TAK kenal siang atau malam, Van L. Eden, 28 tahun, dan We Liu, 27 tahun, terus menggumuli ruang lab fisika bawah tanah. Secara bergantian mereka mengamati botol-botol reaksi, memeriksa larutan, dan memelototi layar komputer, yang dengan telaten mencatat perkembangan dalam botol, sekecil apa pun. "Kami bekerja 24 jam sehari," ujar Eden, mahasiswa fisika program pascasarjana pada Universitas Washington, Seattle, Amerika Serikat. Sampai hari ketujuh, gejala fusi, bergabungnya dua inti atom, yang mereka tunggu dengan harap-harap cemas, tak kunjung muncul. Tak terlihat adanya zarah neutron yang terdeteksi komputer. Pula, tak tercatat adanya percikan panas yang bisa menjadi isyarat adanya reaksi fusi. Berhasil atau gagal, "Kami hanya akan bekerja selama 10 hari," kata Eden, seperti dikutip New York Times, pekan lalu. Kedua mahasiswa itu memang boleh disebut bereksperimen tanpa target. Mereka cuma mencoba-coba saja, siapa tahu bisa berhasil menatap zarah neutron terhambur dari botol reaksi. Tapi semangat mereka tetap menggebu, sebagaimana diperlihatkan Eden, yang sepanjang hari mondar-mandir di lab sembari membuka-tutup catatan pemandu riset. "Ini betul-betul pekerjaan gila. Tapi saya seperti keranjingan" ujar Eden. Kegilaan melakukan eksperimen reaksi fusi, seperti dikerjakan Eden, kini memang tengah melanda ratusan, bahkan diduga ribuan, lab di Amerika dan Eropa. "Demam" eksperimen itu seperti meledak, setelah Prof. Stanley B. Pons, guru besar kimia pada Universitas Utah, Amerika, dan Dr. Martin Fleischmann, ahli elektrokimia dari Universitas Southampton, Inggris, diberitakan telah meraih sukses mereka yasa reaksi fusi itu. Berita keberhasilan itu meluncur dari mulut Prof. Pons dan Dr. Fleischmann sendiri, lewat konperensi pers yang diadakan di Salt Lake City, AS, 26 Maret lalu. Cerita penemuan kedua ahli itu serta-merta menjadi berita besar. Maklum, mereka mengaku mereka yasa reaksi inti atom itu tanpa perlakuan suhu ekstra tinggi, suatu hal yang selama ini dianggap mustahil. Tentu saja, penemuan itu dianggap sebagai terobosan baru yang mahapenting. Reaksi fusi membentuk helium, versi Fleischmann dan Pons, bisa dibikin lewat prosedur sederhana. Cukup dalam sebuah botol plastik berisi air berat, yakni jenis air yang menggunakan deuterium, isotop hidrogen, untuk menggantikan H pada ikatan H20-nya. Ke dalam air berat itu dicelupkan dua kutub elektrode, platinum dan palladium. Jika muatan listrik dilewatkan ke kedua elektrode itu, dua deuterium akan berfusi membentuk helium di dalam kisi-kisi batang palladium, sembari melepas panas, zarah neutron, dan sinar gamma. Kehadiran zarah subatomik itu bisa dideteksi berkat adanya sensor penjejak neutron, yang dihubungkan dengan komputer. Sejumlah panas yang timbul dari reaksi itu juga tercatat oleh komputer yang sama. Bila fakta yang dipaparkan oleh Pons dan Fleischmann itu tak melenceng dari peristiwa yang sebenarnya, sungguh sebuah lompatan besar dalam teknologi atom telah terjadi. Reaksi fusi deuterium menjadi helium itu nyaris sama dengan peristiwa yang terjadi di dapur matahari. Lewat fusi itulah matahari berpijar, menghasilkan energi untuk jagat raya ini. Namun, ada satu hal yang sangat berbeda. Fusi deuterium dalam perut matahari berlangsung berkat adanya panas yang luar biasa besar, yakni sampai 14 juta derajat C. Berdasarkan kenyataan itu, para teoretisi fisika atom berkeyakhlan bahwa fusi itu memang mensyaratkan suhu setinggi itu, atau paling tidak mendekati suhu perut matahari. Rekayasa reaksi inti hidrogen itu pernah pula dapat diciptakan orang, lewat proyek bom hidrogen. Namun, bom ini masih menggunakan prinsip matahari: fusi itu perlu didorong oleh suhu tinggi. Itulah sebabnya, dalam bom hidrogen masih disertakan sejumlah bahan radioaktif yang bisa meledak, menghasilkan panas hingga 3,5 juta derajat C, untuk merangsang terjadinya fusi hidrogen. Keistimewaan reka yasa Fleischmann dan Pons adalah menanggalkan faktor suhu ekstratinggi itu. Metode eksperimen yang simpel itu rupanya mengundang minat ribuan ahli, juga peneliti amatiran, mencoba mengikuti jejak kedua Fleischmann dan Pons. Hingga pekan lalu, menurut Prof. Pons, seperti dilaporkan majalah The Economist, ada 60 kelompok periset yang mengklaim telah berhasil meniru prestasi kedua ahli kimia tadi. Termasuk di antara mereka, tim periset dari Universitas Stanford. Rekayasa Pons dan Fleischmann sempat pula mengundang keraguan. Ada ahli yang mengganggap bahwa panas yang dihasilkan dalam botol eksperimen itu berasal dari reaksi kimia biasa. "Di situ mungkin saja terjadi reaksi antara hidrogen dan oksigen, dan menghasilkan panas," ujar seorang ahli kimia dari Georgia Institute of Technology, Atlanta. Lantas, soal percikan neutron itu? "Yang terukur kan kecil sekali, boleh jadi neutron itu berasal dari radiasi kosmis," tambahnya. Para pengritik menilai, jumlah energi yang muncul dari eksperimen Pons dan Fleischmann terlalu kecil untuk dikatakan berasal dari reaksi fusi. Pasalnya, reaksi fusi itu potensial menghasilkan energi mahabesar. Jadi, dengan modal sebotol air berat itu, "Energi yang timbul sudah cukup untuk membuat ledakan yang merusak," kata pengritik dari Universitas Yale. Namun, soal ledakan tak ada dalam laporan Pons maupun Fleischmann. Lepas dari soal yakin atau ragu, gejala yang dikemukakan oleh Pons dan Fleischmann itu hingga kini masih sulit untuk dijelaskan secara teoretis. Kendati demikian, proses fusi dingin (tanpa perlakuan panas) itu kini mulai mengibarkan harapan: membuka sumber energi baru. Deuterium tersedia secara murah, baik di daratan maupun di lautan. Hal lain yang perlu dicatat, proses fusi itu praktis tak menghadirkan limbah radioaktif, sebagaimana reaktor-reaktor nuklir yang kini banyak berserakan. Bahkan, material reaksi fusi itu bisa didaurulangkan: proton-proton, yang berhamburan setelah terbentuknya helium, akan saling menumbuk, lalu terbentuklah deuterium baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini