Saya ingin mengomentari tulisan dr. Kartono Mohamad (TEMPO, 10 Desember, Kolom). Penulisan resep dengan generik, menurut saya, bukan masalah sederhana. Ini mencakup berbagai macam aspek, tak hanya aspek kefarmasian dan kesehatan saja. Namun, kadangkala aspek bisnis atau ekonomi, psikologis, dan prestise berperan di dalamnya. Namun saya ingin membatasi diri pada aspek yuridis. Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomo 26/1981 menyatakan bahwa apotek harus menyerahkan obat kepada penderita sesuai dengan yang tertulis di resep. Secara harfiah, itu berarti bahwa apotek harus menyerahkan obat sesuai dengan yang tertulis di resep, dan tak boleh menggantinya, apa pun alasannya. Namun, secara penafsiran teleologis, dapat saja apotek menggantikan obat yang tertulis dalam resep, tapi dengan syarat sebagai berikut: 1. Obat pengganti harus sesuai dengan isi, kadar komposisi, dan mutu obat yang digantikan. 2. Harus seizin atau sepengetahuan dokter penulis resep dan pasien bersangkutan. Bila dokter menulis resep dengan nama generik, maka apotek boleh menggantinya dengan obat paten atau obat dengan nama dagang tertentu sesuai dengan persyaratan tadi. Sebaliknya, dokter juga tak boleh marah bila obat paten yang dia tulis diganti dengan obat generik. Dengan demikian harus ada kerja sama dan saling pengertian antara dokter, pasien, dan apotek. Tujuan utama penulisan nama generik obat pada resep dokter adalah untuk menolong pasien golongan ekonomi lemah. Yang perlu dijaga, janganlah tujuan mulia ini, dalam prakteknya, justru membebani pasien, misalnya karena kebetulan apotek berangkutan tak menyediakan obat DOEN (daftar obat esensi nasional) yang mempunyai nama generik, kemudian apotek menggantinya dengan obat paten yang mahal. Itu tak mustahil terjadi, karena adanya persaingan yang makin tajam antara pabrik-pabrik obat/farmasi, baik PMA maupun PMDN yang memproduksikan obat sejenis. Pabrik-pabrik itu akan berusaha mempengaruhi apotek, agar membuat laku produk-produknya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah prosedur minta izin kepada dokter untuk penggantian obat tersebut, saya menyarankan agar disederhanakan. Artinya, secara umum, berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu kefarmasian, apotek tak perlu minta izin dokter dalam penggantian tersebut, kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya penggantian obat jenis penyakit tertentu yang harus benar-benar di bawah pengawasan dokter dalam pemakaiannya. Sedangkan untuk obat-obat penyakit ringan, seperti pusing, flu, tak perlu minta izin. Sebab, sebagai tenaga ahli di bidang kefarmasian, apoteker tahu persis tentang obat-obatan di apotek. Dengan demikian, apoteker hanya menawarkan penggantian tersebut kepada pasien bersangkutan dengan pemberian argumen secara farmasis dan ekonomis. Bila pasien OK, proses penggantian dapat dilaksanakan. Sedangkan bila pasien menolak, apotek tak boleh memaksakan. Apotek mempersilakan pasien bersangkutan menebus obatnya di apotek lain. MACHMUD AZIZ, S.H. Kepu Selatan V/281 Jakarta 10460
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini