Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak Perwira di Lahan Penajam

Pengusutan kasus penambangan ilegal batu bara di Kalimantan Timur macet di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Ditengarai ada intervensi petinggi kepolisian.

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Niat Jono melaporkan penambangan ilegal batu bara berbuah petaka. Pengadilan Negeri Tanah Grogot, Kalimantan Timur, menghukumnya tujuh bulan penjara karena laporan itu. Kesialan ini bermula ketika Jono menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pada Maret 2011, dia melaporkan PT Pasir Prima Coal Indonesia ke Kepolisian Daerah Kalimantan Timur.

Jono menuding Pasir Prima menambang secara liar di kawasan hutan produksi tetap. Selain itu, ia menuduh Pasir Prima tak membayar kewajiban dan iuran tetap serta tak menguruk lubang tambang. Oleh Jono, perusahaan yang berkantor di Balikpapan itu dilaporkan melanggar Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam laporan tersebut, perusahaan itu disebut mengeruk batu bara di lahan seluas hampir 4.000 hektare di Desa Mentawir tanpa memegang izin pinjam pakai kawasan hutan. Padahal sebagian lahan yang dieksploitasi sejak 2005 adalah kawasan hutan produksi tetap. Pasir Prima sudah diberi kesempatan mengurus izin pinjam pakai. "Tapi Pasir Prima tak melengkapi persyaratan izin," kata Jono, Selasa pekan lalu.

Pemerintah kabupaten pun menghentikan kegiatan tambang Pasir Prima. Namun perusahaan itu membangkang dan tetap melakukan eksploitasi. Di tengah situasi ini, pemerintah kabupaten mengalihkan izin usaha ke PT Mandiri Sejahtera Energindo. Dua perusahaan itu pun saling klaim sebagai pemilik lahan. Sengketa melibatkan pemerintah kabupaten pada awal 2011, ketika Pasir Prima melaporkan bupati saat itu, Andi Harahap, ke Polda Kalimantan Timur. Andi dituduh memalsukan izin tambang untuk Mandiri Sejahtera.

Kisruh meruncing sebulan setelah laporan Jono. Pasir Prima balik melaporkan Jono dengan tuduhan membuat keterangan palsu dalam penerbitan izin tambang Mandiri Sejahtera. Laporan itu membuat Jono mendekam di bui. Pasir Prima di atas angin saat jabatan bupati beralih dari Andi Harahap ke Yusran Aspar pada 2013. Melalui surat, Bupati Yusran mempersilakan Pasir Prima mengeksploitasi lahan tambang.

Karena terbit dua izin berbeda, baik Pasir Prima maupun Mandiri Sejahtera mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Episode ini berujung pada terbitnya putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, medio 2014. Amar putusan memerintahkan penghentian aktivitas tambang di lahan sengketa. Putusan diperkuat Mahkamah Agung, yang menolak permohonan kasasi Pasir Prima pada April 2015. "Ini membuktikan kami pemilik sah lahan," ujar Direktur Utama Mandiri Sejahtera Eddy Soeratno. Namun Pasir Prima masih membandel dengan tetap menambang di lahan itu.

Laporan Jono terabaikan di tengah ribut-ribut dua perusahaan itu. Polda Kalimantan Timur tidak cepat menindaklanjuti laporan dari Jono. Melalui kuasa hukumnya, Jono meminta Polda menyampaikan perkembangan hasil penyidikan. Permintaan disampaikan pada medio 2013. Polda baru merespons dengan gelar perkara pada Februari 2014. Dokumen gelar perkara menyimpulkan Pasir Prima melakukan penambangan liar. Dokumen menyebutkan penyelidikan akan dilakukan lebih dalam dengan mencari dua alat bukti. Namun hasil gelar perkara menguap. "Tak ada kelanjutannya," kata kuasa hukum Jono, Agus Dwiwarsono.

Rupanya, Jono memasang strategi dua kaki. Dia juga mengajukan permohonan gelar perkara ke Markas Besar Kepolisian RI pada pengujung 2013, tapi berkas perkara masih ada di Polda. Karena tak ada respons, surat serupa kembali dikirim pada Agustus 2014. Mabes Polri baru menanggapi dua bulan setelahnya, melalui surat Bareskrim. Respons Trunojoyo—sebutan untuk Mabes Besar Polri—merujuk pada hasil gelar perkara di Polda pada Februari 2014.

Permintaan Jono juga ditanggapi Markas Besar Polri dengan gelar perkara pada 29 Oktober 2014. Gelar perkara ini bertujuan menentukan apakah status laporan tersebut bisa ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Tujuh hari sebelumnya, peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan juga dilakukan oleh Polda. Namun, hingga akhir tahun lalu, kelanjutan penyidikan ini tak menemukan kejelasan status. "Tak ada penetapan tersangka," ujar Agus.

Jono kehabisan akal. Pada Februari 2015, dia meminta berkas laporannya ditarik dari Polda untuk dibawa ke Markas Besar Polri. Berkas laporan itu dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal pada pertengahan Mei 2015 atau tiga bulan setelah permintaan tersebut disampaikan. Rupanya, dua bulan sebelum itu, Mandiri Sejahtera juga melaporkan hal ini ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Namun baik laporan Jono maupun milik Mandiri Sejahtera mengendap di Markas Besar Polri.

Seseorang yang mengetahui penanganan kasus ini mengatakan Kepala Badan Reserse, yang saat itu diduduki Komisaris Jenderal Budi Waseso, dan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, ketika itu dijabat Brigadir Jenderal Victor Edi Simanjuntak, berniat menindaklanjuti dua laporan tersebut karena sudah masuk penyidikan. "Mereka ingin kasus ini tuntas," kata orang itu. Karena itu, Badan Reserse segera bergerak dengan memeriksa sejumlah saksi.

Namun di tengah jalan, setelah sejumlah saksi dipanggil, tiba-tiba seorang perwira tinggi Markas Besar Polri meminta Badan Reserse menyetop penyidikan. "Istilahnya, jangan disentuh dulu," ujar sumber tadi. Perwira tinggi ini, kata dia, juga memanggil penyidik dalam kasus itu, Ajun Komisaris Besar Furqon Budiman, untuk menghentikan penyidikan.

Perintah petinggi Trunojoyo ini membuat penyidikan terkatung-katung di Badan Reserse. Apalagi belum ada tersangka saat penyidikan dikebut Victor cs. Karena itu, pada akhir September lalu, Jono dan Mandiri Sejahtera mengirimkan surat kepada Kepala Polri Badrodin Haiti. Isinya, memohon agar penyidikan dilanjutkan. "Tapi belum ada jawaban dari Kepala Polri," ujar Agus Dwiwarsono.

Victor membantah ada perintah dari atasannya untuk menyetop penyidikan. "Tak ada yang meminta laporan itu tak ditindaklanjuti," katanya. Menurut Victor, dua laporan itu sudah diproses dengan memeriksa sejumlah saksi. Dia optimistis penyidikan akan berlanjut. Adapun Furqon Budiman enggan berkomentar soal pemanggilan dirinya oleh seorang perwira tinggi. "Saya tak berwenang menjawab itu," ujarnya.

Badrodin Haiti menyatakan tak tahu mengenai ihwal campur tangan perwira tinggi polisi dalam penyidikan kasus ini. Ia mengatakan tak pernah menerima surat permohonan agar penyidikan dilanjutkan. "Saya belum pernah baca surat itu," kata Badrodin.

Direktur Pasir Prima, Hengky Wijaya Oey, membenarkan adanya dua laporan terhadap perusahaannya di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Namun dia enggan menjawab tudingan adanya permainan makelar kasus dalam perkaranya. "Saya juga orang yang dipersulit."

Prihandoko, Arkhelaus Wisnu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus