BAGAI bunyi gong dalam sebuah lakon sedih, Zainal Arifin, 28
tahun, tewas di tangan sejumlah pelajar yang menggasaknya. Ia
tak tertolong karena luka parah, termasuk akibat-tusukan di
lambung kirinya--oleh pisau yang kemudian patah.
Karyawan PT Sanoh Indonesia yang baru enam bulan menikah itu,
tentu tak menyangka riwayatnya akan berakhir seperti itu. Di
terik siang 1 Oktober tersebut ia baru saja mengantarkan barang
perusahaannya suku cadang kulkas, ke Nasional Gobel di Jalan
Gandaria, Jakarta Timur. Sebelum kembali ke kantornya di
Pulogadung, ia mampir ke pompa bensin dekat terminal bis
Cililitan.
Arifin turun membuka tutup tangki, sementara Maman, 26 tahun,
sopirnya .tp duduk di belakang setir. Ketika itu--menurut
rekonstruksi yang dilakukan polisi, 14 Oktober--di depan mobil
Arifin ada sebuah oplet yang sedang mengisi bensin pula.
Penumpangnya antara lain 7 orang pelajar SMA 26 Filial, Condet,
berseragam putih-putih. Anak-anak kelas 111 jurusan IPS itu baru
pulang dari sekolah setelah paginya mengikuti upacara peringatan
Hari Kesaktian Pancasila.
Melihat Maman merokok, salah seorang dari mereka, Anton,
tiba-tiba ngiler. Ia lalu turun dari oplet, diikuti Goby, Iwan
dan Berthy, mendatanginya dan minta rokok. Tanpa berpelit-pelit
Maman memberikannya. Tapi Anton malah merampas rokok itu berikut
bungkusnya kemudian membagi-bagikannya kepada kawan-kawannya.
Arifin, yang tak senang melihat cara itu langsung menghampiri
Anton dan menegurnya. Anton rupanya tak suka. Mereka lantas
cekcok. Baku hantam terjadi. Iwan, Goby dan Berthy segera ambil
bagian. Sementara itu M. Sidik, yang sejak tadi tetap duduk di
oplet, turun.
Dikeroyok begitu tentu saja Arifin kewalahan. Apalagi karena
Maman, si sopir, lari. Merasa kepepet, ia lantas lari ke ruang
oli dan mengunci pintunya. Tapi kelima pelajar itu terus saja
menguber. Anton menjebol pintu samping dan masuk. Terjadilah
pergulatan satu lawan satu.
Sesudah berhasil menjatuhkan Anton ke kamar mandi, Arifin lari
ke luar. Tapi Sidik menghadangnya. Dengan pisau di tangan --
entah milik siapa sebenarnya, masih teka-teki Arifin menyerang
Sidik. Sidik mengelak dan membalikkan pisau itu ke arah Arifin.
Pisau menancap di lambung kiri. Ketika Sidik mencabutnya, pisau
itu patah dua--separuh tertinggal di tubuh Arifin.
Sidik tertegun. Kesempatan itu dimanfaatkan Arifin. Ia lari.
Tapi Anton segera mengejarnya. Di pinggir jalan raya, Arifin
kena tendangan Anton hingga tersungkur dan tak berkutik lagi.
Sesudah menginjak-injaknya, anakanak berusia 18-an tahun itu pun
ngacir dengan taksi -- meninggalkan sang korban.
Mohammad Sidik, 17 tahun, yang mengaku sering berkelahi, begitu
membaca berita di koran bahwa Arifin tewas di RS UKI Cawang,
hanya dua jam setelah ia rubuh), tersentak kaget. Ia tak
mengira. "Saya jadi terus gelisah dibayang-bayangi peristiwa
itu," ujarnya. "Karena tak tahan lagi," lanjutnya, ia lantas
menyerahkan diri, 5 Oktober. Menyusul kemudian keempat kawannya.
Semuanya kini ditahan di Kores 705 Jakarta Timur. Dari ke-7
pelajar itu, Irwan dan Priyanto (yang tetap dalam oplet)
dianggap tidak terlibat, karena iru tak ditahan.
Ayah Sidik sendiri yang mengantarkannya ke polisi. "Dia yang
minta, karena tak berani pergi sendiri," tutur ibunya, Ny.
Mohani, 35 tahun. Kedua orangtua yang tinggal di daerah Kebon
Baru, Tebet itu, bukan tak terguncang oleh pengakuan anaknya.
Bahkan ayahnya, tukang pasang dan reparasi pompa air, saking
terpukulnya hampir saja bunuh diri.
"Mula-mula saya tak percaya . . .," ujar ibu yang sakit-sakitan
itu, dengan air mata berlinang. "Tapi, ya, dia benar-benar telah
menusuk orang sampai mati. Badan saya langsung lemas. Saya sedih
sekali."
Padahal, ibu enam anak (Sidik nomor 2) yang selama ini membantu
mencari nafkah dengan menjahit pakaian para tetangga itu,
mengenal Sidik sebagai anak yang taat sembahyang dan rajin
puasa. "Dia juga sayang pada kakak dan adik-adiknya," katanya.
Tapi Sidik pun dikenal sangat akrab dengan Anton, 18 tahun--yang
baik oleh ibu Sidik maupun ibu Anton sendiri, dinilai sangat
nakal. "Andil"-nya pun besar pada kematian Arifin itu.
Keduanya sama-sama berasal dari SMA 26 Induk di Tebet--sejak
kelas I. Sidik kemudian pindah ke SMA 26 Filial di Condet, dua
bulan lalu. Sebab nilai rapornya ketika kenaikan kelas
kemarin sangat paspasan--dan harus pindah.
Sedang Anton baru pindah ke sana sebulan kemudian. Entah apa
alasannya. Tapi menurut ibu Sidik, " karena Sidik pindah ke
sana." Mereka rupanya sulit berpisah. Dan memang sering pergi
berdua, sebagaimana dikatakan kawan-kawannya.
Dan menurut Drs. Atiek Kosasih, Kepala Sekolah SMA 26 Induk,
mereka memang sudah masuk black list. Mereka juga terlibat
pemakaian obat bius dan alkohol. Tahun lalu, Sidik pernah
tertabrak mobil karena ngebut dengan motor dalam keadaan mabuk.
Para guru di sekolah itu sangat kewalahan menghadapi
mereka--yang memang ditakuti kawan-kawannya. Karena itu,
daripada terlalu lama mempengaruhi orang lain, atas desakan para
guru, keduanya dikeluarkan. "Tapi karena tidak diterima di
sekolah lain, akhirnya saya pindahkan ke Condet," katanya.
Anton sendiri anak ke4 di antara 5 bersaudara. Orangtuanya
bercerai 16 tahun lalu. Sejak itu ibunya, anggota Polwan
berpangkat mayor bertitel sarjana hukum (tak mau disebutkan
namanya), hidup menjanda. Ia (kini 48 tahun) menambah
penghasilan dengan memberi les privat bahasa Inggris dan
Belanda. Sedang bekas suaminya, seorang pelukis, baru saja
meninggal di Garut. Anton sendiri, sebelum kasus Arifin itu,
menghadiri upacara 7 hari kematiannya.
"Saya sadar, saya kurang memberi perhatian kepada anak-anak
saya," ujar sang ibu. "Tapi, apakah akan semakin baik kalau saya
tidak bekerja?" lanjutnya sambil merenung. Ia memang mengaku
sering meninggalkan anak-anaknya karena banyak memperoleh tugas
ke luar daerah. Misalnya, ketika Anton masih berumur 3 tahun dan
sedang sakit, ia terpaksa meninggalkannyakarena perintah:
membasmi Gerwani di Jawa Tenah.
Pertumbuhan anak itu pun mengalami banyak hambatan. "Sejak kecil
dia menderita penyakit jantung yang membawa kelumpuhan pada
tangannya," tutur sang ibu. Sehingga selama 10 tahun (dalam usia
5-15 tahun), Anton berada dalam pengawasan dokter dan psikiater.
Selulus SMP, berangsur-angsur tangan Anton bisa digunakan.
Lantas dia mulai nakal. "Seperti hendak balas dendam pada
orang-orang yang pernah mengejeknya, " kata ibunya lagi.
"Apalagi setelah di SMA--dia makin sering berkelahi."
Dalam pada itu sang ibu makin jauh dari anaknya. Sebab, sejak
tahun lalu Anton tinggal di rumah kawan akrabnya, di Tebet,
tidak di Jalan Garuda lagi. Alasannya supaya lebih dekat ke
sekolah (waktu itu masih di SMA 26 Induk). Juga karena Anton
baru saja sembuh dari sakit lever. Nah, dari orangtua si
kawanlah ibu Anton mendengar berita buruk tadi.
Sedang Penny, istri Arifin yang tengah mengandung lima bulan,
ketika "Iping" terbunuh, tengah bekerja sebagai penjahit di
sebuah perusahaan pakaian jadi. Begitu mendengar malapetaka itu,
"Dia menangis berkali-kali," tutur Ny. Siti Fatiah, 47 tahun,
ibu kandung Arifin.
Ibu enam anak (Arifin nomor 3, lulusan STM I Budi Utomo, 1969)
itu, begitu dikabari tiga rekan sekerja anaknya, kontan
berteriak tidak percaya. Toh anaknya memang benar tewas, dan
kemudian dimakamkan di TPU Menteng Pulo. "Sebenarnya saya sadar,
kita ini hidup di dunia hanya sebagai titipan Tuhan. Dan saya
rela kalau Yang Kuasa memanggil anak saya, kapan saja," ujarnya.
"Tapi kalau caranya seperti itu, disiksa dulu, saya sama sekali
tidak ikhlas dunia-akhirat. Saya tidak rela," lanjutnya dengan
suara gemetar. "Dan saya berani jamin, pisau itu bukan punya
anak saya. Dia tidak pernah membawa senjata, dan memang saya
larang."
Ibu yang merasa teraniaya itu lantas mengatakan, dari perusahaan
tempat kerja anaknya sejak dua tahun lalu itu, ia memperoleh
santunan Rp 250 ribu, dan perusahaan itu pulalah yang mengurus
pemakamannya. "Tapi dari keluarga anak-anak itu, jangankan
santunan, datang pun tidak," katanya. "Tidak ada dari keluarga
mereka yang datang untuk meminta maaf. Padahal anak mereka telah
membunuh anak saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini