7 MARET 1915 Jong-Java lahir. Empat belas tahun kemudian bubar,
dengan sengaja. Organisasi anak-anak daerah ini secara sukarela
melebur diri ke dalam gerakan Indonesia Muda, dan 27 Desember
1929 itu dicatat dengan gagah. "Jong-Java berpulang seorang
kesatria telah meninggal. Jong-Java telah mempersembahkan
korbannya yang maha-besar terhadap kepada tanah air kita."
Kata-kata ketua perkumpulan itu, Koentjoro Poerbopranoto,
memantulkan sedikit lidah api nasionalisme masa itu. Buku
Gedenkboek Jong-Java yang terbit di Jakarta April 1930 khas bagi
zamannya: kenangan tentang suatu masa silam yang indah dan
"innocent", dan pandangan ke masa depan yang semarak tapi
menantang. Masa silam diwakili oleh catatan kegiatan olahraga
dan kepanduan. Masa depan disertai sejumlah seruan ke arah
"politik".
Kongres mereka yang ke lima di Surakarta, tahun 1922, memang
melarang para anggota turut campur dalam praetiscbe politiek.
Tapi tujuh tahun kemudian pandangan nampaknya berubah.
M. Tabrani, yang menulis untuk Gedenkboek itu misalnya, adalah
pendukung keputusan Surakarta. Tapi di tahun 1930 itu ia
mengatakan "Celaka sebangsa, yang mempunyai putra dan putri
student, yang menjauhi praktische politiek! Lihatlah India!
Filipina! Tiong Kok! Egypte! Turki! Annam! Ya, saya berani
katakan dan nyatakan, bahwa entah di negeri merdeka, entah di
negeri yang sedang merebut kemerdekaannya, si student itu
senantiasa mengambil bagian besar dalam pergerakan, yang
dimaksudkan untuk meninggikan derajat bangsa dan nusa."
Tabrani, seperti banyak pemuda setengah abad kemudian, bertolak
dari keyakinan: mahasiswa mesti menjadi penggerak lokomotif
perjuangan.
***
SEORANG yang berbicara tentang penggundulan hutan pada akhirnya
akan berbicara tentang bagaimana mengontrol si penggundul hutan.
Dan pada saat ia berbicara tentang itu, ia mau tak mau harus
menyentuh soal hubungan kekuasaan -- tentang siapa yang
berkuasa, si pengontrol atau yang seharusnya dikontrol.
Ringkasnya, ia harus berbicara tentang politik.
Seorang yang berbicara tentang protes buruh pada akhirnya harus
berbicara tentang pengaturan hak dan kewajiban buruh serta
majikan. Dan berbicara tentang pengaturan, berarti pula
berbicara tentang siapa yang akan mengatur. Itu artinya ia harus
menyebut kekuatan-kekuatan di masyarakat yang bisa mengatur dan
yang tidak. Ia pun berbicara tentang politik.
Daftar itu bisa diperpanjang. Dari soal arsitektur kota sampai
dengan soal iklan shampoo, dari soal kakilima sampai dengan soal
pendidikan agama. Tidak berarti politik berada di segala tempat.
Yang tak terelakkan adalah kenyataan bahwa banyak masalah sosial
memang perlu dipecahkan melalui pengaruh dan kekuatan -- bukan
cuma analisa dalam tabung.
Namun menciptakan pengaruh dan kekuatan bukanlah yang paling
awal. Bukan pula yang paling akhir. 50 tahun yang lalu ketika
Tabrani berbicara tentang mahasiswa sebagai penggerak lokomotif
perjuangan, ia tak hendak membayangkan sebuah loko tanpa deretan
gerbong yang panjang, yang sekali lewat. Juga bukan kereta tanpa
stasiun, tanpa peta.
* * *
PADA mulanya adalah niat memperbaiki keadaan. Kemudian peta itu
sesuatu yang harus disusun rapi dan jelas, ditarik dari
pengalaman yang memadai, dilukis dalam ruang yang senyap. Dengan
kata lain, sebuah perjuangan politik memerlukan konsep, dan
sebuah konsep memerlukan benturan serius pemikiran -- sebelum
agitasi dan tepuk tangan.
Tepuk tangan memang menunjukkan besarnya pengaruh. Tapi pengaruh
sering menimbulkan sindrom superstar dan narscisme. Marscisme
itu pula yang menyebabkan kita merasa perlu berjuang untuk "yang
terpepet dan terpejet" tanpa berusaha berjuang bersama mereka.
Kita mengambil alih pentas, kita tak mengadakan pemerataan
kesadaran. Kita jadi koboi semacam Shane yang melawan bandit dan
dipasang besar dalam iklan lalu menghilang. Kita sebenarnya
ingin dipanggil kembali. Rakyat di luar biarlah hanya tetap
diam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini