SEBUAH teleks dari markas Boeing Company, Seattle, Amirika, dikirim ke gedung Departemen Perhubungan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, 31 Januari lalu. Isinya: pihak Indonesia diminta melakukan pemeriksaan terhadap fire detector and warning system pada dua buah Boeing 747, seri PKGSA dan PKGSF, yang dioperasikan Garuda. Buru-buru teleks itu diteruskan ke pihak Garuda. Maka awal Februari lalu, dua burung besi yang dimaksud digiring ke hanggar Garuda, di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Para teknisi Garuda dikerahkan untuk mengecek sistem pendeteksi api, terutama pada bagian kargo dan ruang mesin. Kedua pesawat diperiksa masing-masing selama dua jam. Hasilanya? Tak ada masalah. Semuanya berfungsi secara normal," ujar Widarmana Bagus Oka, Kepala Dinas Perawatan Garuda. Artinya bila terjadi panas tinggi yang mencurigakan detektor sanggup melaporkannya ke kabin pilot, secara cepat dan akurat. Indikasi adanya kesalahan warning, seperti pada Boeing 737 British Midland yang waktu mesin kirinya terbakar tapi dilaporkan sebagai kebakaran pada mesin kanan, menurut Widarmana tidak ditemukan pada kedua jumbo Garuda. Kedua jumbo itu telah kembali terbang,menyusuri rute masing-masing. Namun, sebuah jumbo 747 yang lain tampak teronggok di hanggar Cengkareng. Jumbo ini rupanya tengah menjalani "operasi bedah", pada zone kepala, mulai dari ulung hidung hingga batas pintu depan, sepanjang sekitar 10 meter. Bagian ini, dalam istilah teknis, disebut seksi 41. "Semua frame pada seksi 41 akan diganti," tutur Widarmana. Jumbo raksasa itu diistirahatkan sejak 9 Januari lalu, untuk perbaikan selama sekitar 70 hari. Frame (rangka) seksi 41, menurut Widarmana, memang "dicurigai" sebagai bagian rawan, setelah ditemukan keretakan di zone itu pada jumbo 747 British Airways, 1985, dan pada 11 pesawat Boeing lainnya dari berbagai maskapai. Kendati demikian, "Hingga kini tak ada musibah yang diakibatkan oleh keretakan frame di situ," ujar Widarmana. Perbaikan pada seksi 41 itu dilakukan atas prakarsa Boeing Company sendiri, dalam rangka menjalankan tanggung jawab purnajual. Panduan teknis mengenai rekayaa perbaikan itu dikeluarkan dari Seattle, lewat bulletin perawatan Boeing 1986. Untuk perbaikan itu, semua suku cadang dan material yang diperlukan untuk proyek perbaikan itu dipasok oleh Boeing secara gratis, plus kredit lunak sebesar Rp 300 juta, untuk setiap pesawat yang "dihanggarkan". Markas Boeing di Seattle memprioritaskan perbaikan itu pada jumbo-jumbo dengan nomor pembuatan 400-an, yang diproduksi sekitar 1980-81. Secara kebetulan, keenam Boeing 747 Garuda punya nomor 421-428, jadi terkena proyek perbaikan itu. Rekayasa yang sama juga telah dikerjakan, antara lain, oleh Thai Airways, Singapore Airlines, TWA, dan Air France. Boeing sebenarnya menawarkan dua jalan untuk membenahi kelemahan pada seksi 41 itu. Pertama, penggantian frame (modifikasi), dan yang kedua, pemeriksaan rutin pada saat pesawat telah menjalani penerbangan 8, 10, 13, 16, dan 19 ribu ambal. Satu ambal berarti sekali take off dan landing. Garuda memilih alternatif pertama. Alasannya, sekali masuk hanggar, bisa aman seterusnya. Ketimbang pesawat harus bolak-balik masuk hanggar, yang bisa mengganggu jadwal penerbangan. Proyek seksi 41 itu dikerjakan oleh awak Garuda dibantu oleh teknisi dari IPTN Bandung. Dalam proyek itu, sekitar 140 potong frame baru, terbuat dari logam Alloy 7075 yang tebalnya 0,05 inci, diganti dengan Alloy 2024 yang tebalnya 0,063 inci. Pada tebal yang sama, menurut Suratman, ahli teknik kawakan yang dipercaya sebagai koordinator proyek itu, Alloy 7075 (campuran aluminium dan seng) lebih keras dan kuat dibanding Alloy 2024 (campuran aluminium dan tembaga). "Tapi Alloy 2024 lebih ulet, sehingga tidak mudah retak," tutur Suratman. Dengan penambahan ketebalan, frame baru itu akan lebih kuat, dan ulet. Keenam jumbo 747 Garuda, secara bergiliran, akan menjalani operasi bedah pada seksi 41-nya. Biaya operasi itu, termasuk harga suku cadang dan materil, ditaksir sekitar US$ 1 juta. "Sebelum musim haji 1990, mudah-mudahan semuanya selesai," tambah Suratman. Kendati Boeing kini dihujani banyak kritik, Widarmana, yang telah 12 tahun berkutat dalam perawatan pesawat, tetap menyukai produk-produk Seattle itu, di samping McDonnell Douglas, dengan seri DC-nya. "Support suku cadang dan bantuan teknik dari mereka sangat membantu pekerjaan kami," ujar alumnus Jurusan Mesin ITB 1976 itu.PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini