Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelenggarakan debat ketiga pemilihan gubernur Jawa Timur 2024 dengan tema pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) JawaTimur menilai debat tersebut tak berperspektif ekologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Walhi Jawa Timur Wahyu Eka Setiawan mengatakan, tema debat tentang lingkungan ini terkesan dipaksakan. Sebab, tidak ada satu pun poin yang berbicara soal masalah lingkungan yang nyata di Jawa Timur. Wahyu mencontohkan kerusakan hutan, banjir, tata ruang, tambang, dan deforestasi. "Itu semua tidak ada dalam poin debat. Jadi tidak ada perspektif ekologi,” kata Wahyu kepada Tempo pada Selasa, 19 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wahyu juga menyoroti pernyataan calon gubernur nomor urut 1, Luluk Nur Hamidah, yang berjanji memoratorium Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL). Wahyu pesimistis itu akan terwujud. Dia juga menilai itu hanya janji semu. “Karena SWL ini PSN yang muaranya di nasional dan disokong bisnis besar,” ujar dia. Menurut Wahyu kasus SWL mirip dengan tambang emas di Trenggalek yang tetap berjalan di masa kepemimpinan Khofifah-Emil. Padahal, rakyat telah menolaknya.
KPU Jawa Timur menetapkan tiga pasangan calon gubernur. Mereka adalah petahana Khofifah Indar Parwansa - Emil Elestianto Dardak; Pasangan calon Tri Rismaharini - Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans); dan pasangan calon Luluk Nur Hamida - Lukmanul Khakim.
Dalam debat yang berlangsung Senin malam itu, Wahyu Eka Setiawan juga menanggapi pendapat ketiga calon wakil gubernur soal industri tambang berkelanjutan. Menurut dia, tidak ada istilah tersebut, melainkan tambang dengan pengelolaan baik. Bahkan, ketiga pasangan calon justru bersikap pro dengan industri tambang di Jawa Timur. “Tiga pasangan calon tidak ada yang bicara soal keseriusan mengurangi industri ekstraktif atau membatasinya, justru berinisiatif menyuburkan tambang,” ucap Wahyu.
Menurut Wahyu, Jawa Timur saat ini lebih membutuhkan moratorium izin tambang dan evaluasi dan penyelarasan tata ruang. Tujuannya, agar tidak tumpang tindih satu dengan yang lain. Misalnya kasus hutan lindung yang dialihfungsikan jadi hutan produksi dan muncul izin tambang di Tumpang Pitu, Banyuwangi. “Pertanyaannya, apakah ketiga pasangan calon berani untuk mengurangi industri ekstraktif dan membuat kebiajakan tata ruang yang tidak tumpang tindih?” ujar Wahyu.
Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik Ahalla Tsauro mengatakan hal sama. Menurut Ahalla, ide moratorium Surabaya Waterfront Land (SWL) tidak cukup. Sebab, proyek itu berpotensi beroperasi kembali ketika fokus publik teralihkan lagi oleh isu-isu penting lainnya.
Menurut Ahalla, poin penting dalam merespons SWL adalah absennya pendekatan sosiologi-historis dalam pengambilan kebijakan. “Maka, ketika masyarakat terancam ruang hidupnya, pengambil kebijakan hanya ‘angkat tangan’ sembari membayar ganti rugi yang tidak sepadan,” kata Peneliti Konsorsium Peneliti dan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan (KIPRAH) itu.
Selain itu, Ahalla menilai bahwa industri tambang berkelanjutan hanya narasi yang dimainkan elite untuk menutupi sisi buruk industri ekstraktif. “Sama halnya dengan kampanye #SawitBaik beberapa tahun lalu yang hanya menjustifikasi ekspolorasi dan ekspansi lahan yang lebih luas,” papar Ahalla.
Kendati demikian, dia setuju dengan pernyataan calon wakil gubernur nomor 3, Gus Hans yang mengatakan bahwa aspek investor dan pemangku kepentingan berperan signifikan dalam industri tambang. Walhasil, industri tambang hanya menguntungkan pemilik modal dan elite.
Menurut Ahalla, masalah lingkungan bermuara pada komitmen Indonesia terhadap transisi energi global yang bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Hal ini terlihat dari maraknya industri ekstraktif yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan sustain.
Pilihan Editor: