SAYA sendiri tidak berniat menonton Opera Cina. Namun, saya ikut kaget mendengar larangan mendadak pementasan Opera Cina itu di Gedung Kesenian Jakarta dua pekan lalu. Alasan resmi sudah dikemukakan, dan tak ada ribut-ribut, maka tulisan ini lebih bertujuan untuk mengungkapkan renungan yang timbul dari peristiwa itu. Latar belakang kasus seperti ini sering merupakan masalah sosiologis dan budaya. Saya di sini ingin berbicara tentang politik exorcism Exorcism berarti cara pengusiran setan dari tubuh manusia yang kemasukan iblis, seperti dalam film terkenal The Exorcist. Politik exorcism mirip dengan tindakan mengusir setan itu. Kadangkala, dalam saat-saat revolusi, perang, atau krisis, semacam politik exorcism berlangsung terhadap unsur "kebudayaan musuh." Dalam zaman Revolusi Kebudayaan di RRC, misalnya, ada larangan terhadap musik klasik Barat. Di negeri kita sendiri contohnya juga banyak. Gejala pertama terjadi di tahun 1940, ketika Nederland diduduki Jerman. Bahasa Jerman di sekolah di Hindia Belanda pun dihapus dari kurikulum. Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan Barat lainnya. Dalam masa pasca-kolonial, di masa "Orde Lama", musik "ngak-ngik, ngok" (lagu-lagu pop Barat) dan film Amerika dilarang. Juga ada exorcism terhadap unsur Cina, seperti huruf Cina dan lainnya, ketika terjadi krisis politik dalam hubungan Indonesia-RRC setelah peristiwa G30S, di mana diduga RRC terlibat .... Tapi semangat anti-Cina juga berakar dalam di masyarakat Indonesia. Perasaan anti-Cina ini tak bersifat rasial dan antikebudayaan Cina. Ia sebenarnya berasal dari sikap kebanyakan masyarakat petani (bukan masyarakat petani Jawa atau Indonesia saja), terhadap orang kaya yang berada di perekonomian uang, khususnya terhadap pedagang. Orang kaya di masyarakat Indonesia dianggap memiliki tuyul atau memiliki pakta dengan iblis. Kalau ada suatu minoritas berfungsi sebagai golongan perantara dalam ekonomi, maka dengan mudah masyarakat petani subsistens (serba kurang) akan melihat si minoritas sebagai iblis, dan perlu diadakan ritus exorcism untuk mengusirnya dari tubuh masyarakat. Biarpun kepercayaan akan tuyul ini kepercayaan rakyat, sebenarnya kebudayaan rakyat ini berpengaruh di kalangan pejabat dan golongan atas lain yang bukan petani-subsistens. Bagaimanapun, golongan atas ini berasal dari rakyat. Memang, tidak selamanya hal itu nampak. Di masa Orde Baru, biarpun ada politik anti-huruf Cina, ada pembatalan Opera Cina dan lain-lain, sekarang ini usaha pembauran cukup baik. Selama Orde Baru kelihatan bahwa golongan menengah Cina dan para usahawannya punya cukup kepercayaan terhadap hari depan di sini, seperti diungkapkan dalam gaya hidup, termasuk pemilikall rumah mewah dan lain-lain. Suatu golongan minoritas yang tak bertekad untuk menjadikan Indonesia nasib mereka tak akan bertindak demikian. Juga sikap demikian umumnya tak menunjukkan adanya pelarian modal ke luar negeri. Apa saja masalah Indonesia kini, apa itu masalah anti-asing, anti-Cina, suksesi, demonstrasi mahasiswa, dan sebagainya, ia akan berkisar pada pemberian ketenteraman dan jaminan keuntungan bagi modal kapital. Kini, baiklah dilihat soal Opera Cina sendiri. Sebenarnya, dilihat dari sudut kebudayaan. Opera Cina adalah sesuatu yang eksotis sekali bagi kebudayaan Cina-perantau. Cina-perantau berasal dari kalangan rakyat, sedangkan Opera Cina adalah hasil dari kebudayaan keraton Beijing. Opera Cina bagi perantau sama jarah1ya dengan tarian bedoyo atau serimpi bagi masyarakat petani Jawa. Biarpun dikatakan ada "implikasi politis" sebagai sebab pembatalan Opera Cina, saya yakin pembatalannya ini bukan pernyataan permusuhan, khususnya dalam tahun "Diplomasi Kebudayaan" Indonesia dan pun juga bukan gejala eJorcism terhadapnya. Buktinya: tak ada pembatasan terhadap film Cina atau restoran Cina. Pada tahun 1965-1966, dalam masa permusuhan kita dengan Cina, suatu birokrasi exorcism memang didirikan. Seperti lazimnya birokrasi, biarpun sebenarnya ia sudah kehilangan semua tujuan maupun fungsinya, ia tetap harus berjalan, dan kadang kala harus menunjukkan bahwa ia masih harus berfungsi. Birokrasi semacam ini bukannya tak mengerti kepentingan nasional, namun sebenarnya tak lagi berpijak pada perubahan nyata. Kemauannya adalah baik namun ia juga memiliki kepentingan sendiri. Di Rusia kini ada seruan perestroika, dan di Cina bahkan anjuran ke kapitalisme, guna menghadapi birokrasi yang memacetkan segala usaha modernisasi. Di Indonesia pun ada seruan serupa. seperti deregulasi dan debirokratisasi. Ini menunjukkan bahwa sebuah negeri menghadapi masalah kepentingan birokrasi yang kuat. Di sini saya kira terletak masalah pembatalan Opera Cina. Banyak keputusan mengenai masalah Cina sampai kini diambil oleh pejabat yang hampir mencapai usia pensiun, artinya dari generasi yang sedikit banyak mengalami zaman revolusi dan bahkan masa kolonial. Namun. kini ada satu generasi baru, yang selamanya hidup sebagai orang Indonesia dan tidak mengenal apa-apa selain Indonesia. Justru kini diperlukan suatu sikap lebih santai terhadap unsur-unsur kebudayaan Cina guna memperlancar pembauran. Apalagi kini hidup dalam dunia yang makin sempit, di mana kadang kala komunitas internasional harus mengalahkan masalah komunitas nasional demi kepentingan komunitas nasional itu sendiri. Ada pendekatan antara Taiwan dan RRC, hal yang paling ajaib, mengingat dalamnya sebab sejarah yang memisahkan dua pihak golongan, namun pendekatan antara keduanya ini juga semata-mata disebabkan karena modal dan bisnis, serta akibat dari gejala umum sekarang, yakni pengurangan ketegangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini