RUANG tamu rumah Yanti, istri kedua Jusuf Randy, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin pekan ini, meriah. Di situ ada sebuket mawar merah muda. Di sela-sela kembang perlambang "cinta" itu terselip sebuah kartu kecil dengan kata-kata: "Welcome Home," dari Mama, Putut, Cindy -- dua nama terakhir adalah anak tiri dan anak kandung Jusuf dengan Yanti. Tak banyak yang tahu bahwa si "raja komputer" Jusuf Randy alias Thomas Tamzil, 47 tahun, siang itu "dilepaskan demi hukum" dari tahanan Polres Jakarta Selatan. Terpaksa ia dilepaskan karena hak polisi untuk menahan tersangka selama penyidikan (60 hari) telah habis. Sementara itu, berkas perkara bekas bos LPKIA (Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika) itu masih belum rampung. Penangkapan Jusuf oleh polisi Polres Jakarta Selatan, 6 Januari lalu? sempat menggegerkan. "Ahli" komputer yang dikenal "rajin" berderma itu, tiba-tiba ditahan dengan tuduhan memalsukan identitasnya, berupa KTP, paspor, dan akta kelahiran. Jusuf -- yang warga negara Jerman Barat -- juga disangka memalsukan status WNI-nya. "Dengan pemalsuan itu, Jusuf Randy bisa dituntut enam tahun penjara," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Dimyati. Sebenarnya berkas pemeriksaan polisi telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, 17 Februari lalu. Dalam berkas itu, dimasukkan pula tertuduh lain: Rochmani dan Abdul Rojak. Kedua orang itu dituduh membantu Jusuf mengusahakan identitas palsu itu -- mereka sudah ditahan luar sejak beberapa waktu lalu. Tapi, pekan lalu, pihak kejaksaan mengembalikan berkas itu ke polisi. "Ketiga tersangka itu harus displit (berkasnya dipisah)," kata sumber TEMPO di Kejaksaan Jakarta Selatan tentang alasan pengembalian itu. Nah, akibat pengembalian itu, sampai pekan ini polisi tak kunjung rampung memberkaskan perkara itu. Padahal masa penahanan selama 60 hari -- sesudah diperpanjang Kejaksaan selama 40 hari-- telah berlalu. Demi hukum, sesuai KUHAP, Senin siang pekan ini, terpaksa Jusuf dilepaskan. "Dia bebas dengan syarat wajib lapor," kata sumber di Polres Jakarta Selatan. Jusuf dikenakan wajib lapor seminggu dua kali. Begitu bebas, Jusuf menuju ke rumah mertuanya di Jalan Benda, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah itu ia baru ke rumahnya bersama Yanti. Ditemui TEMPO di rumahnya di Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, Jusuf mengenakan baju semarak. Ia bercelana panjang cokelat dengan garis tipis. Bajunya warna hijau dan biru bermotif kembang corak Hawaii. Ia tampak cerah menyambut TEMPO di teras rumahnya. "Saya tidak bersembunyi bukan? Tapi saya belum mau kasih komentar dulu. Saya masih belum berpikir apa-apa," katanya mengelak. Ia juga tak mau berkomentar tentang kasus korupsi di Perumtel yang menyeret Boy Tamzil dan, kabarnya, juga melibatkan namanya. Ia merasa belum waktunya untuk bicara. Sebab, segala omongannya akan menyangkut masa depannya. "Hari ini saya baru keluar, ya, lumayan...gembira," katanya cerah. Sementara itu, Senin pekan lalu, berkas perkara korupsi di Perumtel sudah dilimpahkan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat ke Pengadilan Negeri Bandung. Penyidikan kasus korupsi sekitar Rp 2,3 milyar dalam pengadaan barang-barang Perumtel pada 1979-1981 itu -- dengan tersangka Boy Tamzil -- mula-mula berjalan seret. Kendati ketika itu BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) menemukan ketidakberesan, pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat -- yang memeriksa kasus itu -- menghentikan penyidikan. Alasannya: kasus ini bukan tindak pidana. Pada 13 November 1987 penghentian itu disetujui Jaksa Agung (waktu itu) Hari Soeharto. Baru saja Jaksa Agung Sukarton dilantik, sebuah surat pengaduan dilayangkan seseorang ke Kotak Pos 5000. Isinya, kembali membeberkan manipulasi itu. Akibat surat itu, Kejaksaan Agung dan BPKP mengusut kembali kasus itu. Hasilnya: tim penyidik memang menemukan manipulasi dengan tiga orang terdakwa: bekas Direktur Perlengkapan Perumtel (1978-1981) Soemardi, 60 tahun bekas Direktur Perlengkapan Perumtel (1981-1983) I Gusti Ngurah Oka, 59 tahun dan Direktur Fa Marathon Boy Tamzil, 39 tahun. Di antara 31 orang saksi terdapat bekas Dirut Perumtel Ir. Willy Munandir. Tim penyidik juga menemukan ketidakberesan pada 34 kontrak pengadaan barang-barang Perumtel oleh rekanannya, Fa Marathon. Dari semua kontrak itu hanya satu yang memakai proses tender, sisanya berdasarkan penunjukan langsung. Itu bisa terjadi, konon, berkat persekongkolan antara kedua pejabat Perumtel itu dengan Boy Tamzil. Dengan begitu, Boy Tamzil bisa seenaknya menentukan harga barang hingga mencapai dua kali. Sebagai contoh: mesin stensil DF Rex Rotary ex Jerman tipe D.490 elextronic, termasuk perlengkapannya, dijual ke Perumtel dengan harga Rp 4,64 juta. Padahal barang yang sama dijual oleh Java Store di Bandung -- toko kebutuhan alat-alat kantor milik ayah Boy Tamzil, Awat Tamzil -- Rp 2,92 juta. Berkat permainan ini Fa Marathon -- rekanan Perumtel sejak 1977 -- menurut pemeriksa, mengkorup Rp 2,388 milyar dari nilai kontrak yang Rp 3,964 milyar. Dalam berkas pemeriksaan terungkap bahwa 33 kontrak tak ditenderkan karena kedua direktur ini menyebutkannya sebagai barang spesifik -- berdasar mereknya yaitu merek Marathon dan Rex Rotary. Padahal "barang spesifik" itu dengan merek aslinya berserakan di pasaran umum. Penyidik juga menemukan bukti bahwa mesin-mesin Marathon dan Rex Rotary -- yang diageni Fa Marathon -- tak ada pabriknya di Jerman. "Pabrik di Jerman itu fiktif," kata Jaksa Agung Sukarton. Dengan begitu, proforma invoice -- harga barang yang dikeluarkan pabrik dan masih bisa ditawar -- yang disampaikan ke Perumtel adalah palsu. Atas tuduhan itu, Boy Tamzil pernah membantah. Fotokopi Marathon itu, katanya, milik Josef Giesen ada di Kota Muenchengladbach, Jerman Barat. Tapi perusahaan itu bangkrut pada 1984. "Semuanya asli, tak ada yang palsu atau dipalsukan," katanya kepada TEMPO. (TEMPO, 10 September 1988). Karena merasa tak bersalah itu pula Boy Tamzil pernah menantang Jaksa Agung, "Apa berani Kejaksaan melimpahkan perkara ini." Tapi, anehnya, menjelang perkaranya diajukan ke pengadilan, atau sejak bulan lalu, Boy Tamzil menghilang. Istrinya mengaku tak tahu di mana suaminya. Jaksa Agung pun menyatakan Boy buron. "Kalau ada warga yang tahu, laporkan segera. Kalau ada fotonya, pasang di surat kabar. Dia itu dicari," katanya kepada TEMPO, dengan geregetan. Padahal, kata Sukarton, perkara itu kan masih harus dibuktikan di sidang, "Kalau dia kesatria, muncullah, jangan menghilang seperti itu," kata Sukarton. Sementara itu, Soemardi -- salah seorang tersangka bekas Direktur Pengadaan Perumtel -- yang dihubungi TEMPO, lebih memilih diam. "Saya lebih baik diam. Soalnya, saya tidak tahu persis, saya takut salah," kata Soemardi, yang pensiun sejak lima tahun lalu. Selain menuduh ketiga orang tadi melakukan korupsi, pihak kejaksaan juga menyita berbagai barang yang dianggap hasil dari kejahatan itu -- di antaranya tiga buah rumah milik Boy di Jalan Naripan No. 42, 44, dan 51 Bandung. Selain itu, kejaksaan juga menyita rumah milik Awat Tamzil di Geger Kalong, Bandung. Penyitaan tanah dan rumah seluas 1.702 meter itu, seperti dijelaskan Humas Kejati Jabar Azhar Harun, karena kaitannya dengan Fa Marathon. Akibat penyitaan itu Awat -- melalui Pengacara Dullah Sudarso -- mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung. Sebab, katanya, rumah itu dibelinya dari uang hasil jerih payahnya bekerja selama 60 tahun plus tambahan penjualan barang-barang warisan dari orangtuanya. Jadi, bukan uang Boy Tamzil. "Saya bisa mengajukan saksi-saksi," kata Dullah Sudarso. Tentunya, bukan pula dari uang Jusuf Randy?Widi Yarmanto, Linda Djalil, Meobanoe Moera, Muchsin Lubis, dan Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini