Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh helikopter itu sudah dua pekan diparkir di Pangkalan Udara Talang Betutu, Palembang. Mereka tak lagi menguras air dari sungai, menerbangkannya ke daratan, lalu mengguyurkannya ke api yang membakar hutan di Sumatera Selatan.
Heli-heli itu disewa oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi—selanjutnya sebut saja Badan Koordinasi—dari PT AIR Transport Services. Beroperasi sejak 22 Oktober, 10 heli BO 105M itu bertugas untuk memadamkan sumber asap yang menggelapkan sebagian Sumatera.
Menurut Iwan Hardja, Presiden Direktur AIR Transport Services, 10 heli itu adalah bagian dari 12 heli yang ia beli dari Vebeg, perusahaan pelelangan barang-barang bekas milik pemerintah Jerman. ”Ini heli bekas tentara yang mereka anggap sudah tak layak lagi,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Total nilai belanjanya US$ 2,5 juta, atau sekitar Rp 22,5 miliar. Membawa bendera PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, pembelian heli ini didanai konsorsium Urban Sky Corporation yang bermarkas di British Virgin Island.
Meski membeli dengan bendera Bukaka, menurut Iwan, perusahaan itu tidak ikut campur. ”Saya memang hanya pinjam nama, karena mereka sudah punya website. Jadi dari Jerman bisa langsung dibuka,” ia menjelaskan.
Heli-heli itu rencananya dibeli untuk Badan Koordinasi Nasional. Belakangan, ternyata rencana ini tak berjalan mulus. Pesawat berbaling-baling itu bahkan tertahan di area Garuda Maintenance Facility, Cengkareng, Banten, tempat mereka dirakit dan dipermak setelah dikapalkan dari Jerman, akhir tahun lalu. Itu karena pajak impor untuk 12 heli itu belum dibayar.
Iwan memutuskan heli itu dikelola oleh PT AIR Transport Services, perusahaan yang ia dirikan awal tahun ini bersama Acmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla, dan tiga orang lainnya. ”Sejak awal saya sudah perkirakan Badan Koordinasi susah membeli heli. Jadi, perusahaan ini saya siapkan sebagai sekoci, semacam rencana B,” tuturnya.
Iwan merancang, kelak AIR Transport akan menyewakan helinya ke instansi-instansi pemerintah, misalnya Departemen Kehutanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, instansi pemerintah tak harus memiliki helikopter. ”Biaya pemeliharaannya mahal, jadi cukup menyewa dari swasta,” ia menjelaskan.
Pria 55 tahun itu juga berharap pemerintah melibatkan swasta dalam menjaga pantai. Caranya, antara lain dengan menyewa helikopter dari perusahaan nonpemerintah. Jika gagasan ini dilaksanakan, AIR Transport berharap bisa menjadi penyedia helikopter. Untuk itu, sembilan helikopter lainnya akan segera didatangkan dari Jerman.
Pelanggan pertama yang menyewa helikopter dari AIR Transport tak jauh-jauh: Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Heli-heli itu dipakai buat memadamkan asap di Sumatera yang telah membuat gerah negeri tetangga. Karena disewa Badan Koordinasi, heli itu bisa dikeluarkan dari Garuda Maintenance Facility dan segera terbang menuju Palembang, Sumatera Selatan.
Syamsul Ma’arif, Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi, menyatakan lembaganya menyewa heli dari AIR Transport karena kesulitan mencari perusahaan lain. ”Kami sudah menghubungi perusahaan dari Malaysia dan Singapura, tetapi mereka mundur-mundur terus,” kata mantan Asisten Teritorial Tentara Nasional Indonesia yang memimpin Badan Koordinasi sejak 10 Oktober lalu itu.
Heli untuk memadamkan asap memang memiliki spesifikasi khusus, termasuk harus dilengkapi keranjang air. AIR Transport membeli wadah air berkapasitas 750 liter ini dari Brasil, dengan harga Rp 1,5 miliar per unit. Menurut Iwan Hardja, tarif sewa satu heli yang harus dibayar Badan Koordinasi adalah US$ 1.500 (Rp 13,5 juta) per jam.
Surahman, penanggung jawab operasional helikopter di Palembang, kepada Tempo menyebutkan, sejak didatangkan 22 Oktober lalu, heli-heli itu sudah beroperasi 300 jam lebih. Mereka banyak beroperasi di Ogan Komering Ilir, wilayah yang paling banyak memiliki titik api di Sumatera Selatan.
Sayang sekali, sejak dua pekan lalu heli-heli itu tak lagi bisa terbang. Padahal, asap masih mengepul dari banyak titik di Sumatera Selatan. Menurut Iwan Hardja, aparat Bea dan Cukai menahan capung besi itu di Pangkalan Udara Talang Betutu.
Syamsul Ma’arif menjelaskan bahwa lembaganya kini menunggu masalah itu diselesaikan. Ia menegaskan, heli-heli itu masih dibutuhkan untuk memadamkan titik api di Sumatera Selatan. Ia bahkan berencana akan membawa sebagian dari pesawat-pesawat itu ke Kalimantan Selatan, wilayah yang juga menjadi sumber asap.
Iwan Hardja mengaku sedang mengurus berbagai keperluan administrasi untuk memuluskan operasional helikopternya. Tentu saja, agar 10 heli itu tak teronggok di Talang Betutu.
Budi Setyarso, Arif Ardiansyah (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo