Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Puncak Badai Matahari Diperkirakan Berlanjut Hingga 2025, Berdampak pada Sistem Komunikasi dan Satelit

Badai matahari terbesar yang menerpa Bumi atau disebut Carrington Flare terjadi pada 1859.

9 Desember 2024 | 16.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cahaya Utara, yang dikenal sebagai Aurora Borealis, tercermin dalam kolam batu di pantai di Hopeman, Moray. Cahaya ini terjadi saat matahari berada dalam siklus yang menyebabkan badai dan mengganggu medan magnet bumi. Dailymail.co.uk/Hemedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Menjelang akhir 2024, aktivitas badai matahari terus bergejolak di masa fase siklus puncak 11 tahunan. Menurut Peneliti Ahli Madya Astronomi Astrofisika Pusat Riset Antariksa di Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Tiar Dani, fase puncak badai matahari diperkirakan berlanjut hingga 2025. “Sekarang kita masuk ke siklus badai matahari yang ke-25 dengan prediksi puncak pada 2024-2025,” katanya kepada Tempo, Senin 9 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi masa puncak aktivitas badai matahari itu ditandai oleh bintik hitam atau sun spot yang semakin banyak dari hasil pengamatan di Bumi. Kemunculan bintik hitam itu juga diistilahkan sebagai badai matahari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat dari masa puncak siklus itu, peluang terjadinya flare (suar) atau peningkatan intensitas kecerlangan di matahari sebagai wujud pelepasan energi semakin besar. Begitu pun coronal mass ejection (CME) atau lontaran massa korona. “Keduanya bisa memberi gangguan ke Bumi terutama ke teknologi tinggi,” kata Tiar.

Dampak suar matahari yang memancarkan emisi gelombang bisa sampai ke lapisan ionosfer Bumi dalam waktu 8 menit. Akibatnya sistem komunikasi yang menggunakan ionosfer sebagai pantulan gelombang akan terganggu, misalnya pada perangkat komunikasi radio HF (High Frequency) yang antara lain digunakan oleh pilot pesawat udara, juga petugas dan relawan kebencanaan. “Saluran frekuensi yang biasa dipakai tiba-tiba tidak bisa digunakan,” ujarnya. Namun, menurut Tiar, gangguan itu bisa diatasi dengan pindah ke saluran komunikasi lain.

Saat suar disertai lontaran massa korona matahari, efeknya akan sampai di Bumi 2-3 hari kemudian. Penanda gampangnya, kata Tiar, yaitu kemunculan aurora di langit kutub seperti di utara Bumi. Lontaran partikel energi tinggi itu bisa berdampak ke satelit buatan yang mengelilingi Bumi. “Gangguannya sampai sekarang belum ada yang signifikan, tidak sampai banyak satelit terdampak,” kata dia. 

Tiar mencontohkan badai matahari pada Mei lalu yang menganggu satelit Starlink. Kemudian pada 3 Oktober terjadi badai matahari yang terkuat sepanjang siklus ke-25 matahari, yaitu berskala X9 dari dari skala maksimum X20. “Ternyata nggak banyak satelit yang melaporkan gangguan,” ujarnya.

Kabar terbaru kekuatan suar matahari, yaitu X2,3 pada 8 Desember 2024. Pengelola satelit, menurut Tian, kini sudah punya cara mitigasi sendiri terkait dengan cuaca luar angkasa. Lembaga antariksa dunia, termasuk BRIN (eks Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional/Lapan) di Bandung, sejak lama ikut memantau kondisi harian matahari dan membuat prediksi cuaca antariksa untuk dipakai pengguna seperti maskapai penerbangan dan pengelola satelit.

Menurut Tian, badai matahari terbesar yang menerpa Bumi atau disebut Carrington Flare terjadi pada 1859. Letusan radiasi elektromagnetik di matahari yang mengganggu geomagnetik di Bumi itu menjalar dari kutub utara mendekati khatulistiwa hingga muncul aurora di langit Hawaii. “Kalau itu terjadi sekarang mungkin bisa merontokkan semua satelit, kejadiannya sangat jarang,” ujarnya. 

Erwin Prima

Erwin Prima

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus