Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentang Jejak CIA

Saya sempat membaca majalah Tempo di pesawat dalam perjalanan ke luar kota tentang "Jejak CIA pada Tragedi 1965", meski baru sebagian kecilnya. Saya tertarik pada kalimat, "kali ini, kami menulis teka-teki keterlibatan intelijen asing pada bagian paling kelam dalam sejarah Indonesia itu".

Ketika Pramoedya Ananta Toer pulang dari pengasingan di Pulau Buru, saya memerlukan datang ke rumahnya untuk mengucapkan selamat atas kebebasannya, sambil ingin mendengar cerita pengalamannya di sana. Tapi tidak lama kemudian saya pun masuk Penjara Cipinang—di sana sempat bertemu dan bertukar pikiran hampir setiap hari dengan tokoh-tokoh sentral PKI dan anggota militer umumnya dari Tjakrabirawa, termasuk Kolonel Latief, bekas Danrem Kodam Jaya.

Dalam kunjungan pada bulan puasa tersebut, istri Pramoedya Ananta Toer (seorang tokoh wanita Betawi) malah sempat menyuguhkan makan dan menyediakan sajadah untuk salat magrib. Dalam rangkaian cerita itu, Pramoedya menyinggung pengaruh CIA dalam peristiwa G-30-S/PKI. Dia menyebut Syam Kamaruzaman, Ketua Biro Khusus PKI, sebagai orang yang juga mendapat tugas dari CIA alias double standard.

Maka, ketika ketemu di Cipinang, dia agak menghindar dan hanya bicara sedikit-sedikit dengan saya, itu pun dengan sembunyi-sembunyi seperti agak takut-takut. Belakangan, saya baru mendapat cerita dari teman-temannya sesama terhukum mati bahwa ternyata dia dibenci dan diisolasi karena dianggap banyak membuka rahasia PKI.

Justru yang banyak bercerita kepada saya ialah Pono dan Bono, masing-masing Ketua 1 dan Ketua 2 Biro Khusus PKI. Sedangkan Asep Suryawan anggota Biro Khusus yang mengaku bertugas menyusup ke tubuh ABRI, khususnya AURI. Untuk anggota Biro Khusus semuanya dieksekusi, sementara tokoh-tokoh sentral PKI, seperti Ruslan Surya Wijaya, orang kedua dalam pemberontakan PKI di Blitar; Iskandar Subekti, bekas sekretaris D.N. Aidit; dan Sukatno, bekas anggota DPR dan sudah kenal sebelumnya ketika bersama-sama dalam aktivitas Front Pemuda dan Badan Kerja Sama Pemuda Militer Pusat, sebagai terhukum mati, tidak dieksekusi, tapi dibiarkan mati dalam penjara.

Sementara di luar saya sering berdebat dengan Sukatno dalam rapat-rapat, di penjara saya bertukar pikiran secara akrab. Malah dia secara rutin menjadi tukang cukur saya yang tidak mau dibayar. Adapun terhukum mati dari kalangan militer semua dieksekusi, dari kolonel hingga prajurit, kecuali Kolonel Latief, yang hanya dihukum seumur hidup. Karena itu, dia rupanya juga termasuk agak diisolasi oleh tokoh-tokoh PKI dan terhukum mati lainnya.

Seorang anak buah Kolonel Latief, Serma Sukardjo, yang biasa memijit saya, pada malam hari suatu waktu curhat kepada saya, "Di mana keadilannya, Pak. Saya ini kan cuma anak buah yang diperintah melakukan operasi dinihari dalam peristiwa itu divonis mati, sementara atasan saya cuma dihukum seumur hidup." Saya cuma menjawab, "Mas Kardjo, sebenarnya sulit bagi saya menjawabnya. Tentu ini sepenuhnya bukan masalah hukum, mungkin ada pertimbangan lain." Memang Kolonel Latief sering bercerita kepada saya tentang kedekatannya secara pribadi dengan Pak Harto, bahkan NRP-nya berurutan, dan ketika bertugas di Jawa Tengah dia selalu menjadi orang kedua Pak Harto.

Sementara itu, Soebandrio hanya mau bercerita sedikit-sedikit kepada saya, malah lebih sering saya bertegur sapa dengan istrinya (janda mantan KSAD Bambang Utoyo), yang sangat rajin menjenguknya. Adapun mantan KSAU Omar Dhani kalau bertemu malah sering saya kecapekan mendengar beruntun dan berulang-ulang ceritanya terus-menerus membantah bahwa dia bukan orang PKI. Tapi semata-mata sebagai orang yang setia kepada Bung Karno. Saat wafatnya, Omar Dhani secara terutup sempat diupacarakan secara militer oleh TNI AU, dan saat itu saya adalah satu-satunya pejabat negara (Wakil Ketua DPR) yang hadir dan dianggap surprise oleh mereka.

Saya juga mendapat cerita mengapa sebagian tokoh PKI terhukum mati tidak dieksekusi dan dibiarkan mati sendiri karena mereka itu termasuk golongan komunis pro-Rusia, serta sambil juga memelihara hubungan dan perasaan negara-negara komunis Eropa Timur. Ada cerita lucu dengan Pono ketika saya dijenguk Boerhanoeddin Harahap (perdana menteri kesembilan) dan Anwar Harjono, keduanya tokoh Masyumi, yang membawakan oleh-oleh kue dan sebagiannya saya kasih kepada Pono. Ketika saya bagikan kue kepada Pono, seorang terpidana tokoh Kosgoro berteriak dari jauh, "Pak Pono, itu kue Masyumi, harus pakai bismillah." Dijawab, "Ah, tidak perlu, kuenya boleh, Masyuminya tidak."

A.M. Fatwa
Mantan tahanan politik Orde Lama/Orde Baru


Usul untuk Tempo

Saya sangat menikmati laporan khusus Tempo mengenai CIA karena sangat enak dibaca dan perlu. Namun apa bisa Tempo juga menurunkan laporan mengenai apa yang sebenarnya dilakukan oleh PKI pada masa-masa itu. Saya baca ada berita di Tempo bahwa simpatisan PKI mematok sawah petani dengan alasan doktrin sama rasa sama rata, juga memusuhi gerakan pemuda Islam dan Kristen?

Ini akan membuat laporan Tempo menjadi lebih balance sehingga pembaca bisa menganalisis dan mengambil kesimpulan apa penyebab tindakan pembalasan terhadap PKI yang menurut laporan Tempo sangat masif dan kejam (sebagaimana juga difilmkan dalam Senyap dan Jagal). Mungkin PKI pada masa-masa jayanya juga melakukan tindakan represif dan kejam terhadap rakyat yang tidak sejalan dengan aliran komunis sehingga timbullah aroma dendam yang menyulut aksi pembalasan tersebut.

Indra Allen Nasution
[email protected]

Terima kasih atas usul Anda. Dalam edisi "Pengakuan Algojo" pada Oktober 2012, kami mengulas latar belakang serangan balik kepada PKI itu.
—Redaksi


RALAT

Dalam infografis artikel "Jakarta-Bandung Jatah Tiongkok" edisi 12-18 Oktober 2015, halaman 88, terjadi kesalahan penulisan terkait dengan komposisi saham konsorsium BUMN Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia). Dalam diagram tertulis komposisi saham Wijaya Karya 38 persen, PT KAI 25 persen, PTPN VIII 25 persen, dan Jasa Marga 18 persen. Seharusnya porsi saham Jasa Marga adalah 12 persen.

Kekeliruan kedua ada pada penulisan modal yang disetor tiap BUMN. Dalam infografis tertulis Jasa Marga Rp 540 miliar, Wijaya Karya Rp 1,7 triliun, PT KAI Rp 1,125 triliun, dan PTPN VIII Rp 1,125 triliun. Yang benar, modal Jasa Marga Rp 540 juta, Wijaya Karya Rp 1,7 miliar, PT KAI Rp 1,125 miliar, dan PTPN VIII Rp 1,125 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus