Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SABAN tahun Turiyati mudik ke kampung halamannya di Banjarnegara, Jawa Tengah. Setiap mudik, tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong itu menumpang pesawat maskapai penerbangan asing. Namun, libur Lebaran tahun ini ia tertarik mencoba pengalaman baru. Setelah tujuh tahun bekerja di bekas koloni Inggris itu, untuk pertama kalinya Turyati mudik dengan pesawat Garuda Indonesia—milik bangsa sendiri.
Pengalaman itu justru membuat Turiyati minta ampun. Ketika akan balik ke Hong Kong, dua pekan lalu, pesawat yang ia tumpangi dari Bandara Adisucipto, Yogyakarta, terlambat satu jam. Akibatnya, ia ketinggalan pesawat yang seharusnya menerbangkannya menuju Hong Kong dari Jakarta. Ia baru bisa terbang esoknya. ”Untung saya tidak dipecat majikan karena telat,” kata perempuan 36 tahun itu lewat sambungan telepon internasional.
Sejak bekerja di Hong Kong, Turiyati sudah terbiasa menumpang pesawat maskapai asing seperti Cathay Pacific Airlines, Singapore Airlines, atau China Airlines. Ia rela merogoh dompet lebih dalam untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Nahas menimpa ketika tiket maskapai asing ludes terjual. Ia terpaksa memilih Garuda.
Sekretaris Jenderal Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (Kotkiho), Dani Handayani, mengatakan, sebetulnya sebagian besar TKI senang menumpang Garuda. Harga tiket maskapai Indonesia satu-satunya di Hong Kong ini lebih murah dibanding maskapai asing. Tapi, aneka kekecewaan jadi kabar tak sedap yang merembes cepat ke kuping para TKI. ”Hal ini membuat mereka memilih penerbangan asing,” katanya.
Tiga tahun lalu, Kotkiho sudah berupaya menyampaikan keluhan kepada pengelola Garuda di Hong Kong. Tapi upaya mereka tak segera mendapat respons. Sindiran miring terhadap Garuda lantas kerap mencuat dalam pertemuan Kotkiho setiap akhir pekan di Victorian Park, Hong Kong. Ambil contoh, kata Dani, soal layanan makan dan minum. Ada yang merasa TKI dianaktirikan, karena penumpang lain didahulukan. ”Ada yang minta air jeruk, malah diberi air putih,” katanya.
Masalah lain, menurut Dani, tempat transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di tempat transit Terminal III ini banyak pungutan liar yang dilakukan petugas bandara. Para tenaga kerja wanita asal Jawa Timur, yang jumlahnya hampir 90 orang—dari 110 tenaga kerja wanita di Hong Kong—kemudian mendesak Garuda membuka trayek langsung ke Surabaya.
Beralihnya para TKI ke maskapai asing menjadi semacam aksi ”boikot” yang ampuh. Menurut Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, aksi ini menyebabkan jumlah penumpang Garuda terjun tajam. Lembaga swadaya buruh migran ini memperkirakan, seharusnya 70 persen penumpang Garuda per hari bisa didominasi TKI. ”Ini ancaman buat Garuda,” katanya. ”Apalagi mobilitas TKI di Hong Kong tinggi.”
Sebetulnya, suhu panas hubungan sempat mendingin pada 21 Mei lalu. General Manager PT Garuda Indonesia untuk Hong Kong-Taiwan, Dicky Dharjanto, bertemu dengan perwakilan Kotkiho. Perwakilan organisasi ini memaparkan masalah pelayanan Garuda. ”Mereka berjanji memperbaiki,” kata Sumiyati, penasihat Kotkiho.
Kepada Tempo, Dicky membenarkan adanya pertemuan itu. Garuda sebetulnya sudah mulai memperbaiki hubungan dengan TKI sejak Juni tahun lalu. ”Masalah utama TKI yang harus dibenahi sebenarnya di Terminal III,” katanya.
Menurut Dicky, Garuda mulai ber-usaha membebaskan TKI dari Terminal III. Tiket bagi TKI di kota-kota di Jawa Tengah atau Jawa Timur bisa dipesan langsung dari Hong Kong. Bagi yang transit di Cengkareng dan melanjutkan penerbangan esoknya, Garuda memberi fasilitas menginap di sebuah hotel di bandara. Biayanya sudah masuk harga tiket. ”Semua diurusi kru Garuda supaya tidak bersentuhan dengan Terminal III,” katanya.
Mengenai masalah TKI yang dianaktirikan, ia tak mengelak. Karena itu, katanya, Garuda terus mengupayakan perbaikan. Ahad pekan ini, Garuda merencanakan pengenalan Terminal II, terminal baru TKI penumpang Garuda. Bagaimana dengan delay yang dialami Turiyati? ”Kalau memuaskan semua orang, tidak bisa, dong.”
Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo