Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Warsidi, anwar, dan anwaruddin

Tokoh perusuh lampung, warsidi, hanya lulus SD, berawal berguru pada anwaruddin. dibantu jayus mendirikan musala. dari sini kelompoknya berkembang. dari jakarta ada kelompok yang punya hubungan dengan warsidi.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA ditaksir berusia 50 tahun. Matanya sedikit sipit. Ada kumis tipis di bawah hidungnya yang mancung. Tapi kulitnya yang hitam terbakar matahari menandakan ia seorang pekerja kasar. "Ketika masih muda, Warsidi itu rajin bekerja di sawah," kata Abdurrahman, Kepala Desa Bumiharjo, Kecamatan Batanghari, Lampung Tengah, yang lama mengenal dekat Warsidi. Tubuhnya yang ceking itu -- tingginya sekitar 165 cm -- pula agak bungkuk. Sejak meletusnya peristiwa Lampung, 7 Februari yang lalu, nama Warsidi alias Anwar banyak dibicarakan orang. Betapa tidak, dialah yang disebut sebagai pemimpin Jamaah Mujahidin Fisabilillah di Cihideung, yang oleh pemerintah kemudian diberi nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi. Warsidi sendiri, seperti dinyatakan Ketua Bakorstanasda Sumbagsel Mayor Jenderal R. Sunardi, telah tewas bersama 27 anggotanya yang lain, tatkala pasukan ABRI menggempur kelompok itu pada 7 Februari silam. Siapa sebenarnya Warsidi? Bagaimana kisahnya hingga ia bisa menjadi pimpinan suatu kelompok aliran? Komandan Korem Garuda Hitam Kolonel Hendro Priyono menyebut Warsidi sebagai tukang las asal Jawa Tengah. Warsidi memang dilahirkan di Desa Sebrang Rawa, Magelang, Jawa Tengah, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara. Ayahnya, Martoprawiro, adalah seorang petani. Adalah Waryuni, kini 72 tahun, kakak Warsidi nomor dua, yang merintis keluarga ini merantau ke Lampung pada 1939. Rupanya, kehidupan di daerah baru ini cukup lumayan, maka ia panggil seluruh keluarganya ke sana. Warsidi kabarnya cuma tamat sekolah dasar. Ia tinggal bersama kakak sulungnya, Muhammad Judi, di Bumiharjo. Pada sekitar 1965, di Banarjaya, ibu kota Kecamatan Batanghari, berdiri sebuah pengajian yang dipimpin oleh Anwaruddin. Dan Warsidi bcrgabung dalam pengajian itu. Sejak itu, menurut Kepala Desa Bumiharjo tadi, Warsidi mulai berubah. "Ia tak mau bergaul dengan kami orang desa sini, malah sembahyang di masjid sini pun ia tak mau lagi," begitu penuturan Abdurrachman. Apa yang diajarkan Anwaruddin? "Sebenarnya, ya, Quran dan Hadis juga. Tapi dalam banyak hal tampaknya terlalu berlebihan," kata Ponidin, 55 tahun, yang pada waktu itu menjabat kamituwo di Banarjaya. Seperti diamati Ponidin, Anwaruddin yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, mengumpulkan para santrinya dalam satu rumah. Mereka tak diperkenankan bekerja. Di situ mereka seakan membentuk suatu komunitas. Biaya hidup mereka peroleh dari penjualan harta para santri. Warsidi sendiri menjual sepetak tanah miliknya dan menyerahkan hasil penjualan itu pada gurunya itu. Kemudian Warsidi membawa serta istrinya, Juariah, bergabung dalam kelompoknya. Karena berpendapat bahwa kelompok yang aneh ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Islam lain, pada 1967, Ponidin melaporkan kegiatan Anwaruddin ke Koramil setempat. Akibatnya, guru itu ditangkap dan terpaksa berpisah dengan 50 santrinya ketika ia ditahan sekitar setahun di dalam penjara. Sekeluar dari bui, Anwaruddin diusir oleh orang kampung, dan ia pindah ke Ogan Lima, Lampung Utara. Warsidi dengan setia mengikuti sang guru, dan sejak itu ia hamplr terpisah sama sekali dengan kakak-kakaknya, kecuali Marsudi, kakaknya nomor lima. Kelak Marsudi terlibat dalam GPK Warsidi, malah dikabarkan sebagai salah seorang algojo yang membunuh Kapten Soetiman. Ia kini berada dalam tahanan Korem Garuda Hitam. Setahun setelah "hijrah" ke tempat baru ini, kabarnya Anwaruddin meninggal dunia, dan oleh para pengikutnya, Warsidi diangkat sebagai penggantinya. Konon, karena kagumnya pada sang guru, Warsidi yang sehari-hari biasa dipanggil War itu kemudian memakai nama lain, Anwar, yang diambilnya dari nama Anwaruddin. Tak jelas kapan persisnya, belakangan Warsidi sudah tinggal di Desa Labuhan Ratu V, Kecamatan Way Jepara. Dari sana, sekitar satu setengah tahun yang lalu, ia pindah ke Cihideung, Rajabasa Lama. Soalnya, Warsidi rupanya mendapat simpati dan Jayus, yang tergolong orang berduit di Rajabasa Lama. Jayus lalu menghadiahkan tanah seluas sekitar 1,5 ha di Cihideung itu pada Warsidi. Di situlah didirikan sebuah musala 6 x 9 meter yang diberi nama Muhajirin. Di sekitarnya, didirikan beberapa rumah gubuk. Di sini pulalah rupanya kelompok yang dikembangkan Warsidi memperoleh kemajuan. Pengikutnya bertambah banyak. Ia kemudian berhubungan dengan Mohamad Usman, guru dari Pondok Pesantren Al Islam, di Labuhan Ratu I, sekitar 1 km di utara kota kecamatan, Jepara. Sejak itu pula pengajian-pengajian kelompok Warsidi menjadi bertambah keras: mereka mengejek Pancasila, membangkang membayar pajak atau iuran desa lainnya, menolak menghormat bendera, dan sebagainya. Usman yang pintar berbicara itu, konon, disebut sebagai salah satu intelektual kelompok ini dan banyak mempengaruhi Warsidi yang cuma tamat SD itu. Usman adalah guru di Al Islam yang dipimpin Kiai Djunaedi, sejak tahun 1987. Ia asal Semarang, Jawa Tengah, dan kepada setiap orang di sana mengaku sebagai insinyur kimia tamatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Karena itu ada yang menghubungkan nama ini dengan Muhamad Utsman, 29 tahun, juga berasal dari Semarang, dan pernah kuliah di jurusan teknik kimia UGM. Utsman yang ini kuliah di UGM sejak 1979, tapi April 1985, ia diajukan ke depan Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, dengan tuduhan, antara lain, menghina Presiden Soeharto. Anak muda ini kemudian dihukum 10 bulan penjara, dan kuliahnya juga terputus. Sekeluarnya dari penjara, 1986, Utsman tak pernah lagi terlihat di Yogyakarta. Sedangkan "Ir." Usman di Pondok Pesantren Al Islam tadi, belakangan bentrok dengan Kiai Djunaedi. Walaupun tak banyak, karena keberaniannya mencaci pemerintah di hadapan para santri, rupanya sebagian santri kagum padanya. Beberapa hari sebelum peristiwa Cihideung, Usman diusir Djunaedi dari pesantren itu, dan bersama enam santri ia langsung pindah bergabung dengan Warsidi di Cihideung. Pada saat itu pula pengikut Warsidi sudah banyak, diduga setidaknya 300 orang. Dan di sini sudah ada macam-macam orang. Misalnya Alex yang konon berasal dari Tanjungpriok dan bergabung di sana tiga bulan sebelumnya. Menurut Sumarno Bin Temu, salah seorang anggota GPK yang sudah tertangkap, "Sejak kedatangan Bang Alex kami diajari ilmu bela diri, membuat panah dan bom molotov." Ada pula tokoh lain yang bernama Fadilah, yang tertangkap pada 9 Februari lalu. Dialah yang memimpin enam temannya menyerbu kantor Kodim Metro, Kamis dua pekan lalu. Tapi enam temannya tewas, scdang Fadilah berhasil meloloskan diri, tapi kemudian tertangkap di Desa Pakuan Aji, tak jauh dari Cihideung. Orang seperti Badar pun sudah bergabung di situ. Padahal, ia dikenal sebagai seorang residivis di daerah itu, malah pada musim penembakan misterius (petrus) dulu dia sempat menghilang setelah temannya Marzuki ditemukan mati kena petrus. Belakangan seorang bernama Sugiman alias Yulianto terdaftar dalam kelompok ini. Ada yang menduga, dia tak lain dari salah seorang kelompok Usroh dari Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, Jawa Tengah. Pesantren ini pernah jadi berita tiga tahun yang lalu, karena salah seorang kiai di sana Abdullah Sungkar, memberi pelajaran keras pada para santrii Anti-Pancasila dan pemerintah. Sungkar kemudian melarikan diri ke Malaysia. Sedang sejumlah pengikutnya diadili, termasuk Sugiman. Ia sempat dihukum Pengadilan Negeri Karanganyar 10 tahun penjara, tapi Mahkamah Agung membebaskannya dari tuduhan itu dan ia pun dikeluarkan dari rumah tahanan. Sugiman kabarnya sudah tertangkap di Jawa Tengah, dan kini sedang diperiksa apakah Sugiman yang tercatat di Cihideung itu sama dengan Sugiman eks Ngruki. Dalam pengamatan Sarnubi, Kepala Desa Pakuan Aji, Kecamatan Way Jepara, desa yang bersebelahan dengan Cihideung, banyak orang yang datang ke Cihideung itu adalah orang kota. "Saya lihat kalau beli sikat gigi atau sabun mandi maunya yang bagus. Misalnya mereka mencarl sabun mandi Camay," kata Sarnubi. Menurut sebuah sumber TEMPO, kelompok Warsidi alias Anwar kemudian punya hubungan pula dengan sebuah kelompok kecil yang lain di Jakarta. Kelompok ini konon dipimpin seorang anak muda, bekas pegawai Bea Cukai, yang kemudian dikenal sebagai pemain karate. Kelompok ini kabarnya melakukan "latihan" yang terdiri dari tiga tahap, yang intinya -- menurut sumber itu -- berupa doktrin untuk membenci pemerintah yang dianggap "kafir". Mereka mengaku bukan lagi warga negara Indonesia, tapi sebagai orang asing (WNA) karena mereka tak mau menerima Pancasila. Doktrin berikutnya berupa kajian terhadap ormas-ormas Islam yang ada, yang akhirnya berupa penelanjangan bahwa ormas-ormas itu tidak efektif bagi perjuangan. Juga ada ceramah-ceramah yang menjelek-jelekkan pemerintah. Lantas ada pula tahapan berpuasa berselang-seling selama 40 hari, membaca wirid secara intensif, serta sembahyang tengah malam berjemaah. Kabarnya, cuma beberapa puluh yang lulus latihan tahap terakhir ini. Mereka kemudian diminta ikut "hijrah" ke Lampung bergabung dengan Warsidi. Dari mereka inllah nama Jamaah Muiahidin Fisabilillah lahir. Sebagian besar dari mereka kini telah tewas tertembak di Lampung, sebagian tertangkap, beberapa lagi masih buron.Amran Nasution, Harry Mohamad, Ahmadie Thaha, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum