Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Rachma Wikandari sukses memperoleh penghargaan dan hibah dana penelitian senilai Rp 100 juta dari L'Oreal - UNESCO For Women in Science 2024. Wikandari memenangkan kategori life-science dengan penelitiannya mengenai meat analogue dari jamur tempe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wikandari dalam penelitiannya berfokus pada peningkatan kandungan mineral dari mikroprotein yang terdapat pada jamur tempe. Temuannya mengungkap bahwa selain menjadi alternatif protein, jamur tempe memiliki protein sebesar 19 persen, selisih 2 persen dari protein yang terdapat pada daging. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi pada tempe tidak jauh berbeda dengan nutrisi pada daging.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, jamur tempe juga memiliki asam amino esensial yang lebih lengkap daripada sumber protein nabati lain. Serat pada jamur tempe dinilai lebih tinggi daripada daging sehingga olahan ini baik untuk kesehatan saluran pencernaan, dilansir dari situs web UGM pada Jumat, 22 November 2024.
Perihal proses pembuatannya, jamur tempe dianggap lebih ramah lingkungan dan efisien daripada sumber protein lain, baik hewani maupun nabati. Hal ini tercermin dari pemanfaatan air sisa rebusan kedelai yang digunakan salah satu pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu untuk menumbuhkan jamur tersebut.
Bukan hanya mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah industri makanan, jamur tempe bahkan hanya membutuhkan waktu dua hari untuk kemudian dapat dipanen. "Kalau bisa, kita menghasilkan protein yang menggunakan sumber daya alam paling minimal, menggunakan sedikit air, sedikit lahan, dan bisa tumbuh dengan cepat," katanya.
Dalam upaya mengembangkan jamur tempe ini, Wikandari bekerja sama dengan universitas dan institusi, baik lokal maupun luar negeri, untuk dapat memberikan hasil terbaik. Selain itu dia juga menggandeng usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) produksi tempe untuk melakukan riset menggunakan limbah rebusan kedelai.
Meski begitu, ide soal jamur tempe dan mengembangkannya telah memakan waktu cukup lama, yaitu empat tahun. Bahkan, ide tersebut sudah terpikir olehnya sejak tahun 2011. "Saya mengutak-atik jamur tempe sudah 13 tahun, tapi kalau jamur tempe yang dijadikan daging tiruan baru sejak tahun 2020," tutur Wikandari, perihal penelitian yang membawanya menyabet penghargaan pada 11 November lalu, di Jakarta.
Wikandari juga mengungkap tahapan seleksi dari L'Oreal - UNESCO For Women in Science. Tahapan tersebut bermula saat dia mengirimkan proposal hasil riset dan karyanya. Terdapat 100 proposal yang masuk, tapi hanya 10 proposal yang lolos seleksi. "Dari 10 proposal itu, kami diminta melakukan presentasi di depan dewan juri untuk memilih empat kandidat terbaik," ungkapnya.
Setelahnya, Wikandari bersyukur atas penghargaan serta dana hibah penelitian untuk risetnya dalam pengembangan protein alternatif daging tiruan dari jamur tempe. la menuturkan bahwa bermacam-macam daging tiruan dapat dibuat menggunakan jamur tempe.
BAYU MENTARI