Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Molnupiravir, calon obat Covid-19 buatan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat Merck, ramai dibicarakan karena dalam hasil penelitiannya dapat mengurangi rawat inap dan kematian hingga setengahnya pada pasien infeksi. Perusahaan juga akan meminta pejabat kesehatan di Amerika dan di seluruh dunia untuk mengizinkan penggunaan obat berbentuk pil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan bahwa sejak tahun lalu obat untuk Covid-19 sudah banyak dibicarakan. Menurutnya, ada berbagai obat yang tadinya dianggap menjanjikan, tapi setelah penelitian mendalam, ternyata obat-obatan itu tidak terbukti memberikan manfaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Itu berdasarkan penelitian mendalam dalam bentuk Solidarity Trial dari WHO di puluhan negara,” ujar dia, Senin, 4 Oktober 2021.
Menurut Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu, penelitian untuk mendapatkan obat antiviral yang tidak disuntik atau obat oral sudah banyak dilakukan. Pada January 2021 misalnya, Kementerian Kesehatan Amerika mengumumkan investasi US$ 3 miliar untuk mendapatkan obat baru Covid-19, utamanya yang dalam bentuk oral.
“Disebutkan dana ini adalah untuk seluruh proses menemukan (discovery), pengembangannya (development), dan sampai dengan produksinya (manufacturing),” katanya lagi.
Sementara, Tjandra melanjutkan, produsen Merck beserta mitranya Ridgeback Biotherapeutics mengumumkan hasil penelitian obat mereka, Molnupiravir (MK-4482, EIDD-2801). Ini adalah obat antiviral yang dalam hasil penelitian interimnya menunjukkan penurunan sebesar 50 persen angka perawatan di rumah sakit, juga mencegah kematian akibat Covid-19, pada pasien derajat ringan dan sedang.
Datanya menunjukkan 7,3 persen pasien (28 orang) yang mendapat Molnupiravir (dari 385 orang) yang dirawat di rumah sakit sampai hari ke-29 penelitian. Sementara itu, pada mereka yang tidak mendapat Molnupiravir, artinya dapat plasebo saja (377 orang) ada 53 orang (14,1 persen) yang harus masuk rumah sakit, jadi sekitar dua kali lipat lebih banyak.
Selain data masuk rumah sakit, yang tidak dapat Molnupiravir sebanyak 8 orang yang meninggal. “Sementara dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke-29 penelitian ini dilakukan,” tutur Tjandra.
Sampel penelitian adalah pasien Covid-19 ringan dan sedang, dengan onset gejala paling lama lima hari (tadinya pernah di rancang untuk tujuh hari lalu diturunkan menjadi lima hari). Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40 persen sampelnya bahwa efikasi Molnupiravir adalah konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu.
Secara umum efek sampingnya adalah seimbang antara yang dapat Molnupiravir dan plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen. Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko, atau yang biasa dikenal dengan komorbid. “Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua atau lebih dari 60 tahun,” ujar dia.
Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta menerangkan, hasil interim uji klinik fase 3 kabarnya akan diproses untuk kemungkinan izin edar dalam bentuk Emergency Use of Authorization (EUA) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA), yang tentu nanti akan menilai semua data dan kelayakan yang ada.
Namun, yang perlu diketahui, Tjandra juga menambahkan, pada April 2021 uji klinik obat Molnupiravir ini pada pasien yang dirawat di rumah sakit dihentikan. Alasannya karena tidak menunjukkan hasil yang baik pada pasien yang sudah masuk rumah sakit. “Waktu bulan April itu diputuskan penelitian diteruskan hanya pada mereka yang belum masuk rumah sakit, yang hasilnya baru diumumkan 1 Oktober ini,” tutur dia.
Baca:
Kurangi Efek Kematian, Molnupiravir dari Merck Akan Jadi Pil Covid-19 Pertama?