terjun yang
kaya dan penuh vitalitas.
Berdoa
Marvin Peterson, yang kemudian diberi nama Hannibal oleh seorang
penggemarnya, lahir 31 tahun yang lalu. Ia mahasiswa musik di
North Texas State University. Tahun 1970 ia tiba di New York.
Suatu saat di kota itu ia muncul dalam Jazz Fair -- di sekitar
ulangtahun ke-200 kemerdekaan AS -- dan tiupannya, dalam tradisi
John Coltraine, menarik perhatian orang. Tapi sebelumnya, di
tahun 1974, ia sudah merupakan klimaks dari sebuah pertunjukan
di Carnegie Hall. Diam-diam ia sudah pula mengongkosi rekamannya
sendiri, Children of the Fire -- satu kombinasi perkusi, alat
gesek, suara dan trompet untuk anak-anak Vietnam.
Kumpulan puisinya hernama The Ripest of My Fruits. "luah paling
ranumku, kekuatan dari suaraku, adalah untuk-Mu, Tuanku. Mereka
menghormatiku karena rahmatku yang banyak, yang diletakkan
dengan lembut pada jalanku yang panjang, yang keras dan
menakjubkan." Itu adalah baris-baris sajaknya, Doa Pagi. Aneh
juga pemusik yang dijuluki "Mohammad Ali"-nya peniup trompet ini
menulis seperti itu, rapuh.
Tapi mungkin itu menunjukkan juga satu segi musik Hannibal
Marvin Peterson: kepekaan sebuah sembahyang, di antara saat-saat
urakan. Kenal kepada yang kekal, gayeng pada kesementaraan. Ia
sendiri berdoa untuk membuka tiap pertunjukan. "Untuk
mengutarakan rasa terima kasih pada Tuhan, memohon supaya kami
bisa main baik," katanya kepada TEMPO. Dan ia pun membakar dupa
cina -- katanya untuk menambah konsentrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini