Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Buntut Kasus Jual Beli Ginjal, KPCDI Soroti Pentingnya Lembaga Donor Organ

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga khusus donor organ setelah kasus TPPO jual-beli ginjal.

24 Juli 2023 | 22.22 WIB

Ilustrasi ginjal. Shutterstock
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi ginjal. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir mendesak pemerintah untuk segera membentuk lembaga khusus donor organ. Desakan ini diutarakan setelah polisi menetapkan 12 orang sebagai tersangka dalam kasus penjualan organ ginjal jaringan Kamboja di Kecamatan Tarumaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada Jumat, 20 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tony mengapresiasi langkah kepolisian dalam menindakan tegas para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). “Kita bersepakat dan mendukung aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan dan ini harus diapresiasi,” kata dia dalam keterangannya, Senin, 24 Juli 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meski begitu, menurut Tony, penindakan ini bukan akhir dari kasus-kasus perdagangan manusia—dalam hal ini penjualan organ ginjal. Ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, kejadian serupa terus saja berulang dan menandakan adanya kelemahan sistem dari negara dalam melindungi segenap kepentingan warganya untuk kesehatan.

Tony menyebut ginjal sebagai salah satu organ dalam yang paling diminati oleh banyak pihak. Sebab, bagi orang dengan penyakit ginjal kronik dan sedang menjalani hemodialisis atau terapi cuci darah, transplantasi ginjal menjadi satu-satunya cara jika ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Tidak hanya itu, transplantasi ginjal membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan cuci darah seumur hidup. Contohnya, untuk sekali cuci darah pasien membutuhkan anggaran sekitar Rp 1 juta dan harus dilakukan dua sampai tiga kali dalam satu pekan. Jika ditotal, dalam satu tahun pasien cuci darah bisa menghabiskan anggaran ratusan juta.

Sementara itu, untuk satu kali transplantasi ginjal, biaya yang saat ini ditanggung oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp 400 juta.

“Seharusnya ini bisa jadi jalan keluar bagi negara. Dari kasus ini kita belajar bahwa sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga khusus donor organ, sama halnya seperti donor darah,” kata Tony. “Mau donor darah sukarela, datangnya ke PMI. Begitu juga dengan donor ginjal, ada lembaga mengaturnya.”

Tony pun melihat berulangnya kasus seperti ini sebagai bentuk lambatnya implementasi ragam kebijakan yang dilakukan pemerintah. Apalagi ketiadaan lembaga donor organ membuat banyak pendonor di Indonesia kebingungan dalam hal mendonorkan organnya.

Akibatnya, para pendonor dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab. "Ini salah satu bentuk lambatnya pemerintah untuk mengeksekusi dari setiap kebijakan yang sudah ada. Akibatnya, donor ilegal semakin marak dan sulit untuk ditekan,” kata Tony.

Atas dasar tersebut, Tony mewakili KPCDI mendesak pemerintah untuk segera membentuk lembaga donor organ agar proses pendonoran lebih transparan dan aman bagi para pendonor. Ia juga mengusulkan pemerintah membuat sistem daftar tunggu pasien, registrasi donor, skala prioritas dan kartu pendonor agar pendataannya profesional.

Jika kejadian jual-beli ginjal ini tidak menjadi pembelajaran bagi pemerintah, Tony khawatir akan muncul ketakutan bagi banyak orang yang ingin mendonorkan organnya secara sukarela. Menurut dia, pihak rumah sakit dan dokter juga bisa saja menolak melakukan operasi transplantasi ginjal lantaran khawatir organ yang didapatkan terindikasi dari donor ilegal.

“Jangan sampai orang baik yang ingin mendonasikan ginjal secara sukarela jadi takut karena dicurigai ada unsur jual beli organ. Begitu juga rumah sakit dan dokter, akhirnya menolak calon resipien dan donor yang bukan dari keluarga. Padahal, keselamatan pasien adalah hukum tertinggi di negeri ini,” kata Tony.

Nabiila Azzahra

Nabiila Azzahra

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menjadi reporter Tempo sejak 2023 dengan liputan isu internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus