ALHAMDULILLAH. Kamis, 29 Desember, berlalu dengan tenang di kota
Palu, Sulawesi Tengah. Kota itu sejak awal Desember sudah
diharu-biru cerita gempa dan tsunamL Menurut desas-desus, gempa
yang dibarengi gelombang pasang akan menyapu kota di ketiak
Teluk Palu itu dari rmuka bumi, semacam Sodom dan Gomora dalam
kisah Perjanjian Lama.
Penduduk sudah kebingungan. Ada yang mengungsi ke desa jauh.
Kadang dengan lebih dulu menjual rumah dan ladangnya, di
pinggiran kota itu. Yang berduit, sudah hijrah ke Ujungpandang
jauh sebelum "hari-H"--yang menurut desas-desus, akan jatuh
tanggal 29 Desember. Dan bagi penduduk yang masih tetap tinggal
di kota hari Natal diliputi suasana tegang. Di gereja GPIB Pniel
misalnya, wartawan Sinar Harapan bersama jemaat
Kristen-Protestan menyimak khotbah pendeta Lagimpo yang mohon
Tuhan melindungi penduduk kota itu dari palu-godam gempa bumi.
Apinya Dari Mana
Karuan saja Pemda Sul-Teng kebingungan: dari mana datangnya
berita hari-H 29 Desember itu? Setelah dicek kian ke mari,
ternyata cerita itu"tak berdasar." Stasiun Meteorologi di Palu
maupun Pusat Meteorologi dan Geofisika (PMG) di Jakarta yang
dihubungi per telepon, dua-duanya memberikan jawaban negatif.
Tak kedapatan bukti kegiatan gempa di lembah Palu di bulan
Desember.
Tapi, asap itu memang (pernah) ada apinya. Baru sebulan
sebelumnya, ahli geologi Prof. J.A. Katili kasih ceramah di
Palu. Katanya, bagian utara lembah Palu merupakan daerah rawan
gempa dan tercatat sebagai salah satu daerah dengan kegiatan
tektonis tertinggi di Indonesia. Makanya sang profesor
memastikan, suatu saat lembah Palu "akan mengalami gempa
dahsyat." Ditunjuknya kejadian 14 Agustus 1968 ketika Palu dan
daerah sekitarnya dilanda gempa berikut gelombang pasang yang
menyebabkan 200 nyawa melayang.
Ceramah itu pun mengembara di antara masyarakat kota. Kebetulan,
Kamis 22 Desember. ada yang menyetel Radio Australia. Kata
penyiar siaran berbahasa Indonesia radio itu, "Iran kemarin
dilanda gempa bumi." Lewat jalur komunikasi dari mulut ke
kuping, kata "Iran" tambah kaya satu huruf saja menjadi "Iran."
Wah, berarti ancaman gempa tambah dekat. Kebetulan pula, hanya 9
hari setelah gelombang pasang melanda pantai Lombok dan Sumbawa
Selatan, 50 Km sebelah selatan kota Palu ikut 'ketularan' gempa
ringan dengan kekuatan 5 pada skala Richter. Dan lahirlah kisah
malapetaka itu.
Untunglah, kekuatan nun jauh di bawah tanah masih mengizinkan
penduduk kota Palu memasuki Tahun Baru 1978, tanpa guncangan.
Setelah itu? Entahlah.
Sebab betapapun, Prof. Katili--yang pernah memberikan peringatan
senada di kota kelahirannya sendiri, Gorontalo --bukan sekedar
menakut-nakuti. Data PMG maupun Direktorat Geologi Departemen
Pertambangan sama-sama menunjukkan, betapa besarnya 'bakat
terpendam' di sekitar lembah Palu.
1927
-- Palu sudah dilanda tsunami, yang mengakibatkan banyak
kerugian jiwa dan harta benda di daerah pantai.
1968
-- gelombang laut setinggi 8 - 10 meter melabrak pantai
Donggala, Teluk Mapaga dan Pulau Tuguan sejauh 300 meter. Hampir
800 rumah rakyat binasa. diiringi 200 nyawa--kebanyakan nelayan
- tamat riwayatnya,
1969
-- gelombang pasang melanda tiga desa pantai di kabupaten
Majene, Sulawesi Selatan, ratusan kilometer di selatan Donggala.
10 September 1975
-- gempa melanda pulau Una-Una di Teluk Tomini, ratusan
kilometer di timur Palu. Kekuatannya hanya 4,7 skala Richter,
tapi sempat merusak fundasi bangunan. Tsunami sempat juga
melanda Una-Una di tahun 1960-an, ketika penduduk keliru
menyangka pensiunan vulkan di pulau itu mau meletus.
28 Agustus 1977
-- gempa ringan (5 skala Richter) terjadi di daratan, 50 Km di
selatan kota Palu. Menurut catatan PMG, gempa serupa terasa pula
di daerah yang sama bulan Mei dan Juli sebelumnya.
27 Nopember 1977
-- hanya beberapa hari setelah ceramah Prof. Katili, gempa
dengan kekuatan 5,9 skala Richter menggelitik daerah itu.
Daerah itu rawan, karena Teluk Palu dan lembah sungai Palu
(sungai Karo) terletak di patahan (fault) sepanjang 1000 Km
yang mengiris pulau Sulawesi dari Palu sampai Teluk Bone.
Patahan Palu itu, menurut teori tektonik lempeng, merupakan
batas dari satu lempeng kecil (micro-plate) yang di kawasan
perairan Sulawesi Utara dijepit dari utara dan selatan oleh
beberapa lempeng kecil lainnya. Lempeng-lempeng itu saling
menghunjam pada kedalaman tak seberapa, membuat kawasan pantai
sepanjang jazirah Sulawesi Utara dari Palu sampai Manado dan
Sangihe-Talaud cukup rawan bagi gempa bumi.
Pengamat Gempa
Mungkin itu sebabnya, Prof. Katili dalam ceramahnya-yang
ternyata menghebohkan di kota Palu menyarankan agar "konstruksi
bangunan diperhatikan betul." Tentunya itu tak cukup.
Perlindungan terhadap kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan
Donggala, Gorontalo dan pelabuhan pantai lainnya yang terbuka,
juga diperlukan.
Sementara itu Katili pernah mengusulkan pemasangan 10 macam alat
pengukur denyutan bumi sepanjang patahan aktif seperti yang
menghubungkan Palu dan Teluk Bone (Palopo) itu. Namun di samping
peralatan rumit yang hanya dapat dilayani para ahli lepasan
akaderni, pemerintah setempat mungkin bisa juga melatih pengamat
gempa bumi amatir, yang dapat mengendus bahaya bawah tanah
melalui pengamatan tinggi muka laut, tinggi dan suhu air sumur,
serta kelakuan hewan. Latihan semacam ini, yang dibarengi pula
dengan latihan penanggulangan akibat gempa, telah digalakkan
oleh almarhum Chou Enlai di Tiongkok, setelah gempa dahsyat di
Hsingtai, 1966. Dari pada sekedar panik mendengar ceramah
seorang profesor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini