MENPERDAGKOP Radius Prawiro merasa tak enak juga ketika berada
di Dili, ibukota Timor Timur. Bukan karena pelayanan bagi para
tamu penting dari Jakarta yang menyertai rombongan besar
Presiden Soeharto itu kurang baik. Di Hotel Resende, tempat para
pembesar dan diplomat asing menginap, pelayanan tak ubahnya
bagaikan di sebuah hotel di Jakarta. Mau minuman impor dalam
kaleng, itupun tersedia cukup banyak. Dan hari itu, 16 Juli, es
krim impor dari Singapura juga disediakan di hotel peninggalan
Portugis yang terbaik di Dili. Semuanya cuma-cuma.
Maka yang membuat risau Menteri Radius adalah banyaknya
barang-barang konsumsi yang masuk dari Singapura. Bir merek
Tiger dan Lager buatan Singapura, minuman keras seperti Johny
Walker dan anggur sampai biskwit impor, bisa diperoleh di
beberapa toko minuman dan makanan di sana. Dan di kota yang kini
berpenduduk sekitar 20 ribuan itu, sebuah toko Cina bahkan
memajang kursi eksekutif di etalasenya. "Yah, barang-barang yang
begitu selain tak perlu, juga tidak mendidik," kata Menteri
Radius. "Saya khawatir penduduk yang umumnya berpenghasilan
rendah akan terangsang untuk membelinya." Kepada anak buahnya di
Dili, yang memimpin Perwadepdagkop, Menteri minta agar
"menghambat masuknya barang-barang itu".
Selain muncul di beberapa toko di Dili, kabarnya barang-barang
yang masuk dari Singapura itu diperdagangkan lagi di dalam
negeri, seperti ke Jawa. Belum aktifnya kantor Bea Cukai di
pelabuhan Dili dengan sendirinya membuat aneka barang itu bebas
pajak, hingga ada untung yang lumayan.
Beras Jagung
Tapi yang masuk dari Singapura itu memang terbatas pada
barang-barang kelas mewah saja. Adapun barang yang dibutuhkan
penduduk di Dili dan beberapa kota lainnya di Timor Timur sudah
banyak yang datang dari Jawa melalui pelabuhan Tanjung Perak di
Surabaya. Pagi itu, beberapa jam sebelum rombongan Presiden
kembali ke Jakarta, Menteri Radius bersama antara lain Menpan
Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh menggunakan
kesempatan untuk inspeksi sebentar di pelabuhan Dili. Ada tiga
kapal yang berlabuh ketika itu, antara lain KM Siduarsi (1.600
DWT) yang tengah menurunkan ribuan karung terigu punya PT
Bogasari (TEMPO 22 Juli).
Selain terigu, kapal-kapal yang datang dari Tanjung Perak itu
biasa mengangkut beras dan jagung. Pemerintah sendiri, menurut
Radius, tidak bermaksud untuk merubah menu makanan pokok orang
Timor. Selain beras, yang antara lain dibutuhkan oleh para
pendatang, jagung juga dimasukkan. Kalau pada Pelita III nanti
proyek irigasi di sungai Maliana, kabupaten Bobonaro, sudah bisa
mengairi daerah persawahan, selain padi, areal persawahan di
sana juga akan ditanami dengan jagung dan palawija.
Tekstil, kayu papan, minyak goreng sampai Indomilk juga dibawa
kapal-kapal itu. Sebuah toko milik Pesero Kerta Niaga, yang
bertugas menyalurkan barang-barang itu, diminta agar tak
mengambil untung. Tapi, diakui oleh Radius, barang-barang itu
sedikit lebih mahal dari harga di Kupang akibat biaya transpor
yang lebih tinggi.
Memang belum banyak kapal besar yang singgah di pelabuhan Dili
yang bisa menampung kapal hingga 17.000 ton itu. Pelabuhan itu
sendiri terawat baik dan memiliki sistim pergudangan yang begitu
rapih, hingga menurut Menteri tak perlu ada yang diperbaiki
lagi. Tapi perbaikan antara lain terlihat di pelabuhan udara
Komoro, 7 km dari Dil yang bisa disinggahi pesawat jet F-28 Juga
bagian jalan di Dili yang di zaman pen]aahan Portugis masih
tanah, kini sudah banyak yang diaspal.
Politik Portugis waktu itu lebih mementingkan tanaman kopi untuk
mencari devisa dengan mengekspor hasilnya. Maka daerah
pegunungan lebih mereka perhatikan. Di situ dikenal sebagai
daerah kebun-kebun kopi. "Sampai kota-kota kabupaten dan
kecamatan pun dibangun di pegunungan, di samping beberapa kota
pantai," kata seorang pastor di Dili. Adalah kopi pula yang
merupakan 95% ekspor hasil bumi Timor Timur.
Akan Dinormalkan
Sebanyak 40% dari produksi kopi itu dulunya dimonopoli oleh
perusahaan kongsi pemerintah Portugal dengan beberapa bekas
pejabat Portugis di Timor Timur. Selanjutnya 10% dipunyai oleh
kelas menengah, keluarga peranakan Portugis. Tapi 50% produksi
kopi berasal dari perkebunan rakyat.
Tadinya ekspor kopi kwalitas Arabica mencapai sekitar 6.000 ton
setahunnya. Dalam suasana ekonomi yang masih transisi seperti
sekarang, ekspornya agak terhambat. Tapi Menteri Radius merasa
gembira juga, karena sejak 2 tahun lalu sampai belakangan ini,
sudah pula bisa diekspor sebanyak 5.000 ton kopi. Tersebutlah
Lay King-fu, pedagang terkenal sejak di zaman Portugis dulu,
yang kini tetap berperanan sebagai eksportir kopi yang paling
top di sana. Dan kapal-kapal yang membawa kopi ke pelabuhan
Singapura itu pulangnya mengisi muatannya dengan barang-barang
mewah tadi.
Tapi perlahan-lahan, kata Radius, keadaan ekonomi yang masih
transisi itu ingin dikembalikan menjadi normal kembali. Apalagi
Presiden sendiri sudah menyatakan propinsi yang ke-27 itu
sebagai daerah terbuka, setelah merayakan ulang tahunnya yang
kedua berintegrasi dengan RI. Dalam sidang Dewan Polkam pekan
lalu, Presiden juga telah menginstruksikan agar mempercepat
penempatan para pejabat di Timor Timur secara penuh, baik di
bidang administrasi maupun teknis.
Hubungan udara pun sebentar lagi sudah akan reguler. Dirjen
Perhubungan Udara Kardono sudah menyatakan pesawat penerbangan
Merpati sudah siap untuk membuka lin tetap dari Kupang ke Dili
seminggu sekali. Dir-Ut Garuda Wiweko, yang menyertai rombongan
Presiden dan Ny. Tien ke Timor Timur, juga sudah menyiapkan
pesawat F-28 untuk secara tetap terbang dari Denpasar ke Dili
tiga kali seminggu. Bisa dibayangkan akan banyak turis yang
ingin melihat Dili, kalau kelak pihak Hankam memberikan tanda
"aman" bagi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini