MUSTIKA agaknya menolak mitos "seniman tragis". Lalu di katalog pamerannya yang sepuluh hari hingga 17 Juni lalu di Taman Ismail Marzuki Jakarta itu ia sebut: untuk berkarya diperlukan jaminan keseahteraan yang cukup dan ketenteraman jiwa. Dengan batin tertekan dan tegang, atau guncang jiwa, katanya, tak mungkin dapat berkarya dengan baik. Ia juga tak percaya pada genius yang bermalas-malas menunggu ilham - yang demi seni tapi sengsara, kekurangan, tak bahagia. Bagi Mustika, ilham tidak lain dari semangat yang terus menerus bekerja. Dalam pameran tunggal ke-19 yang disebut "Senandung Kehidupan" itu Mustika mema-' jangkan 68 lukisan. Itu hasil 1987 (40 buah) dan yang dibuat pada 1988, 1986, 1985, 1984, 1983. Mustika menyenandungkan bukit dan burung tekukur, pemandangan pedesaan dengan rumah warna-warni, pantai dengan perahu, dan orang dengan wajah lembut dan pandang melamun. Lukisannya bergaris-garis halus, lemas. Blabar, alias kontur, mengalun. Warna-warni hangat dan kontras terang-benderang, bersih. Olesan cat, tebal, lancar. Ia bermain, efisien - tidak tampak penghapusan atau penumpukan yang boros. Penggayaan (stilisasi) raut, pengulangan dan variasi, menyiratkan kecenderungan dekoratif, meski umumnya tidak tegas benar. Seperti Senja di Bukit Dua, Perumdhan Jaqaa Tengah, Lalang Hunian, Rumpun Bambu, Jalan Antara Bukit, Kampung di Bukit, memberikan kenikmatan yang khas yang diberikan hanya oleh gubahan rupa lukisan. Suatu cara membagi sukacita, kebahagiaan, dan semangat hidup. Meriahnya Pesta Air, misalnya, bertalian dengan suasana yang hendak digambarkannya. Kuning oker yang dominan, ditunjang garis-garis barik olesan cat dalam Ladang di Musim Kemarau, menggugah panas dan kering. Sedangkan tubuh kucing yang hitam kebiruan, mata yang hijau menyala, dan latar merah, tak sedikit berperan menggugah kegarangan dan ancaman dalam Lapar sebuah ungkapan yang tergolong langka dalam karya Mustika. Sejumlah karya Mustika ada pesan dan gagasan sosial. Misalnya pada dua "kuda" berkepala orang, yang satu perempuan yang lain lelaki. Di punggung yang lelaki bertengger 10 anak. Di punggung si perempuan ada keranjang berisi belanjaan. Inilah Perjuangan Hidup. Dua orang mengangkat seekor ikan besar dan panjang, di belakang mereka perahu dan laut. Wajah tenang dan pandang melamun. Garis-garis halus dan lemas, warna terang dan manis. Ini, Rezeki Imptan. Ada juga Molimo, Penerbangan Misi (Hanura dan Tritura), dan lukisan dengan judul yang membawa pikiran kepada ihwal soslal seperti Macan Kota, Buaya Kota, Siap Membangun, dan Gotong Royong. Senandung Mustika ternyata terlalu lemah lembut dan riang menyuarakan tekanan dan kekerasan hidup, derita dan ilusi, sengatan sindiran, dan tekad perjuangan. Mustika, pelukis dan pematung, lahir pada 2 Desember 1937 di Pemalang,Jawa Tengah. Ia mulai melukis pada 1955, dan mulai mematung 9 tahun kemudian, di Jakarta. Sejak 1969 ia bekerja di Taman Ismail Marzuki. Ia ikut mendirikan Organisasi Seniman Indonesia (OSI) pada 1958. Pada 1970 ia mendirikan Sanggar Krida Jakarta, membimbing anak-anak dan remaja melukis, selain ketua Bidang Sosial Budaya Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI). Bukunya, Percakapan dari Hati ke Hati Pelukis Indonesia, diterbitkan pada 1983 oleh Sanggar Krida. S.Y.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini