Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Empat Peneliti LIPI Dikukuhkan Sebagai Profesor Riset

Keempat peneliti LIPI yang dikukuhkan sebagai profesor riset berasal dari bidang zoologi laut, zoologi, botani dan teknologi bioproses.

4 Desember 2019 | 14.15 WIB

Peneliti Teguh Peristiwady dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dewi Malia Prawiladilaga dan Wahyu Widiyono dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, serta Euis Hermiati dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI baru saja dikukuhkan sebagai Profesor Riset di Auditorium LIPI, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019. TEMPO/Khory
Perbesar
Peneliti Teguh Peristiwady dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dewi Malia Prawiladilaga dan Wahyu Widiyono dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, serta Euis Hermiati dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI baru saja dikukuhkan sebagai Profesor Riset di Auditorium LIPI, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019. TEMPO/Khory

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mengukuhkan empat orang peneliti lembaga itu menjadi profesor riset. Empat peneliti tersebut adalah Teguh Peristiwady dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dewi Malia Prawiladilaga dan Wahyu Widiyono dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, serta Euis Hermiati dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI.

Keempat peneliti yang dikukuhkan sebagai profesor riset berasal dari bidang zoologi laut, zoologi, botani dan teknologi bioproses.

Dalam orasi berjudul "Nilai dan Manfaat Taksonomi dalam Perspektif Keanekaragaman Jenis Ikan Laut di Indonesia," Teguh Peristiwady menjelaskan luasnya wilayah perairan membuat Indonesia memiliki nilai keanekaragaman sumber daya hayati ikan laut serta organisme lain yang sangat besar. "Tapi belum ada jawaban pasti berapa banyak jenis ikan laut di perairan Indonesia," ujarnya di Auditorium LIPI, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019.

Teguh melanjutkan, jumlah jenis ikan di dunia sampai saat ini tercatat 38.908 jenis dengan didominasi ikan-ikan dari kelas Actinopteygii (ikan bertulang sejati) dan Elasmobranchii (ikan bertulang rawan), masing-masing berjumlah sebesar 33.649 jenis dan 1.212 jenis. Sisanya merupakan jenis dari kelas Holocephali dan Myxini.

"Selain kelas tersebut, di perairan Indonesia berhasil diidentifikasi satu kelas tambahan ketika ditemukan ikan raja laut Latimeria menadoensis dari kelas Coelacanthi di Manado, Sulawesi Utara," kata Teguh.

Teguh berharap lembaga penelitian dan perguruan tinggi secara terencana melahirkan taksonom-taksonom baru di Indonesia serta membangun museum atau koleksi referensi, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun universitas-universitas di Indonesia.

Sementara Dewi Malia Prawiradilaga memyampaikan orasi berujudul "Keanekaragaman dan Strategi Konservasi Burung Endemik Indonesia." Dewi menyampaikan usulan untuk menguatkan pengetahuan taksonomi dan biosistematika sebagai landasan konservasi khususnya dalam program konservasi burung endemik.

"Saat ini sebagian besar keanekaragaman jenis burung endemik Indonesia sudah diketahui dalam ilmu pengetahuan," tutur Dewi. "Namun, peluang untuk menemukan jenis baru dan pembenahan status jenis yang meragukan masih terbuka terutama di region Wallacea dan Papua, khususnya di lokasi-lokasi yang belum terjelajahi."

Menurut Dewi, kombinasi iptek untuk akurasi jenis dengan karakter morfologi, perilaku, dan genomik (DNA) menjadi sangat penting dan mendesak.

Sedangkan Wahyu Widiyono membahas pendekatan lanskap ekosistem yang meliputi pengelolaan daerah tangkapan air, dan pemeliharaan kolam embung. Selain itu, juga membahas pemanfaatan air secara optimum dan efisien untuk mendukung pengembangan budi daya pertanian secara berkelanjutan pada daerah beriklim kering di Nusa Tenggara Timur.

"Tiga permasalahan utama pengelolaan embung di NTT yaitu degradasi daerah tangkapan air, permasalahan pada kolam embung meliputi tingginya laju sedimentasi, infiltrasi dan evaporasi, retak dan longsoran dinding embung, dan permasalahan pada areal pemanfaatan air," tambah Wahyu dalam orasinya berjudul "Pendekatan Lanskap Ekosistem Embung untuk Pemanfaatan Air Irigasi di Lahan Beriklim Kering Nusa Tenggara Timur."

Adapun Euis Hermiati berorasi dengan judul "Pengembangan Teknologi Konversi Biomassa Menjadi Bioetanol dan Bioproduk sebagai Subtitusi Produk Berbahan Baku Fosil." Dia mengungkapkan biomassa merupakan sumber daya terbarukan yang sangat potensial untuk menghasilkan energi dan bioproduk di Indonesia.

"Melalui teknologi konversi yang tepat, biomassa ini dapat diubah menjadi produk seperti bioetanol yang dapat digunakan untuk substitusi bensin, xylitol sebagai bahan pemanis rendah kalori serta biosurfaktan yang dapat digunakan pada proses sakarifikasi pulp biomassa," tutur Euis.

Euis melanjutkan bahwa teknologi tersebut turut berkontribusi terhadap upaya penerapan konsep kilang hayati untuk menghasilkan bioetanol dan bioproduk yang lebih ekonomis, sebagai bahan substitusi BBM dan produk asal fosil.

"Keberhasilan pengembangan teknologi ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam memenuhi target 23 persen penggunaan Energi Baru Terbarukan pada tahun 2025," kata Euis. "Dan atau target substitusi bensin dengan bioetanol, serta mengurangi impor beberapa produk yang dapat dihasilkan sebagai ko-produk bioetanol."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus