Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyandang disabilitas atau difabel punya hak yang sama untuk menempuh pendidikan tinggi melalui bantuan pemerintah berupa Kartu Indonesia Pinta Kuliah (KIP Kuliah). Salah seorang penyandang disabilitas yang memperoleh KIP Kuliah adalah Jilly Floreta, mahasiswa program studi Manajemen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Penyandang disabilitas mental berupa Bipolar Affective Disorder ini menerima KIP Kuliah pada 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari mayoclinic.org., Bipolar Affective Disorder adalah salah satu gangguan mental di mana penderitanya kerap mengalami perubahan suasana hati yang seringkali tidak terdeteksi dan terkontrol, penderita bisa merasa bahagia atau sedih secara tiba-tiba atau bahkan kedua perasaan itu seringkali tercampur aduk menjadi satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Jilly berasal dari keluarga tak mampu. Ayahnya berprofesi sebagai tukang becak. Menurut Jilly, dirinya kerap mengalami depresi, mental down atau gangguan kecemasan yang tiba-tiba. “Saya kerap cemas yang berlebihan, tiba-tiba berubah mood menjadi down atau sebaliknya tanpa diawali gejala, walaupun secara perlahan saya kini sudah bisa sedikit mengontrolnya,“ kata wanita asli Purworejo yang saat ini akan memasuki semester 6.
Namun, menurut Jilly, gangguan mental yang diidapnya tidak terlalu mengganggu proses perkuliahannya. Dia bisa mengerjakan tugas mengikuti kuliah dengan baik sekalipun terkadang muncul gangguan kecemasan.
“Performa saya di kelas baik. Tugas-tugas bisa saya selesaikan. Namun, ada waktu tiba-tiba saya down, tidak bisa melakukan apa-apa termasuk ngerjain tugas. Benar-benar enggak bisa. Jadi, saya harus istirahat beberapa waktu sampai mood kembali muncul,“ ujar wanita kelahiran 2002 ini.
Mengontrol Emosi, Rehat Sejenak
Salah satu yang memicu munculnya ketidakstabilan emosi itu ketika banyak tugas yang menumpuk, sementara ada kegiatan lainnya yang harus dikerjakan, seperti ikut organisasi mahasiswa. Dalam situasi penuh tekanan seperti itu, kondisi fisik Jilly terasa lelah dan berdampak pada situasi emosinya yang berubah secara ekstrem.
“Kalau sudah begitu, solusinya saya tinggalkan semuanya sementara, menyendiri, pulang ke kost-an, “ katanya.
Menurut dia, UNY memiliki lembaga bimbingan dan konseling mahasiswa. Jilly memperoleh bimbingan konseling di sana terkait bagaimana mengontrol moodnya. “Saya juga punya beberapa teman dekat yang tahu betul kondisi saya dan saya percayai ketika suasana hati saya tiba-tiba berubah," katanya.
Dalam hal bergaul dengan teman-temannya, diakui Jilly, dirinya lebih banyak mendengar ketimbang aktif berbicara. Namun, ketika gangguan emosinya itu muncul, Jilly memutuskan untuk menyendiri. Selama menjalani masa kuliah, Jilly perlahan menyesuaikan diri. Dia berhasil meraih nilai akademik yang bagus. Pada semester 5, IPK Jilly mencapai 3,79. Saat duduk di bangku SMK jurusan Ekonomi Akuntansi, Jilly bahkan mampu menempati peringkat 10 besar.
Dilansir dari laman Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik), sejak 2019 hingga 2022, tercatat ada sebanyak 57 penyandang disabilitas yang memperoleh KIP Kuliah. Mereka tersebar di berbagai perguruan tinggi akademik dan vokasi, baik negeri maupun swasta. Mereka terdiri dari penyandang disabilitas fisik, sensorik, mental, maupun intelektual.
Kisah Helda Penyandang Disabilitas Intelektual yang Tak Punya Pendamping
Penyandang disabilitas lain yang memperoleh KIP Kuliah adalah Helda Wati, mahasiswi program studi Pendidikan Guru Anak Usia Dini Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Penerima KIP Kuliah 2020 ini penyandang disabilitas intelektual, yakni gangguan kemampuan belajar atau fungsi intelektual di bawah rata-rata.
Dengan gangguan tersebut, Helda lambat dalam menghadapi materi perkuliahan,baik saat mendengar paparan materi dari dosen atau membaca literatur. Perlu penjelasan yang rinci dan berulang-ulang agar Helda mampu memahami materi kuliah.
“Waktu semester 1 sampai 4 dulu, ada teman yang mendampingi memberi penjelasan soal materi kuliah sampai hal-hal teknis,seperti kapan pengumpulan tugas, jenis penugasan dan sebagainya. Semester 5 kemarin tidak ada lagi teman, jadi saya kesulitan,“ kata Helda.
Helda sempat mengeluhkan sistem penilaian tugas yang disamakan dengan mahasiswa lain yang normal. Namun, Helda bersyukur ada bimbingan dari kampus walaupun tidak sering. Helda bersyukur memperoleh KIP Kuliah dan berharap lulus kuliah tepat waktu sesuai durasi pemberian KIP Kuliah. Rahmiati, ibunya Helda mengakui ada kesulitan bagi Helda saat di kampus.
“Kemarin, selama kuliah daring dari rumah, saya bisa membantu menjelaskan hal-hal yang sifatnya teknis,tapi sekarang setelah kuliah offline di kampus, saya tentunya tidak bisa mendampingi, “ katanya.
Rahmiati bersyukur Universitas Lambung Mangkurat hanya mensyaratkan IPK minimal 2, 75 bagi Helda. Saat ini, Helda mendapat IPK 3,5. Namun, ibunya khawatir tanpa didampingi di kampus, nilainya akan turun.
Menurut Rahmiati, untuk pergi ke kampus, anaknya harus diantar dan dijemput olehnya. “Helda tidak bisa jalan sendiri,terutama saat menyebrang jalan, dulu sempat jalan sendiri, terus dia ketabrak. Akhirnya kami trauma tak mau melepas Helda jalan sendiri, “ katanya ibunya yang berprofesi sebagai driver ojek online itu.
Kisah Ervin Disabilitas Netra yang Mahir Menyanyi
Kisah perjuangan penyandang disabilitas lain yang berjuang untuk kuliah adalah Ervin Ramadhani Savitri. Memiliki keterbatasan fisik, yakni tunanetra, tidak menjadi penghalang bagi Ervin untuk mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Lulusan SMA Negeri 6 Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini, pada 2019 lalu berhasil lolos seleksi di program studi Universitas Pendidikan Mandalika, Mataram dan memperoleh bantuan pendidikan dari pemerintah berupa KIP Kuliah.
Ervin bersyukur memperoleh KIP Kuliah sehingga berkesempatan menikmati bangku kuliah. “Saat mendaftar dulu, persyaratannya tidak dipersulit, bahkan sangat dimudahkan sekali," katanya.
Memiliki keterbatasan dalam melihat, Ervin sempat mengalami kendala dalam perkuliahan di awal semester. Saat dosen menerangkan materi perkuliahan dengan menampilkan power point di layar, Ervin tidak bisa melihat layar monitor sehingga kerap meminta bantuan teman di sebelahnya untuk membacakan apa yang tertulis di layar.
“Kesulitan lain saat UTS, tentunya saya tidak bisa menulis seperti biasa. Solusinya, atas izin dosen, saya minta dibacakan soalnya, lalu saya jawab dengan tulisan braille, lantas dibantu oleh teman untuk kembali dituliskan dalam tulisan biasa. Jadi saya bacakan jawabannya dan teman menuliskannya, “ kata Ervin.
Namun, kendala itu kini sudah sedikit teratasi. Kini, saat menghadapi UTS atau UAS, Ervin diberi keringanan. Dalam hal ini, pihak kampus bekerja sama dengan SLB Negeri Pembina Mataram. “Jadi soal dibuat dalam tulisan braille, lantas jawabannya saya ketik di laptop yang sudah dipasang screen reader dan setelah selesai ditranfer melalui flashdisk," jelasnya.
Sedangkan saat mengerjakan tugas harian, soalnya diberikan melalui flashdisk. Dengan bantuan screen reader, Ervin menyelesaikan tugasnya. Dia pun sudah terbiasa mengikuti perkuliahan dengan baik. Saat di semester 5 bahkan IPK Ervin mencapai 3,7.
Tak hanya cemerlang di akademik, Ervin juga aktif di berbagai kegiatan seni. Ervin telah lama malang melintang sebagai penyanyi sejak 2004. Tak hanya menyanyi, Ervin juga mahir mencipta puisi, mengaransemen musik, dan menulis beberapa karya tulis.
Pada 2015 lalu, Ervin meraih prestasi sebagai juara I tingkat nasional pada ajang Festival Lomba dan Seni Siswa Nasional (FLSSN) khusus Anak Berkebutuhan Khusus serta juara I nasional Solo Singer Berkebutuhan Khusus pada 2017.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.