UNTUK kesekian kalinya TEMPO mengadakan angket. Memang tak
dimaksud untuk mengukuhkan suatu teori atau apa pun--dan hanya
disebarkan di Jakarta, di sekolah-sekolah yang siswanya pernah
(maupun tak pernah terlibat perkelahian massal. Meliputi 203
responden di sejumlah SMA, STM, SMEA dan SMP.
Tujuannya hanya untuk mencoba 'mendengar' pandangan dan sikap
mereka mengenai beberapa hal--kemudian mengungkapkannya sebagai
upaya mengenal mereka lebih dekat.
Berbagai berita perkelahian antarpelajar, yang disiarkan
berbagai media massa, rupanya termasuk berita yang paling banyak
dibaca oleh hampir semua responden. Sejumlah 90,6% mengaku
selalu mengikutinya.
Bahkan 80,3% responden menilai frekuensi perkelahian memang
meningkat dibanding tahun-tahun sebelum ini. Hanya 9,8% yang
menganggapnya sama saja dari tahun ke tahun. Yang menilainya
sebagai menurun, 3,9%. Sedang sisanya (6%)-menjawab tidak tahu.
Bahwa perkelahian kerap terjadi -bahkan sering dengan sebab yang
amat sepele--sudah bukan rahasia lagi. Dalam hal ini, yang
selamanya disalahkan terutama para guru dan orangtua. Tapi
betulkah guru sekarang sudah tak disgani murid? Sejumlah 52,2%
responden menjawab: guru yang disegani kurang dari 50%.
Responden lainnya (45,8%) menjawab sebaliknya: lebih dari 50%
guru di sekolah mereka segani.
Hasil berikut ini barangkali akan membuat para guru lebih
prihatin. Meski 63,9% responden menyatakan takut kepada guru
jika tak mengerjakan PR sebanyak 31,6% bilang tidak takut.
Sisanya (4,5%), yang menjawab "tidak tahu", boleh jadi sebentar
lagi pun bakal membangkang.
Lalu bagaimana wibawa orang tua? Ternyata hanya 25,1% yang
mengaku selalu patuh -- jika misalnya dilarang pergi ke rumah
teman. Sebanyak 63,8% mengatakan: kadang-kadang saja patuh.
Sedang sisanya (11%) mengaku sering tidak menurut.
Ketidakpatuhan seorang anak memang gejala negatif. Tapi belum
usah menunjuk kepada tidak harmonisnya sebuah keluarga--misalnya
oleh kemungkinan adanya "perbedaan nilai". Sedang si anak tidak
harus membenci orangtuanya. Untuk itu jarak antara anak dan
orangtua tentunya harus ditilik. Agak menggembirakan, bahwa
ketika para responden ditanya seringkah dimintai pendapat
orangtua mengenai masalah-masalah keluarga, 65,1% menjawab ya.
Sisanya (34,9%) bilang tidak.
Bahkan yang merasa hidup dalam lingkungan keluarga yang bahagia
tercatat 82,7%. Selebihnya (17,3%) mengaku tidak.
Kekecewaan di rumah memang sering disebut sebagai sumber
penyimpangan tingkah laku seorang anak. Tapi rasa frustrasi juga
bisa muncul akibat berbagai ketimpangan--atau "keanehan"-yang
tampak pada masyarakat sekitar. Sebanyak 62% responden misalnya,
menganggap: para pemegang kekuasaan, cenderung menggunakan
kekuasaannya (walaupun bertentangan dengan hukum) untuk mencapai
tujuan.
Sedang aparat keamanan, oleh 49,3% responden dianggap kurang
berwibawa.
Seiring dengan itu, 39,9% responden menyatakan bahwa sering
berlarut-larutnya perkelahian antarpelajar, disebabkan oleh
kurang setimpalnya sanksi yang diberikan. Sedang yang sudah
menganggap setimpal tercatat 23,1%. Lainnya (35%) tidak tahu.
Namun, menjawab pertanyaan apakah sebaiknya para pelaku
perkelahian itu dikeluarkan saja dari sekolah, 54,7% menyatakan
keberatan 30% setuju 14,3% tidak tahu.
Padahal, sebanyak 76,9% responden beranggapan bahwa perkelahian
itu me.rupakan pelanggaran hukum. Yang mengatakan tidak hanya
12,8%. Yang tidak tahu 10,3%.
Soalnya juga karena ternyata, responden yang percaya bahwa hukum
itu sudah benar-benar berlaku sama bagi setiap orang, hanya
50,2%. Sejumlah 43,3% menganggapnya tidak.
Dan, hanya 40,4% yang merasa akan terjamin keamanannya kalau dia
mematuhi hukum . . .
KECEMASAN terhadap ancaman dari luar--dalam hal keselamatan
fisik--dalam pada itu cukup menonjol. Sejumlah 41,9% responden
mengaku: sekarang ini sering khawatir bila pergi ke luar seorang
diri. Ini sehubungan dengan kasus-kasus perkelahian.
Bisa dimaklumi jika kondisi itu lalu menyebabkan sejumlah 27,9%
responden mengaku pernah --dan dalam keadaan lebih khusus lagi
menganggap perlu -- membawa senjata. Sepintas lalu 27,9% memang
jumlah yang kecil. Tapi bahwa lebih seperempat responden
ternyata (pernah) bersenjata, cukup mengejutkan.
Dan di antara mereka yang mengaku pernah membawa senjata itu,
5,9%-nya menyebutkan pernah membawanya ke sekolah. 11,9%
membawanya hanya kalau sedang membawa barang berharga. Sisanya
(10,7%), membawanya kalau bepergian seorang diri. Selebihnya,
71,4%, mengaku membawanya kalau hendak pergi ke daerah tertentu
yang terkenal "rawan".
Di samping itu, ternyata, hampir separuh dari responden
cenderung tidak merasa akan turun gengsi atau malu jika
melakukan pengeroyokan. Misalnya, 48,5% menganggap tidak malu
mengeroyok tukang copet. Padahal, sebagian besar dari mereka
(73,4%) menganggap itu merupakan pelanggaran terhadap
hukum--(21,7% menyatakan tidaki 3,4% bilang tidak tahu).
Ada 22,7% responden yang rnenganggap pantas pula jika merek?
melakukan pengeroyokan terhadap cowok yang mengganggu teman
putrinya, 36,9% responden malah merasa tak akan malu
melakukannya. Padahal mereka juga (59,1%) tahu, hal itu
merupakan pelanggaran hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini