Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tangan Merampas Jiwa Terempas

7 pelajar SMA 26 filial, Condet Jakarta mengeroyok Zainal Arifin, 28, sampai tewas. Pengeroyokkan terjadi gara-gara cekcok mulut lantaran rokok.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAI bunyi gong dalam sebuah lakon sedih, Zainal Arifin, 28 tahun, tewas di tangan sejumlah pelajar yang menggasaknya. Ia tak tertolong karena luka parah, termasuk akibat-tusukan di lambung kirinya--oleh pisau yang kemudian patah. Karyawan PT Sanoh Indonesia yang baru enam bulan menikah itu, tentu tak menyangka riwayatnya akan berakhir seperti itu. Di terik siang 1 Oktober tersebut ia baru saja mengantarkan barang perusahaannya suku cadang kulkas, ke Nasional Gobel di Jalan Gandaria, Jakarta Timur. Sebelum kembali ke kantornya di Pulogadung, ia mampir ke pompa bensin dekat terminal bis Cililitan. Arifin turun membuka tutup tangki, sementara Maman, 26 tahun, sopirnya .tp duduk di belakang setir. Ketika itu--menurut rekonstruksi yang dilakukan polisi, 14 Oktober--di depan mobil Arifin ada sebuah oplet yang sedang mengisi bensin pula. Penumpangnya antara lain 7 orang pelajar SMA 26 Filial, Condet, berseragam putih-putih. Anak-anak kelas 111 jurusan IPS itu baru pulang dari sekolah setelah paginya mengikuti upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Melihat Maman merokok, salah seorang dari mereka, Anton, tiba-tiba ngiler. Ia lalu turun dari oplet, diikuti Goby, Iwan dan Berthy, mendatanginya dan minta rokok. Tanpa berpelit-pelit Maman memberikannya. Tapi Anton malah merampas rokok itu berikut bungkusnya kemudian membagi-bagikannya kepada kawan-kawannya. Arifin, yang tak senang melihat cara itu langsung menghampiri Anton dan menegurnya. Anton rupanya tak suka. Mereka lantas cekcok. Baku hantam terjadi. Iwan, Goby dan Berthy segera ambil bagian. Sementara itu M. Sidik, yang sejak tadi tetap duduk di oplet, turun. Dikeroyok begitu tentu saja Arifin kewalahan. Apalagi karena Maman, si sopir, lari. Merasa kepepet, ia lantas lari ke ruang oli dan mengunci pintunya. Tapi kelima pelajar itu terus saja menguber. Anton menjebol pintu samping dan masuk. Terjadilah pergulatan satu lawan satu. Sesudah berhasil menjatuhkan Anton ke kamar mandi, Arifin lari ke luar. Tapi Sidik menghadangnya. Dengan pisau di tangan -- entah milik siapa sebenarnya, masih teka-teki Arifin menyerang Sidik. Sidik mengelak dan membalikkan pisau itu ke arah Arifin. Pisau menancap di lambung kiri. Ketika Sidik mencabutnya, pisau itu patah dua--separuh tertinggal di tubuh Arifin. Sidik tertegun. Kesempatan itu dimanfaatkan Arifin. Ia lari. Tapi Anton segera mengejarnya. Di pinggir jalan raya, Arifin kena tendangan Anton hingga tersungkur dan tak berkutik lagi. Sesudah menginjak-injaknya, anakanak berusia 18-an tahun itu pun ngacir dengan taksi -- meninggalkan sang korban. Mohammad Sidik, 17 tahun, yang mengaku sering berkelahi, begitu membaca berita di koran bahwa Arifin tewas di RS UKI Cawang, hanya dua jam setelah ia rubuh), tersentak kaget. Ia tak mengira. "Saya jadi terus gelisah dibayang-bayangi peristiwa itu," ujarnya. "Karena tak tahan lagi," lanjutnya, ia lantas menyerahkan diri, 5 Oktober. Menyusul kemudian keempat kawannya. Semuanya kini ditahan di Kores 705 Jakarta Timur. Dari ke-7 pelajar itu, Irwan dan Priyanto (yang tetap dalam oplet) dianggap tidak terlibat, karena iru tak ditahan. Ayah Sidik sendiri yang mengantarkannya ke polisi. "Dia yang minta, karena tak berani pergi sendiri," tutur ibunya, Ny. Mohani, 35 tahun. Kedua orangtua yang tinggal di daerah Kebon Baru, Tebet itu, bukan tak terguncang oleh pengakuan anaknya. Bahkan ayahnya, tukang pasang dan reparasi pompa air, saking terpukulnya hampir saja bunuh diri. "Mula-mula saya tak percaya . . .," ujar ibu yang sakit-sakitan itu, dengan air mata berlinang. "Tapi, ya, dia benar-benar telah menusuk orang sampai mati. Badan saya langsung lemas. Saya sedih sekali." Padahal, ibu enam anak (Sidik nomor 2) yang selama ini membantu mencari nafkah dengan menjahit pakaian para tetangga itu, mengenal Sidik sebagai anak yang taat sembahyang dan rajin puasa. "Dia juga sayang pada kakak dan adik-adiknya," katanya. Tapi Sidik pun dikenal sangat akrab dengan Anton, 18 tahun--yang baik oleh ibu Sidik maupun ibu Anton sendiri, dinilai sangat nakal. "Andil"-nya pun besar pada kematian Arifin itu. Keduanya sama-sama berasal dari SMA 26 Induk di Tebet--sejak kelas I. Sidik kemudian pindah ke SMA 26 Filial di Condet, dua bulan lalu. Sebab nilai rapornya ketika kenaikan kelas kemarin sangat paspasan--dan harus pindah. Sedang Anton baru pindah ke sana sebulan kemudian. Entah apa alasannya. Tapi menurut ibu Sidik, " karena Sidik pindah ke sana." Mereka rupanya sulit berpisah. Dan memang sering pergi berdua, sebagaimana dikatakan kawan-kawannya. Dan menurut Drs. Atiek Kosasih, Kepala Sekolah SMA 26 Induk, mereka memang sudah masuk black list. Mereka juga terlibat pemakaian obat bius dan alkohol. Tahun lalu, Sidik pernah tertabrak mobil karena ngebut dengan motor dalam keadaan mabuk. Para guru di sekolah itu sangat kewalahan menghadapi mereka--yang memang ditakuti kawan-kawannya. Karena itu, daripada terlalu lama mempengaruhi orang lain, atas desakan para guru, keduanya dikeluarkan. "Tapi karena tidak diterima di sekolah lain, akhirnya saya pindahkan ke Condet," katanya. Anton sendiri anak ke4 di antara 5 bersaudara. Orangtuanya bercerai 16 tahun lalu. Sejak itu ibunya, anggota Polwan berpangkat mayor bertitel sarjana hukum (tak mau disebutkan namanya), hidup menjanda. Ia (kini 48 tahun) menambah penghasilan dengan memberi les privat bahasa Inggris dan Belanda. Sedang bekas suaminya, seorang pelukis, baru saja meninggal di Garut. Anton sendiri, sebelum kasus Arifin itu, menghadiri upacara 7 hari kematiannya. "Saya sadar, saya kurang memberi perhatian kepada anak-anak saya," ujar sang ibu. "Tapi, apakah akan semakin baik kalau saya tidak bekerja?" lanjutnya sambil merenung. Ia memang mengaku sering meninggalkan anak-anaknya karena banyak memperoleh tugas ke luar daerah. Misalnya, ketika Anton masih berumur 3 tahun dan sedang sakit, ia terpaksa meninggalkannyakarena perintah: membasmi Gerwani di Jawa Tenah. Pertumbuhan anak itu pun mengalami banyak hambatan. "Sejak kecil dia menderita penyakit jantung yang membawa kelumpuhan pada tangannya," tutur sang ibu. Sehingga selama 10 tahun (dalam usia 5-15 tahun), Anton berada dalam pengawasan dokter dan psikiater. Selulus SMP, berangsur-angsur tangan Anton bisa digunakan. Lantas dia mulai nakal. "Seperti hendak balas dendam pada orang-orang yang pernah mengejeknya, " kata ibunya lagi. "Apalagi setelah di SMA--dia makin sering berkelahi." Dalam pada itu sang ibu makin jauh dari anaknya. Sebab, sejak tahun lalu Anton tinggal di rumah kawan akrabnya, di Tebet, tidak di Jalan Garuda lagi. Alasannya supaya lebih dekat ke sekolah (waktu itu masih di SMA 26 Induk). Juga karena Anton baru saja sembuh dari sakit lever. Nah, dari orangtua si kawanlah ibu Anton mendengar berita buruk tadi. Sedang Penny, istri Arifin yang tengah mengandung lima bulan, ketika "Iping" terbunuh, tengah bekerja sebagai penjahit di sebuah perusahaan pakaian jadi. Begitu mendengar malapetaka itu, "Dia menangis berkali-kali," tutur Ny. Siti Fatiah, 47 tahun, ibu kandung Arifin. Ibu enam anak (Arifin nomor 3, lulusan STM I Budi Utomo, 1969) itu, begitu dikabari tiga rekan sekerja anaknya, kontan berteriak tidak percaya. Toh anaknya memang benar tewas, dan kemudian dimakamkan di TPU Menteng Pulo. "Sebenarnya saya sadar, kita ini hidup di dunia hanya sebagai titipan Tuhan. Dan saya rela kalau Yang Kuasa memanggil anak saya, kapan saja," ujarnya. "Tapi kalau caranya seperti itu, disiksa dulu, saya sama sekali tidak ikhlas dunia-akhirat. Saya tidak rela," lanjutnya dengan suara gemetar. "Dan saya berani jamin, pisau itu bukan punya anak saya. Dia tidak pernah membawa senjata, dan memang saya larang." Ibu yang merasa teraniaya itu lantas mengatakan, dari perusahaan tempat kerja anaknya sejak dua tahun lalu itu, ia memperoleh santunan Rp 250 ribu, dan perusahaan itu pulalah yang mengurus pemakamannya. "Tapi dari keluarga anak-anak itu, jangankan santunan, datang pun tidak," katanya. "Tidak ada dari keluarga mereka yang datang untuk meminta maaf. Padahal anak mereka telah membunuh anak saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus