HARI yang cerah di bandara Moskow. Sebuah pesawat meluncur kencang menyusuri landasan pacu, sementara kamera TV terus mengikutinya. Beberapa detik kemudian, pesawat berbadan kekar dengan sayap lebar itu melesat ringan meninggalkan landasan. Sebuah take off yang mulus. Adegan yang sepintas tidak luar biasa im disiarkan oleh jaringan TV milik pemerintah Rusia belum lama berselang. Acara yang menayangkan upacara peluncuran pesawat penumpang Rusia jenis terbaru itu kini ramai mengundang bermacam spekulasi di kalangan ahli dan pengamat mesin terbang Amerika. Belakangan, pesawat penumpang Rusia itu diketahui sebagai TU 155. Tubuhnya kekar, sekekar Boeing 727. Kepulan asap putih dari mesin pesawat itu bukan berasal dari pembakaran avtur, bahan bakar konvensional. Asap yan berasal dari pembakaran hidrogen itu menandai keunggulan teknologi Rusia. "Sekali lagi, kita ketinggalan kereta," seru M. Matsunaga, senator Partai Demokrat dari Hawaii, Amerika. Sudah sepatutnya bila Matsunaga kini merasa kecewa bukan alang kepalang. Sebagai senator yang selalu mengampanyekan pengembangan teknologi hidrogen, dia merasa selama ini suaranya dianggap angin lalu. Maka, Rusia mendapatkan peluang lagi untuk menunjukkan keunggulannya, sebagai negara pertama yang berhasil menerbangkan pesawat komersial dengan bahan bakar hidrogen. Para ahli penerbangan Rusia agaknya telah lama menyadari bahwa hidrogen merupakan bahan bakar yang potensial. Dalam ukuran berat yang sama, pembakaran hidrogen bisa memberikan tenaga tiga kali lipat dibanding avtur. Pesawat ruang angkasa pertama Uni Soviet yang diluncurkan 1957 juga telah menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar. Namun, keberhasilan Rusia menggunakan bahan kimia ini untuk pesawat komersial sungguh sebuah prestasi yang pantas dicatat. Selama ini, hidrogen selalu dianggap kurang praktis untuk digunakan pada kendaraan sehari-hari. Dalam fase gas, hidrogen terlalu makan tempat. Bila dimampatkan menjadi cair, dia memerlukan pendinginan yang luar biasa. Mahal jatuhnya. TU 155 memiliki tiga buah mesin, dua mengapit ekor dan satu di atas ekor. Kabarnya, satu mesin yang terakhir ini digerakkanoleh bahan bakar konvensional, avtur, dan merupakan mesin cadangan. Bila dua mesin hidrogennya ngadat, barulah mesin ramjet cadangan itu dioperasikan. Pesawat TU 155 ini konon merupakan modifikasi dari TU 154, pesawat transpor yang telah dioperasikan oleh Aeroflot sejak 20 tahun lalu. Pihak Moskow menutup diri tentang desain mesin dan tangki bahan bakar pada TU 155 itu. Namun, para ahli Barat memperkirakan, tangki pesawat itu mampu menjaga hidrogen tetap pada temperatur minus 423 F atau sekitar minus 253 C. Ketika mesin beroperasi, hidrogen itu dialirkan ke tangki kedua untuk dididihkan dan diubah menjadi bentuk gas. Dari tangki kedua itu gas hidrogen dialirkan ke ruang pembakaran. Desain mesin TU 155 mengikuti "pola" trbojet. Untuk membakar gas hidrogen itu, tentu saja diperlukan oksigen dari udara. Maka, seperti mesin turbo pada umumnya, udara dimasukkan ke ruang mesin melalui "pintu" depan mesin, lantas dimampatkan dengan putaran baling-baling, kemudian dialirkan ke ruang pembakaran. Hasil pembakaran mesin turbo ini berupa partikel-partikel air yang berbentuk asap putih. Bukan oksida karbon, seperti hasil pembakaran avtur, yang sering dituding sebagai pencemar atmosfer. Hidrogen yang dikonsumsi mesin TU 155 itu pun bisa dibikin dengan proses hidrolisa. Jadi, tak sepenuhnya bergantung pada ketersediaan sumber daya alam di bumi. Maka, Aleksie Tupolev, perancang TU 155 itu, mengklaim, "Inilah mesin yang konsisten menjaga keseimbangan ekologi." Di Amerika, eksperimen penggunaan hidrogen untuk mesin pesawat sebetulnya telah dimulai sejak lebih dari 30 tahun lalu. NASA, umpamanya, pernah mencoba memasang dua mesin pembakar hidrogen pada pesawat pengebom. Berhasil. Kala itu, B-57 yang dimodifikasi itu mampu terbang dengan kecepatan yang lebih tinggi, tanpa mengalaml kesulitan dalam membuat manuver terbang. Kombinasi hidrogen-avtur pernah pula dicoba. Kala itu, Curtis dan Wright memasang dua mesin hidrogen dan avtur pada sebuah pesawat ringan. Kapan mesin avtur atau hidrogen dioperasikan, terserah pilot. Pesawat uji yang diberi nama Curtis-Wright J-65 itu mampu terbang tanpa terganggu, dengan cara menggilir kerja mesin itu. Namun, eksperimen itu masih belum berhasil menembus garis ambang ekonomi, hingga terpaksa dihentikan. Akan tetapi, serangkaian percobaan itu telah memberitahukan bahwa hidrogen punya beberapa keunggulan dibanding avtur. "Proses pembakarannya bisa lebih cepat, semua mesin menyukai hidrogen," ujar Willis M. Hawkins, bekas dirut pada perusahaan pesawat terbang Lockheed-Califorrlia Co. Hawkins, ketika memimpin Lockheed, pernah memimpin eksperimen pembuatan pesawat kargo dengan mesin hidrogen. Namun, eksperimen untuk merampungkan L-1011, nama pesawat kargo itu, harus berhenti di tengah jalan sekitar 10 tahun lalu. Padahal, dana yang telah dikerahkan telah mencapai sekitar US$ 1 milyar. "Gara-gara harga minyak bumi turun," ujar Hawkins. Para ahli Amerika tampak yakin betul bahwa hidrogen baru layak digunakan jika harga minyak bumi melambung empat kali lipat dari harga sekarang. Eksperimen mesin hidrogen di Amerika agaknya kini diprioritaskan untuk pesawat jenis hipersonik, yang bisa melaju dalam kecepatan 25 kali kecepatan suara. Tapi Senator M. Matsunaga masih tetap khawatir, riset untuk pesawat hipersonik itu akan terbengkalai. Yang dia inginkan, para ahli Amerika bergerak ke hulu, mencari jalan agar teknik pembuatan gas hidrogen bisa ditekan menjadi murah, semurah di Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini