Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Usaha duta kedungombo

Utusan kedungombo mencul kembali di jakarta untuk memperoleh penyesuaian harga ganti rugi tanah, karena nilainya ditetapkan sepihak. pejabat yang me- reka datangi tidak bisa menjanjikan apa-apa.

20 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utusan Kedungombo kembali muncul di Jakarta. Mumpung waduk belum diresmikan, mereka ngotot mendapatkan ganti rugi yang pantas. "PERMAINAN" orang-orang Kedungombo makin canggih. Mereka tidak lagi hanya mendatangi DPR-RI atau Depdagri untuk mengadukan nasib. Kini mereka juga mengincar lembaga internasional. Kantor perwakilan Bank Dunia di Kuningan, Jakarta, mereka datangi, Senin pekan lalu. "Kami ingin soal Kedungombo terus dibicarakan, karena memang belum selesai," kata Rebo, seorang warga Kedungombo. Rebo datang ke Jakarta bersama 10 orang kawan senasibnya, diantar oleh 10 mahasiswa yang mewakili Komite Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo (KSPKO). Mereka mengaku mewakili ratusan kawannya yang kini bermukim di desa-desa sekitar waduk, Kecamatan Miri dan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Bagi mereka, uang ganti rugi yang telah diterimanya belum sah, karena nilainya ditetapkan sepihak. "Kami tidak diajak berembuk," tutur Rebo. Mereka menerima ganti, antara lain Rp 380/m2 untuk kebun, Rp 730 per m2 untuk pekarangan, dan Rp 7.380/m2 untuk bangunan permanen. Maka, orang semacam Marsudi merasa jadi lebih miskin gara-gara waduk itu. Rumah dan pekarangannya (sekitar 800 m2) tenggelam, dan ia mengaku hanya menerima ganti rugi Rp 1.064.000. Lalu, dia membeli pekarangan seluas hampir 400 m2 di desa tetangga yang bebas genangan. Tapi harganya Rp 2 juta. "Terpaksa nombok," ujarnya. Maka, mumpung waduk belum diresmikan, Marsudi kembali mengadu ke Jakarta dengan harapan dapat memperoleh penyesuaian harga. Ketika mengunjungi kantor perwakilan Bank Dunia, Rebo dkk. didampingi oleh Indro Tjahjono, bekas aktivis ITB yang kini memimpin lembaga swadaya masyarakat (LSM) Skephi. Bagi Indro, Bank Dunia memang layak dijadikan sasaran pengaduan. "Karena dia ikut mendanai proyek itu. Dan baik buruknya proyek itu, Bank Dunia ikut dinilai," kata Indro. Namun, Rebo atau Marsudi menolak jika dikatakan kedatangannya di Jakarta itu atas sponsor LSM-LSM. "Kami iuran. Pokoknya, biaya ditanggung penduduk sendiri," kata Marsudi. Bahkan untuk memperjuangkan nasibnya, bekas penduduk Kedungombo hilir ini membentuk wadah yang dinamai Basis Ekonomi. Entah siapa yang memberi nama keren itu. Di kantor Bank Dunia, orang-orang Kedungombo itu ditemui oleh salah satu chief-nya. "Mereka berjanji akan mengevaluasi kembali proyek Kedungombo," kata Indro Tjahjono, menceritakan pertemuannya. Namun, target Indro bukanlah evaluasi. "Kami ingin Bank Dunia mempengaruhi Pemerintah, agar kasus Kedungombo ini diselesaikan secara adil," katanya. Oleh petugas Bank Dunia, orang-orang Kedungombo itu diminta membuat surat resmi. Isinya permohonan bantuan dan permintaan peninjauan soal uang ganti rugi. Namun, tak banyak janji yang diberikan Bank Dunia. "Mereka bilang tak punya wewenang untuk turun tangan. Tapi mereka akan membicarakan dengan pemerintah," kata Marsudi. Usai mengunjungi kantor perwakilan Bank Dunia, Rebo dkk. bergerak ke Kantor BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), tempat bercokolnya pimpinan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Sayang, Ir. Wardiman, sebagai sekretaris ICMI, sedang berada di Australia. Orang-orang Kedungombo itu ke BPPT karena mengetahui bahwa ICMI telah membentuk satuan tugas yang diketuai Soetjipto Wirosardjono, yang Wakil Ketua Biro Pusat Statistik. Di BPPT mereka ditemui Dr. Marwah Daud, seorang pengurus ICMI. Seorang staf BPPT segera mengontak Wardiman lewat telepon. "Mereka harus diterima sebagaimana layaknya tamu," kata Wardiman lewat telepon sambungan jarak jauh. Namun, ketika orang-orang Kedungombo pamit, Marwah mengantar mereka menuju bis BPPT. Dengan bis itu mereka diantar ke wisma PDHI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rupanya, pengurus ICMI telah memesan tempat menginap bagi mereka. "Pengembaraan" kesebelas penduduk Kedungombo itu tak hanya sampai di situ. Esok harinya mereka ke kantor Depdagri di Jalan Merdeka Utara. Mereka ingin menemui Menteri Rudini. Lama ditunggu, Rudini tak muncul. Rupanya, dia mendelegasikan urusan itu kepada Dirjen Sospol Harisoegiman. Sayang, Harisoegiman juga banyak urusan. Maka, dia melimpahkannya kepada Soetoto, Direktur Pengamanan. "Duta" Kedungombo itu kecewa karena Rudini tak bisa menemui. Soetoto, dianggap tak bisa memberikan jaminan apa-apa. Namun, kekecewaan mereka agak terobati, ketika mengetahui dicarikan karcis kereta api untuk pulang. Delapan orang utusan bisa pulang sore harinya. Sementara rombongan Kedungombo itu berada di Depdagri, dua mahasiswa KSPKO mengontak Gedung DPR RI Senayan. Mereka ingin menemui Wakil Ketua DPR RI dari F-ABRI, Saiful Sulun. Oleh Saiful, mereka dijanjikan akan diterima esok harinya pukul 10. Maka, pagi-pagi, tiga orang Kedungombo yang masih ada di Jakarta bergerak ke Senayan, masih didampingi aktivis Skephi dan KSPKO. Namun, setelah menunggu lima jam, belum juga dipanggil Saiful Sulun. Maka J. Naro bekas ketua PPP yang juga menjabat Wakil Ketua DPR, jadi sasaran. Naro menolak. "Yang ingin kalian temui kan Pak Saiful. Berjuang, dong. Kalian tunggu di depan pintunya," kata Naro sambil tertawa. Maka, Naro pun dibujuk agar menelepon Saiful Sulun. Dia tak bisa lagi mengelak. Maka, lewat telepon, Naro membujuk Saiful agar menemui utusan dari Kedungombo. Mereka pun bertemu dengan Saiful Sulun. Tapi setelah tanya jawab sedikit, Saiful pun berujar, "Kami bukan eksekutif. Kami hanya bisa menampung." Toh Saiful menjanjikan akan membicarakannya dengan Menteri Dalam Negeri. "Sudahlah, sebaiknya kalian segera kembali ke Sragen, daripada lama-lama di sini, kalian tak bisa Lebaran. Saya tak bisa menjanjikan apa-apa," katanya. Maka, penduduk Kedungombo itu pulang dengan perasaan kecewa. Putut Trihusodo dan Ardian T. Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus