Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terkubur di Ibu Kota Khalifah

Bekas wilayah yang dikuasai ISIS porak-poranda. Kombatan yang tersisa masih menyerang sewaktu-waktu.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Stadion Rasheed di Raqqah, Suriah, 20 Mei 2019./ TEMPO/ Hussein Abri Dongoran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINDING Stadion Rasheed di Kota Raqqah, Suriah, yang dulu menjulang, kini rompal di sana-sini. Besi-besi beton terlihat telanjang. Di sela-sela reruntuhan, semak belukar berlambak. Saat Tempo mengunjungi stadion ini pada Senin, 20 Mei lalu, masih terlihat bekas-bekas hantaman peluru dan mortir berupa lubang menganga di tembok dan lantainya. “Ini dulu salah satu stadion kebanggaan kami,” kata seorang penduduk Raqqah bernama Yusuf.

Dari tempat pertandingan sepak bola yang megah, Stadion Rasheed berubah menjadi arena pertempuran sejak perang melanda Suriah pada 2011. Saat itu, banyak penduduk memberontak terhadap kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak pun menguasai provinsi ini. Tiga tahun kemudian, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyerbu Raqqah dan menjadikannya ibu kota.

Sejak itu, Raqqah kian porak-poranda. Serdadu ISIS memaksa warga mendukung mereka. Tak ada pilihan. Menolak berarti mati. “ISIS akan menghancurkan rumah penduduk yang menolak mendukung mereka,” tutur Abu Ahmad, 77 tahun, warga Distrik Martir, Raqqah.

Stadion Rasheed pun berubah menjadi kuil penyiksaan ISIS. Menurut Yusuf, berbagai ruangan yang ada di situ menjadi penjara darurat untuk penduduk dan milisi yang menentang ISIS. Di tempat itu pula personel kelompok teror tersebut menyiksa dan mengeksekusi mati tahanan. “Banyak yang masuk ke sana, tapi sedikit yang keluar,” ujar Yusuf. Setelah ISIS terusir dari Raqqah pada 2017, di stadion itu ditemukan ratusan jasad yang terkubur.

Kini, suasana stadion itu dan gedung-gedung di sekitarnya seperti kuburan yang tak terurus. Jarang sekali orang lalu-lalang. Sebagian besar beton penopangnya rata dengan tanah. Seperti stadion itu, hampir semua bangunan di Kota Raqqah tak lagi utuh. Di masjid-masjid yang dilintasi Tempo, hampir semua menara rebah dan kubahnya berlubang.

Pertengahan 2017, Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sayap militer Otoritas Kurdistan di Suriah yang dikenal sebagai Rojava, memulai operasi pembebasan Raqqah. Pertempuran terjadi selama lima bulan, hingga akhirnya Raqqah lepas dari cengkeraman ISIS pada Oktober 2017. Akibatnya, kota itu boyak.

Sisa-sisa kendaraan tempur masih bisa dilihat di berbagai penjuru kota. Jaringan listrik dan air pun tiada. “Lebih dari separuh infrastruktur di Raqqah hancur,” kata juru bicara SDF, Mustafa Bali. Kini, SDF memegang kendali penuh Raqqah dan kawasan lain di timur laut Suriah.

Berdiri sekitar 200 tahun sebelum Masehi, Raqqah tergolong sebagai kota kuno. Provinsi itu pernah menjadi ibu kota Kekhalifahan Al-Abbasiyyah di bawah kepemimpinan Harun al-Rasyid selama 13 tahun pada abad kedelapan. Al-Abbasiyyah adalah kekhalifahan ketiga yang melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad.

Perang Suriah membuat warisan bangunan kuno tak terlihat lagi di Raqqah. Kawasan Kota Tua Raqqah terlihat luluh-lantak. Hampir semua bangunan di kawasan itu hancur. Rumah milik Faisal Darwish di kawasan Al-Badu, yang masuk wilayah Kota Tua, salah satunya. Faisal meninggalkan rumah dua lantai itu pada 2014 dan mengungsi ke Kobane bersama keluarganya. Kembali ke Raqqah pada September tahun lalu, ayah empat anak itu menemukan rumahnya hanya bersisa puing-puing.

Saat Tempo bertemu dengan Faisal, di depan rumahnya lalu-lalang sebuah buldoser. Laki-laki 42 tahun itu menyewa buldoser untuk menyingkirkan puing-puing rumahnya. “Saya harus membayar US$ 100 per hari,” katanya. Dengan minimnya bahan bangunan, Faisal memperkirakan biaya untuk mendirikan kembali rumahnya sekitar 2 juta pound Suriah, setara dengan US$ 4.000 atau tak sampai Rp 60 juta. Tapi, bagi pengusaha pemo-tongan kayu yang bangkrut karena perang tersebut, biaya itu sangat mahal. “Saya tak punya uang karena tak ada pekerjaan,” ujarnya.

Faikh Osmad, 70 tahun, juga mencoba membangun rumahnya yang runtuh. Tak punya duit, dia mengungsi ke Tel Abyad, sekitar 100 kilometer dari Raqqah, pada 2015 hanya membawa pakaian di badan dan sedikit uang. Setiap hari dia berke-liling mencari batu bata dari rumah lain yang juga hancur. Batu bata berukuran seperti batako di Indonesia diangkutnya dengan gerobak. Cara ini bukan tanpa risiko. ISIS menanam improvised explosive device atau IED yang sulit dideteksi keberadaannya. Salah kaki menjejak, bom tanam itu akan meledak.

Agar dapur tetap mengepul, Faikh bersama putranya berjualan sayuran, makanan kecil, dan bensin. Sayuran itu hasil menanam di lokasi sekitar empat kilometer dari rumahnya. Saat berada di ladang pun, Faikh tetap harus berhati-hati melangkah. Rumah Faikh kini berdiri ala kadarnya: tanpa ubin, beratap seng dan terpal, serta selalu bocor saat hujan turun. “Meski tidak seperti dulu, rumah sudah bisa ditempati,” ujar kakek tiga cucu ini.

Faisal Darwish (kanan) dan anaknya di Raqqah, Suriah, 20 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Kehancuran juga terjadi di Kota Fallujah, Irak, yang dikuasai ISIS selama dua setengah tahun sejak 2014. Fallujah hanya berjarak 65 kilometer dari Bagdad, ibu kota Irak. Selama 12 hari berkeliling Suriah dan Irak, Tempo menyaksikan kondisi di Fallujah mirip dengan Raqqah. Meski Fallujah kembali dikuasai tentara pemerintah sejak 2016, masih banyak infrastruktur dan bangunan yang belum dibangun kembali. Salah satunya jalan layang di pusat kota yang hanya bisa dilalui satu jalur karena jalur sebelahnya runtuh.

Di sejumlah sudut kota, tentara Irak masih berjaga, lengkap dengan senjata laras panjang. Mobil-mobil bak terbuka yang dilengkapi senjata berat juga kerap berpatroli. Di sejumlah titik dibangun pos tentara. Kadang tentara memeriksa penumpang dan isi mobil. Tentara terutama menjaga ketat perbatasan antarkota.

Walau penjagaan ketat, penduduk tak keberatan dengan pengamanan itu. Mofak Hamid, 50 tahun, warga Distrik Andalus, Fallujah, mengatakan penjagaan diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan kembalinya ISIS. “Kami tidak mau daerah ini diambil lagi oleh ISIS,” ujarnya. Menurut Mofak, selama penjajahan ISIS, hanya ada ketakutan dan kehancuran. ISIS juga menguasai distribusi barang. Mofak mencontohkan, anggota ISIS menjual sebungkus rokok hingga US$ 100. Padahal, sebelumnya, harga sekotak lintingan tembakau hanya US$ 15. “Anggota ISIS pun sewenang-wenang membunuh orang yang tidak mereka sukai.”

Kenyataannya, setelah ISIS terusir dari Irak dan Suriah dalam perang penghabisan di Desa Baghouz di Dayr az-Zawr, Suriah, sejumlah petempur ISIS masih belum menyerah. Selama Tempo berada di Suriah dan Irak, setidaknya terjadi lima ledakan bom bunuh diri di Raqqah dan Dayr az-Zawr. “Masih ada sel-sel tidur ISIS yang belum tertumpas,” kata Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah, Abdulkarim Omar. “Kampanye melawan ISIS akan memakan waktu lama.”

HUSSEIN ABRI DONGORAN (RAQQAH, DAYR AZ-ZAWR, FALLUJAH)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus