TUJUH belas pejabat di Lampung terlibat PKI? Itu bunyi surat kaleng di sana. Seorang tokoh pers punya saudara yang anggota PKI, dan sebab itu tak boleh aktif di PWI? Itu desas-desus di Jakarta. Seorang anggota pimpinan DPRD Jawa Timur berindikasi merah? Itu bisik-bisik di Surabaya. Apa pun sebabnya, akhir-akhir ini begitulah tema penegang saraf utama di Indonesia, khususnya di kalangan pejabat. Mungkin, sebab itulah rapat koordinasi bidang politik dan keamanan (polkam) Selasa pekan lalu membicarakan perkara yang sering disebut sebagai soal "bersih lingkungan" itu. Dengan dipimpin Menteri Kordinator Polkam Sudomo, rapat yang diadakan tiap empat bulan ini dihadiri lengkap oleh Menhankam L.B. Moerdani, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, Mendagri Rudini, Menlu Ali Alatas, Menpen Harmoko, Menkeh Ismail Saleh, Kepala Bakin Yoga Sugomo, dan Pangab Try Sutrisno. Hadir pula Mensesneg Moerdiono. Pada kesempatan itu, menurut Sudomo, Pangab melaporkan apa yang telah dilakukannya untuk menyelesaikan soal "bersih lingkungan", suatu istilah yang sebenarnya tak pernah dipakai pemerintah. "Hasilnya nanti akan dilaporkan pada Presiden," kata Sudomo. Orang banyak mengharapkan hasil usaha pemerintah itu. Kerancuan dalam menyelesaikan soal ini memang bisa meresahkan. Dan kesimpangsiuran itulah memang yang selama ini dirasakan masyarakat. Beberapa pertanyaan belum terjawab secara konsisten oleh pelbagai kantor pemerintah, bahkan swasta. Misalnya: bolehkah anak seorang anggota PKI bekerja di pemerintah? Boleh atau tidak ia bekerja jadi pendeta ataupun wartawan? Bagaimana kalau ia jadi kasir di perusahaan pers? Sejauh manakah seseorang harus "bersih": bagaimana kalau pamannya yang anggota PKI? Bagaimana kalau mertuanya? Bagaimana kalau perkawinan dengan orang yang "tak bersih" itu berlangsung tahun 1988? Bagaimana kalau seorang anak ABRI tiba-tiba terpengaruh ideologi kiri itu? Menurut Sudomo, jika terasa kesimpangsiuran selama ini, itu karena adanya beda interpretasi. Istilah "bersih lingkungan" sendiri muncul dari penafsiran masyarakat atas petunjuk pelaksana tentang skrining mental ideologis yang dikeluarkan Kopkamtib 27 Juni 1982. petunjuk itu ditujukan terhadap para pelamar pegawai negeri sipil, karyawan instansi pemerintah, atau perusahaan swasta yang dianggap vital. Di situ disebutkan bahwa dalam menskrining seseorang, selain keterlibatan dengan G-30-S/PKI, juga diperiksa lingkungan yang menyangkut identitas pribadi dan identitas keluarga, menyangkut pula keadaan lingkungan, tempat tinggal, dan pergaulan. Skrining itu -- dengan penekanan yang berbeda -- juga dikenakan pada mereka yang akan atau sudah menjadi ABRI, pegawai negeri dan BUMN, guru, anggota parpol dan Golkar, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum, dan pendeta. Dalam menerapkannya ada perbedaan. Menurut Irjen Deppen Rachmat Afif dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR, 29 November yang lalu, di Departemen Penerangan, para pegawai yang diketahui lingkungannya tak bersih diawasi, tapi tak diberhentikan. Mereka tak diberi jabatan, tak ditempatkan di unit vital dan strategis, lalu dibina terus-menerus. Tapi lain di Deppen, lain pula di pengadilan agama. Di Padang, misalnya, Martius As'adi, Ketua Pengadilan Agama Payakumbuh yang seyogyanya dilantik menjadi Ketua Pengadilan Agama Padang 5 November yang lalu, sampai sekarang terkatung-katung. Jabatannya di Payakumbuh sudah dia lepaskan, sementara pelantikannya di Padang ditunda karena adanya nota telegram dari Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama, Muchtar Zarkasyi, akhir Oktober yang lalu. Pendeknya, Martius As'adi dianggap "tak bersih". Sementara itu, di PJKA lain lagi. Perusahaan kereta api milik pemerintah itu hanya menetapkan semua pegawainya harus bebas G-30-S/PKI. Anak, kemanakan, menantu -- itu tak disebut-sebut. Sudomo sendiri mengingatkan adanya Keppres 028 tahun 1975, yang antara lain memuat ketentuan bahwa orang yapg berindikasi PKI golongan C2 dan C3 masih diperbolehkan bekerja sampai pensiun. Dengan catatan: mereka tak boleh menduduki tempat strategis, harus tetap diawasi, dan diadakan persiapan untuk menggantinya pada waktunya. Bagaimana dengan perusahaan swasta yang dianggap vital? Sudomo menjawab: "Pemerintah saja masih mentolerir adanya golongan C2 dan C3. Kita harus adil." Menteri Polkam dan bekas Pangkopkamtib ini juga menolak seorang dianggap tidak bersih hanya karena bapaknya PKI. Jika begitu suara dari pemerintah, banyak yang optimistis bahwa pembersihan yang dilakukan sekarang ini akan lebih masuk akal, adil, dan berperikemanusiaan. Sebab kalau tidak, ini malah bisa mendorong konsolidasi di antara simpatisan PKI. Lembaga yang menggantikan Kopkamtib, Bakorstanas, kini kabarnya sedang bekerja ke arah kriteria seperti itu. Sejak pertengahan Desember lalu, sebuah tim perumus di lembaga itu sudah mengumpulkan seluruh peraturan yang ada kaitannya dengan soal ini. Dari hasil inventarisasi berbagai ketentuan itu, menurut Kepala Puspen ABRI, Brigjen. Nurhadi, tak ada yang kena tindak semata-mata karena faktor keturunan atau perkawinan. "Semua dilakukan berdasarkan skrining mental ideologis, kecuali untuk ABRI dan pegawai negeri yang menempati posisi strategis," kata Kepala Puspen ABRI itu. Menurut Brigjen. Nurhadi pula, diharapkan tim perumus di Bakorstanas akan menyelesaikan ketentuan soal skrining itu Januari mendatang. Hasilnya akan diserahkan kepada Presiden. Kalangan DPR, juga masyarakat, memang sudah menyuarakan perlunya kepastian dalam perkara ini. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini