Pembantu TEMPO diBali, Putu Setia pertengahan Pebruari lalu
diundang mengikuti inspeksi kerja Gubernur Soekarmen ke
Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangil dan Kabupate Buleleng.
Berikut ini laporannya:
KABUPATEN Klungkung, Bangli dan Buleleng hampir bisa dikatakan
bernasib sama. Menurut Bupatinya sedikit sial. Karena daerahnya
yang kaya akan obyek pariwisata hanya dilewati saja oleh turis.
Uang yang bisa disadap dari tulis ini tidak seberapa besar,
paling-paling jatuhnya pada pedagang acung di sekitar tempat'
pelancongan. Sejumlah dollar tentunya mengalir ke Kabupaten
Badung di mana terdapat hotel dan restoran internasional, tempat
Pajak Pembangunan I (PB 1) diperoleh. Tapi berkat baik hatinya
Pemerintah Propinsi Bali uang PB I yang diperoleh Kabupaten
Badung mesti dicipratkan sedikit untuk Kabupaten lainnya
sebanyak 30 prosen. Kemudian bagian kecil ini dibagi lagi
bertujuh. Bagian kecil yang sudah diserpih itulah dipakai
Kabupaten-kabupaten di luar Badung untuk menangani obyek
pariwisata termasuk membuat jalan, memelihara bangunan dan
lainnya. "Tapi uang itu tidak boleh dipakai membuat brosur
pariwisata", tutur Bupati Buleleng, Hartawan Mataram. Memang
nampaknya bantuan PB I yang diberikan Badung lewat pemerintah
propinsi seperti mengikat, terutama dalam penggunaannya. Harus
yang langsung berguna untuk obyek pariwisata, agar turis tetap
senang.
Bagi Kabupaten Klungkung yang kecil itu -- bagian terbesar
daerahnya di Nusa Penida, seberang laut -- PB I tentu saja
dipergunakan dengan baik. Artinya kalau obyek pariwisata yang
sudah ada seperti Goa Lawah tak perlu dirawat lagi mestilah
dicari penyaluran dana ini. Dipugarlah Kertha Gosa, itu
peninggalan Raja Nungkung berupa istana dan tempat pengadilan
zaman kerajaan. Memang begitukah tujuan Kabupaten Klungkung?
"Tidak, kami ingin membantu Rumah Sakit Umum Klungkung yang 4
tahun tanpa penerangan listrik", ujar Bupati Nungkung Cokorde
Gde Agung. RSU ini memang dalam sekarat. Dulu ia punya diesel
berkekuatan 7.500 watt, tapi tahun 1972 rusak. Sejak itu sampai
kini peneragan di RSU cukup memakai lampu minyak tanah,
"kelap-kelip, remang-remang bagai klab malam" kata dokter
setempat. Diesel yang jadi "barang antik" itu tentu saja
tergeletak, dan kini 54 kamar di RSU itu yang rata-rata punya
pasien 45-50 orang biarlah tidak mendapat penerangan listrik,
sampai tibanya nanti aliran dari PLTD Sanggaran Denpasar yang
diperkirakan baru muncul awal tahun 1977. Begitulah, niat Pemda
Nungkung membantu RSU dengan PB I tidak kesampaian terbentur
masalah persyaratan. Bukankah rumah sakit tidak ada hubungannya
dengan Pariwisata Budaya?
Bermanfaatkah?
Kalau di Klungkung ada bangunan yang mesti ditolong tapi
terbentur uang maka di Bangli ada uang untuk membangun bangunan
yang belum mestinya ada. Proyek itu milik pusat dengan biaya
APBN. Proyek Sasana Budaya Ditjen Kebudayaan Dep.P dan K ini
dengan uang Rp 14 juta lebih membangun Mandala Wisata di dekat
Pura Kehen, terdiri dari satu panggung besar, 3 bangunan
pameran, balai tempat duduk-duduk, ruang demonstrasi dan lainnya
lagi. Mandala Wisata yang baru selesai dikerjakan 60 prosen ini
menarik perhatian Gubernur Soekarmen, bukan karena mewahnya tapi
melihat manfaatnya. "Apa yang akan diisi?" tanya Gubernur. Drs I
GBN Panji -- yang juga ketua Listibiya Bali -- menjawab,
acaranya telah difiklrkan bersama dengan Kantor Departemen P dan
K Kabupaten Bangli. Jawaban itu rupanya belum memuaskan
Gubernur, maka dalam kesempatan berpidato di panggung
pertunjukan yang megah dengan arsitektur Blambangan itu.Gubernur
berkata: "Saya tidak ingin melihat Mandala Wisata ini terlantar,
mengulangi kasus seperti Mandala Wisata Mengwi dan Samuan Tiga".
Tentu saja rombongan Gubernur termasuk Ketua Bappeda Bali, drs
Wedagama, manggut-manggut. Masalahnya Mandala Wisata Mengwi di
Kabupaten Badung itu tak mampu dikelola pemerintah Kabupaten
Badung, dan kini syukur bangunannya tetap terpelihara karena
dikontrak oleh Pacto, sebuah travel biro.
Air
Sedangkan Mandala Wisata Samuan Tiga kini temboknya banyak yang
hancur, sapi dan babi berkeliaran di bangunan yang megah itu.
Penduduk setempat memakainya tempat aduan ayam. Soalnya
Kabupaten Gianyar tak mampu memberi uang pemelaharaan tiap bulan
yang jumlahnya besar sekali, sementara Mandala Wisata itu sepi
saja dari hari ke hari, dan dalam catatan dipakai cuma sekali,
waktu Work Shop PATA Maret 1974. Karena itulah dibangunnya
Mandala Wisata di Bangli yang pendapatan kabupatennya paling
kecil di Bali -- merisaukan banyak orang. Mungkinkah bangunan
megah di Kabupaten miskin dan terpencil itu bermanfaat? "Itu kan
uang pusat, kalau ditolak ya tidak dibangun. Nanti saya fikirkan
agar turis tertarik mengunjungi Mandala Wisata ini", berkata
Bupati Bangli drs I Ketut Winaya. Sedang pejabat lain yang ikut
rombongan inspeksi Gubernur berkomentar, "walaupun uang pusat,
mestinya kita bisa mengusulkan proyek apa yang bermanfaat".
Memang banyak pihak yang pagi-pagi kuatir, jangan-jangan proyek
uang pusat itu nantinya menjadi daftar inventaris dari sekian
banyak kasus yang dihadapi Bangli. Bukankah Gianyar atau Badung
yang kaya itu juga "menjerit" mendapat beban pemeliharaan dari
proyek yang bernama Mandala Wisata?
Itu tidak berarti di Bangli tidak ada proyek yang bermanfaat.
Antara lain yang menggembirakan -- terutama penduduk kota yang
dingin itu -- adalah adanya proyek air minum. Saat ini dari
sumber air di Tegal Suci punya debit 4 liter/detik. Dengan
didasarkan pada penggunaan air 1 liter/ detik/ 1.000 orang maka
baru 4.000 orang yang dilayani. Karena itu Proyek Air Minum
Bangli ditingkatkan menjadi 25 liter/ detik dengan 13.000 orang
pemakai. Sumber air baru ditemukan di Desa Kayubihi 6 km sebelah
utara kota Bangli.
Pimpinan Proyek Air Minum (PAM) Bali ir. Rochjat DS melaporkan
biaya keseluruhan diperkirakan Rp 500 juta, sebagian besar untuk
membeli pipa. Saat ini sudah diselesaikan bangunan pengambaan
air di kedalaman jurang 250 meter. Tahun depan diperkirakan
masyarakat kota Bangli sudah mencicipi air minum, walaupun
menurut ir. Rochjat proyek selesai secara keseluruhan dalam
tahun anggaran 1977/78. "Itupun kalau tidak ada kesulitan pipa
yang didatangkan dari Jepang", tambah ir. Rochjat. Tahun
anggaran 1975/76 ini proyek itu cuma kebagian dana Rp 30 juta
khusus untuk bangunannya.
Di Kabupaten Buleleng ada juga proyek-proyek yang khusus urusan
mencari air. Tapi bukan untuk air minum atau pengairan, tapi
proyek ini sekedar untuk mengadakan penyelidikan sumber-sumber
air. Setelah sumber air itu ditemukan akan dilanjutkan dengan
rencana memanfaatkan sumber air itu. Proyek Survey Penyelidikan
dan Perancangan Sumber-sumber Air (P.3.S.A.) ini dibiayai dari
pemerintah Pusat dan di Buleleng mengadakan pengeboran di dua
tempat, yakni di Desa Bondalem dan Pengumbahan. Di Bondalem
pengeboran air ini menemui kesulitan, tanahnya berbatu-batu.
Sedang di Pengumbahan kedalaman sudah mencapai 80 meter dan air
sudah keluar 11 liter/detik. Pengeboran ini akan dihentikan,
"agar tidak asin airnya" kata Tjok Gde Agung, pimpinan proyek.
Bungalows
Yang melelahkan dari inspeksi Gubernur Soekarmen tahun ini
adalah untuk melihat pembangunan SD Inpres yang tersebar di
pelosok-pelosok desa. Karena itu pula inspeksi kali ini terpaksa
sampai menginap di kota Kabupaten, suatu hal yang jarang
dilakukan melihat pulau Bali yang kecil ini. Di Klungkung dan
Bangli pembangunan SD Inpres lebih banyak. Diserahkan pada
pemborong, hingga praktis bangunannya sama saja di berbagai
tempat. Cuma di tempat yang agak jauh dari jalan raya, akibat
sulit pengangkutan bahan-bahan bangunan tidak selesai 100%,
walaupun sudah menampung murid.
Tetapi di Kabupaten Buleleng urusan bangun membangun SD ini agak
menarik. Lembaga Sosial Desa (LSD) mengambil peranan cukup
besar. Bangunan tidak diborongkan tapi dikerjakan langsung oleh
masyarakat. Dengan demikian swadaya masyarakat tertampung di
dalamnya, jika menghendaki SD yang permanen, indah, megah dan
terukir seperti bangunan-bangunan keagamaan. Menurut Bupati
Buleleng Hartawan Mataram kayu untuk kap dipakai kayu kruing
dari Kalimantan dan untuk kosen pintu dipakai kayu jati dari
Banyuwangi. "Dasar pemikiran tidak mempergunakan kayu lokal,
adalah menghindari gundulnya hutan di Bali", tutur Bupati
Hartawan Mataram.
SD Pancasari yang tak jauh dari lapangan golf di pinggir danau
Beratan menarik perhatian Gubernur Soekarmen. "Ini SD yang aneh,
satu-satunya SD di Bali yang berbentuk bungalows", komentar
Gubernur. SD ini airancang oleh ir. Roby Sularto dari BIC Sanur,
terdiri dari 3 lokal dengan ruang bujur sangkar. Bangunan dan
atapnya memakai arsitektur Bali, tak kalah dengan bungalows
lainnya yang tersebar di Bedugul. Biaya SD ini Rp 6 juta. Jadi
masyarakat setempat menambah Rp 2 juta biaya. Suatu hal yang
memang jarang didapat di daerah lain.
Ketika inspeksi yang menembus pelosok desa-desa itu berakhir,
Gubernur Soekarman memberi kesan, Kabupaten Buleleng paling maju
di Bali dalam sosial ekonominya "Terbukti dari maju pesatnya
desa-desa, dan banyaknya proyek yang dibiayai oleh masyarakat
bersama Pemerintah Kabupaten", kata Gubernur. Untuk meningkatkan
mutu proyak, Pemda Kabupaten Buleleng berse dia menambah biaya
dari anggaran yang telah disediakan. "Pemikiran ini tidak
terjadi di Kabupaten lainnya, walaupun Kabupaten itu anggaran
pembangunannya lebih besar", tambah Soekarmen. Bagi rombongan
Gubernur yang terdiri dari Wakil Ketua DPRD Bali Djoewaii,
unsur-unsur Muspida dan kepala-kepala Dinas, inspeksi 3 hari di
Buleleng cukup memberi kesan baik agak lama. Bukan karena Hansip
wanit yang selalu menyambut rombongan dengan tegap dan senyum
manis, tetapi Buleleng menjadi daerah yang kaya raya karena
buahbuahan, seperti jeruk, rambutan, durian, mangga dan
ceroring. Hasil buah-buahan ini tentu saja langsung diminati
petaninya yang menyebabkan income per kapita naik terus. Tentu
beda dengan di Bali Selatan. Daerah yang ramai karena pariwisata
ini kurang antara kaya dan miskin tampak menganga. Perputaran
uang dan dolar lebih banyak berakhir dengan larinya harta itu
ke Jakarta di mana berdomisilinya pemilik hotel, restoran dan
art shop yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini